"Aku ingin kita bekerja sama."
Manager Istvan itu sepertinya bukan orang yang suka berbasa-basi, begitu sampai di butik sederhana milik Luna, ia langsung mengutarakan niatnya.
Istvan duduk di samping sang manager, ia masih memiliki penampilan yang sama seperti datang kemari kemarin, hoodie yang menutupi kepalanya dan masker, mata birunya tidak berhenti bergerak ke sekitar.
"Anda ingin memakai rancangan saya untuk Istvan?" tanya Luna dengan nada tidak percaya.
"Ya!" sahutnya dengan cepat, ia melambaikan tangannya pada sang model. "Coba lihat, apa ada gaun yang menarik perhatianmu."
Istvan mengangguk kaku dan tidak berkata apa-apa, ia berdiri dan melihat-lihat gaun rancangan Luna.
"Aku belum mengenalkan namaku, panggil aku Jennie." Sang Manager memperkenalkan dirinya, ia kemudian mengoceh tiada henti tentang apa yang terjadi selama pesta tahunan model kemarin.
Istvan adalah model yang tidak banyak bicara, ia bahkan tidak banyak membuka mulutnya meski memiliki manager yang cerewet seperti Jennie.
Sebagai model, tentu sikapnya ini tidak terlalu menguntungkan dan ia tidak terlalu mendapat banyak perhatian.
Satu-satunya yang diandalkan oleh Istvan adalah kecantikannya yang tidak biasa itu.
Tapi malam di pesta kemarin dengan gaun yang dirancang oleh Luna, Istvan mendadak mendapat banyak perhatian dan tidak sedikit para investor mulai tertarik membuat kerjasama dengannya.
"Aku tidak pernah mendengar nama rancanganmu sebelumnya, apa kau baru saja membuka butik ini?"
"Yah, ini baru." Luna tidak mau membeberkan tentang apa yang terjadi pada kehidupannya yang kelam. "Saya baru saja memberanikan diri untuk memperlihatkan gaun rancangan saya pada semua orang."
"Itu luar biasa! Kau seharusnya memberi nama atas karyamu ini, dengan begitu Istvan bisa memperkenalkan gaun-gaun cantik ini pada semua orang!" Jenie sepertinya sangat bersemangat, ia hampir berseru di setiap kata-katanya.
"Kau benar, aku tidak memikirkannya sebelumnya."
Luna mengangguk setuju, ia melirik Istvan yang baru saja keluar dari ruang ganti, wanita bermata biru itu mengenakan gaun berwarna biru muda dengan payet di bagian dada, terlihat sangat kontras dengan matanya.
"Aku akan mengurus perjanjian kerjasama kita, kau hanya perlu menyiapkan rancangan gaunmu dan Istvan akan memakainya. Tunggu aku menuliskan poin-poin pentingnya dan kita akan mengoreksinya bersama."
Jennie kemudian sibuk menuliskan sesuatu pada ponselnya dan ia terlihat sangat serius.
Luna berjalan mendekati Istvan yang memutar tubuhnya di depan cermin, rambut pirangnya itu tergerai jatuh ke punggungnya, sesaat Luna teringat dengan mata keemasan yang dimiliki oleh Aodan.
"Aku suka ini, Luna." Istvan tersenyum pada Luna, tangannya terulur menyentuh ujung gaun yang lembut. "Selama ini aku memakai pakaian yang indah, tapi tidak nyaman untuk dipakai. Tapi gaun milikmu kemarin adalah yang paling nyaman yang pernah aku pakai."
"Baguslah, aku merasa lebih percaya diri untuk merancang yang lainnya nanti."
"Ya," sahut Istvan sambil melirik Jennie yang sibuk, ia terlihat ingin berbicara lebih banyak.
"Sebenarnya aku tidak benar-benar ingin mencari gaun kemarin. Jennie memarahiku karena aku terlalu pemilih, jadi aku kabur dan sampai ke tempat ini, sungguh suatu kebetulan yang tidak terduga, ya?"
"Um … yah." Luna tidak tahu harus menanggapi perkataan Istvan, ia mengangguk. "Apa kau ingin mencoba gaun yang lain?"
"Aku ingin mencoba yang berwarna gelap." Istvan meraih gaun hitam sebatas lutut yang ketat di pinggangnya, ia tersenyum tipis. "Luna … apa kau tinggal bersama seseorang?"
