"Apa yang kau katakan? Siapa … siapa Rachel?" Wanita itu terlihat gemetar hebat, kedua matanya berkaca-kaca seakan ingin menangis.
Aodan menyeringai lebar, ia menarik wanita itu ke sudut. "Ada napas Rachel yang tertinggal di tubuhmu, kau bertemu dengannya sebelum kemari, kan?"
"Na … napas?" Wanita itu kembali tergagap, merasa aneh dengan apa yang dikatakan Aodan.
"Jawab atau aku akan mematahkan tanganmu."
"O … oke … mari … mari kita berbicara di tempat yang tenang." Wanita itu menelan ludah dan berusaha sepelan mungkin membawa Aodan ke taman terdekat, melihat tampangnya yang sangat tidak bersahabat membuat wanita itu takut.
Aodan menarik wanita itu ke taman terdekat bersama anjingnya, setelah mereka jauh dari orang-orang barulah wanita itu merasa sedikit tenang.
"Aku Mika, aku memang disuruh oleh Rachel mengawasi Luna."
"Aku tidak bertanya namamu." Aodan mendengkus, ia melepaskan tali yang mengekang anjing dan menyuruhnya untuk bermain di tanah lapang. "Untuk apa Rachel mengawasi Luna?"
"Dia takut … Luna akan melakukan sesuatu untuk mengacaukan pernikahanya." Mika menyahut dengan suara pelan, tangannya tidak berhenti mengusap pergelangan tangan bekas dicengkeram oleh Aodan, terasa sakit.
"Lalu?"
"Lalu aku melihatmu keluar dari rumah. Luna tidak pernah memiliki kekasih sebelunya, siapa kau?"
Aodan memutar bola matanya, kemudian ia tersenyum miring, tapi entah kenapa senyuman itu terasa jauh lebih menakutkan daripada yang sebelumnya ia lihat.
"Kau penasaran siapa aku?"
Mika tanpa sadar menganggukkan kepalanya, ia menelan ludah dan mundur beberapa langkah.
"Kalau begitu, ayo ikuti aku dulu."
Mika memang merasakan firasat buruk saat melihat laki-laki itu membalikkan badan di depannya dan berjalan lurus keluar dari taman, tapi firasatnya itu dikalahkan oleh rasa penasarannya.
Wanita itu mengira-ngira, mungkin saja Aodan sebenarnya adalah seorang laki-laki bayaran yang dibayar Luna untuk pergi ke pernikahan Rachel dan Gerald, atau … mungkin saja Aodan hanyalah seorang tunawisma yang dibawa pulang oleh Luna.
Tapi Aodan tidak mungkin seorang tunawisma, meski ia memakai pakaian hitam dari atas sampai ke bawah, ia tidak terlihat dekil sedikit pun, tubuhnya bagus dan ia berbadan tegap.
Mika tiba-tiba berdehem, mengusap belakang kepalanya. "Aku mulai berpikiran yang aneh-aneh."
Aodan di depannya tidak berbicara sedikit pun, ia terus melangkah memimpin jalan, mereka kembali menyusuri trotoar yang padat pejalan kaki selama beberapa menit dan tiba-tiba Aodan menarik Mika masuk ke sebuah restoran makanan cepat saji.
"Aku suka bau makanan ini, pesankan aku."
Wajah Mika langsung muram, seharusnya ia mewaspadai firasat buruk yang ia rasakan, laki-laki yang ada di hadapannya ini sejak awal tidak beres.
Apa saat ini ia sedang diperas oleh seorang laki-laki?
"Aku tidak mau, pesan sendiri." Mika hendak berbalik keluar, tapi di detik berikutnya ia merasakan dompetnya dengan mulus ditarik. "Hei!"
Mika berbalik dan melihat Aodan sudah ada di konter, mata laki-laki itu berbinar menatap papan menu di atas dan seolah-olah ia baru saja pergi ke tempat ini, ia tanpa berpikir panjang memesan semua yang terlihat menarik di matanya.
"Tidak!" Mika menggeser Aodan sebelum laki-laki itu menyerahkan kartu kreditnya. "Cukup paket satu dan dua! Selebihnya batalkan!"
Wajah pelayan makanan cepat saji itu terlihat kesal, tapi ia tidak mengatakan protes sedikit pun dan dengan cepat menyerahkan pesanan pada Mika dan Aodan.