Tangan Luna yang memilihkan gaun yang berjejer di rak berhenti, ia melirik Istvan yang tidak menatapnya, wanita itu menatap lurus ke arah cermin.
"Apa yang kau maksud?"
Istvan tersenyum tipis, ia melambaikan tangannya.
"Apa pertanyaanku terlalu sensitif? Maaf, aku kadang tidak bisa menahan diri."
"Tidak," potong Luna dengan cepat, ia melambaikan tangannya. "Aku tinggal sendiri."
Aodan bukan manusia dan Luna enggan memasukkannya dalam daftar tetap orang yang menghuni rumahnya.
"Ah …." Istvan mengangguk, ia melirik ke arah meja. "Aku pikir kau tinggal bersama kekasihmu."
Kening Luna berkerut, membayangkan kadal hitam itu menjadi kekasihnya, membuatnya mengernyit dengan aneh. Statusnya sekarang adalah seorang janda, apa karena kemunculan Aodan yang sangat menarik perhatian makanya Istvan jadi bertanya tentang hal ini?
"Jangan dipikirkan, aku hanya iseng bertanya." Istvan menggelengkan kepalanya dan melirik lagi ke arah Jennie yang masih sibuk. "Aku pikir aku melihat sesuatu kemarin, apa itu hewan peliharanmu?"
Luna hendak menjawab, tapi kemudian ia menemukan Jennie bergumam pelan.
Luna menjadi teringat bagaimana tingkah Istvan pertama kali datang ke butik miliknya, wanita itu terlihat pemalu dan berbicara dengan terbata-bata.
Tapi sekarang ia malah bertanya terus menerus seputar kehidupan pribadi Luna, seolah bayangan Istvan yang baik dan pemalu itu telah lenyap begitu saja dari benaknya.
Sebenarnya pertanyaan Istvan bukan masalah besar, tapi Luna baru saja mengalami hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya, ia menjadi sulit membicarakan hal-hal pribadi pada orang lain.
Luna masih belum bisa mempercayai orang lain, ia takut ia akan mengalami hal yang sama untuk yang kedua kalinya, ia takut dikhianati lagi.
"Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang hewan peliharaanku?"
Luna bersedekap, raut wajahnya sekarang menjadi lebih serius.
"Tidak, hanya saja itu terlihat …."
"Nona Istvan," potong Luna sebelum model yang ada di depannya ini berbicara lebih jauh. "Aku akui aku senang saat kita bekerja sama, tapi bukan berarti kau bisa terus bertanya tentang masalah pribadiku."
Suara Luna tidak nyaring juga tidak pelan, Jennie yang sedari tadi sibuk menulis perjanjian kerjasama segera bangkit dari kursi.
"Ada apa?"
"Aku tidak suka … orang yang selalu ingin tahu masalah orang lain." Luna mengepalkan kedua tangannya dan menarik napas.
"Maafkan aku." Istvan menundukkan kepalanya dalam-dalam dan jari-jemarinya saling meremas kuat. "Aku tidak sadar jika pertanyaanku mengganggu privasimu. Aku tidak akan mengulanginya lagi di masa depan!"
Jennie tidak tahu apa yang terjadi, melihat Istvan yang terlihat panik dan segera minta maaf, mau tidak mau ia ikut minta maaf.
Mereka bertiga dengan cepat merumuskan perjanjian kerjasama dan Istvan tidak banyak bicara lagi setelah itu, ia seperti seekor anak anjing yang baru saja ditegur Tuannya dan duduk diam dengan kaku, Jennie di sampingnya tidak terlalu peduli dan menyelesaikan semua urusan mereka dengan cepat.
Begitu mereka pergi meninggalkan butik, Luna segera menutupnya dan masuk ke dalam rumah, menyalakan semua lampu.
Jam dinding berdetak dengan suara pelan, entah kenapa Luna merasakan rasa sunyi yang luar biasa, wanita itu menggelengkan kepalanya dan beranjak untuk bersih-bersih.
Waktu berlalu dengan cepat, hingga makan malam berakhir tidak ada tanda-tanda seseorang datang.
Luna menghela napas panjang, matanya melirik ke arah luar jendela yang sengaja tidak ia tutup tirainya, malam semakin gelap dan dingin, satu persatu lampu dari tiap rumah tetangga Luna mulai padam.
Suasana di luar menjadi semakin sepi, persis seperti keadaan rumahnya.
Dan Aodan tidak kunjung kembali.