"Sungguh sialan kau! Aku tidak mengenalmu, tapi kenapa harus aku yang membayar apa yang kau pesan?!" Mika menggerutu dan duduk dengan kaki menyilang.
Kalau saja Rachel tidak membayarnya di muka, ia tidak akan mau mengawasi Luna.
Mika sudah mengenal Rachel sejak sekolah menengah, ia tahu seperti apa kepribadian temannya itu dan ia adalah orang yang selalu menerima uang dari tugas-tugas konyol yang disuruh oleh Rachel.
Meski caranya sedikti salah, tapi Mika tidak punya pilihan, ia hidup sendirian di kota besar ini dan tidak punya tumpuan, hanya Rachel yang bisa membantunya jika ia dalam kesulitan.
Mengawasi Luna sebenarnya adalah tugas yang mudah, ia sudah sering melakukan ini bahkan ketika hari pertama Luna kembali ke rumahnya, ia sudah memantau dan melaporkan apa yan ia lihat dari hari ke hari pada Rachel.
Menurut Mika, Luna sudah hampir gila. Namun, malam itu, malam dimana ia tidak mengawasi Luna, ia merasakan ada perubahan yang tidak bisa ia jelaskan dan menemukan seekor kadal menjadi peliharaan Luna.
Mika melihat Aodan yang makan dengan lahap makanan cepat saji di depannya dengan kening berkerut, ia juga ingat betul bagaimana empat ban mobil milik Gerald yang tiba-tiba meledak dengan seekor kadal di atasnya.
"Kau tidak mungkin kadal, kan?" tanya Mika tiba-tiba.
Aodan melirik Mika yang duduk di depannya dengan mulut yang tidak berhenti mengunyah, lalu menyesap cola dengan suara yang keras.
"Apa matamu buta?" Aodan balas bertanya dan menelan habis burgernya dalam sekali suap. "Apa aku yang besar ini terlihat seperti seekor kadal?"
Mika terdiam, ia juga merasa aneh dengan pertanyaan yang ia buat sendiri. Seorang manusia tidak mungkin menjadi seekor kadal, apalagi sebaliknya, ia pasti terlalu banyak membaca novel fantasi.
"Memang ya, wanita akhir-akhir ini mulai kehilangan kewarasannya." Aodan bergumam-gumam, memakan satu demi satu keripik kentang yang ia pesan. "Aku yang tampan seperti ini dibilang kadal."
Mika berdehem, merasa malu karena Aodan berbicara dengan suara keras, tak ayal semua pengunjung restoran melihat ke arah mereka.
'Sudahlah, jangan bahas hal aneh lagi." Mika menarik napas dalam-dalam, entah kenapa ia merasa kesabarannya diuji dengan berat ketika berhadapan dengan laki-laki ini. "Aku sudah membelikanmu makanan, sekarang bisa kau katakan padaku sebenarnya kau siapa?"
Mika harus tahu, setidaknya ia harus tahu nama lengkap Aodan dan apa pekerjaannya. Dengan begitu ia akan mendapat bayaran lebih dari Rachel.
Aodan memasukkan semua keripik kentang ke mulutnya dan mengunyahnya dengan sangat santai, membuat Mika yang sedari tadi menunggu jawabannya harus menyiapkan kesabaran lebih.
"Bisa kau beritahu aku siapa kau sebenarnya?" ulang Mika dengan perasaan campur aduk, antara takut, kesal dan gemas sendiri dengan kelakuan Aodan, ia meremas dompetnya yang menipis seiring dengan makanan yang sudah dihabiskan oleh Aodan.
"Aku?" Aodan menunjuk dirinya sendiri dan tersenyum miring. "Aodan."
"Pekerjaan?" tanya Mika lagi dengan tidak sabar.
Aodan meremas semua bungkus makanan jadi satu dan melemparnya ke tengah meja, ia berdiri tiba-tiba dan menepuk meja dengan keras, mencondongkan tubuhnya ke arah Mika sambil menyeringai.
"Pekerjaanku? Aku suka makan," kata Aodan, ia menjilat bibirnya sehinga membuat Mika merasa merinding. "Setiap hari aku suka makan, terutama daging muda yang segar … apa itu cukup?"
Mika dengan keringat dingin yang membanjiri pelipisnya, ia meneteskan air mata. "Aku … aku sepertinya harus menelpon polisi."