Tentang Bulan. Dan dinding hatinya.
Hari Senin kedua bulan Juli merupakan awal kegiatan belajar di tahun ajaran baru. Terlihat ratusan siswa-siswi berseragam putih abu. Mereka sibuk berhamburan ke kelas masing-masing setelah mengikuti upacara bendera. Pagi itu cukup terik. Bulan berjalan seraya mengipaskan wajah sawo matangnya dengan topi. Tetes-tetes peluh menghiasi wajahnya. Mengapa upacara tetap dilaksanakan sih, keluhnya dalam batin. Bulan mempercepat langkahnya, ia tidak tahan dengan sengatan matahari yang membakar kulitnya.
Satu tetes peluh melesat menuju pelupuk mata Bulan. Segera ia seka. Luput dari pengamatannya seorang gadis cantik yang berjalan dari arah berlawanan. BRUK.Tubuh mungil Bulan terdorong ke belakang. Kelopak matanya terangkat cepat.Kini matanya bertatapan dengan mata sinis Rubi.
"Tidak punya mata?" tanya Rubi retorik dengan nada tinggi.
Bulan memalingkan wajah dan bergumam lirih, "Maaf."
Lalu Bulan meninggalkan Rubi dan teman –temannya yang terlihat kesal. Bulan tahu bahwa tidak ada gunanya berlama-lama di dekat Rubi. Yang putri seorang konglomerat itu tahu hanya bagaimana cara menjatuhkan orang lain.
Bulan memasuki ruang kelasnya, dapat dirasakannya terpaan angin dingin membelai kulit wajahmya. Ia memposisikan diri duduk di deret depan dekat dengan pintu kelas. Bulan mengedarkan pandangan. Semua kursi telah terisi. Sepertinya tahun ini akan sama seperti tahun-tahun di kelas sepuluh dan sebelasnya. Ia hanya duduk sendiri, pasif, terasing, saat istirahat hanya makan atau mengerjakan tugas. Tidak akan ada yang menarik, semua membosankan.
"Silahkan kamu menempati kursi kosing itu," ujar Pak Leon dengan telunjuk teracung.
Bulan tersadar dari lamunannya. Di depan matanya tampak sesosok laki-laki berpostur tinggi. Ia menempati kursi kosong di sebelah Bulan. Ia adalah teman satu meja pertama Bulan di SMA! Bulan bingung, apa ia harus menyapa dan memperkenalkan diri atau tidak.
"Hai," sapanya dengan suara yang lembut. Ia menambahkan, "Perkenalkan, namaku Fajar." Fajar tersenyum dan memberikan tangan kanannya.
Bulan terkesiap. Teman satu mejanya adalah orang yang sangat baik. Keramahannya dapat Bulan rasakan seketika itu juga. Mungkin Fajar memanglah fajar yang hangat dan mampu menyinari sekitarnya.
Bulan cukup lama memandangi wajah Fajar hingga akhirnya bergumam lirih, "Bulan.." Lalu cepat-cepat menundukan kepalanya, malu akan kebodohannya menatap wajah Fajar terlalu lama. Fajar tetap tersenyum, namun ia menurunkan tangannya yang hendak berjabat tangan dengan canggung.
Akhirnya bel istirahat berbunyi. Bulan menyusun kembali buku-buku pelajaran ke dalam tasnya.
"Fajar," seru sebuah suara.
Bulan menoleh walau ia sadar bukan dirinyalah yang dimaksud. Ternyata Rubi yang memanggil Fajar. Fajar menoleh sepersekian detik setelah Bulan. "Di sini ada kursi kosong. Bagaimana kalau kita makan bersama?" tanya Rubi . Bulan melirik Fajar dari ekor matanya, menanti-nanti tangapan Fajar.
"Hanya satu kursi?" tanya Fajar kepada Rubi dan teman-temannya.
Rubi mengangguk dengan senyum manis. Senyum yang mampu menawan hati setiap laki-laki yang melihatnya.
Fajar ikut tersenyum. Kemudian membuka mulutnya dan berkata, "Maaf.., hmm.." Fajar terlihat kebingungan.
"Rubi," sela Rubi cepat setelah menyadari Fajar belum mengetahui namanya.
"Terima kasih atas tawarannya, Rubi. Tetapi.. aku tidak bisa makan bersama kalian dan dengan santainya meninggalkan Bulan sendirian." Fajar berbalik, matanya bertaut dengan mata indah dan bulat milik Bulan. Fajar tahu benar Bulan menangkap makna lain dari perkataannya. Ia pun segera meluruskan, "Sebagai teman." Bulan menghembuskan napas tanpa tahu mengapa ia menahan napasya sejak mendengar satu kalimat ajaib dari mulut fajar.
Bulan berdiam diri, kemudian menyantap bekalnya. Hal ini menimbulkan rasa penasaran dalam diri Fajar.
"Bulan, karena aku sudah menemanimu, bagaimana kalau kamu membayar kebaikanku?"
Bulan terkesiap. "Eh?" pekiknya dengan suara kecil.
Fajar terkekeh. Ia berhasil melihat ekspresi lain di wajah dingin Bulan. Fajar berdeham. Kemudian berkata, "Tenang saja. Maksudku bukan membayar dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk informasi. Bagaimana kalau kamu menceritakan beberapa hal tentang dirimu?"
"Eh?" pekik Bulan kembali dengan suara lebih lantang. Ekspresinya jauh lebih hebat dibanding kekejutannya yang pertama.
Fajar semakin menjadi-jadi. Ia bukan lagi terkekeh, tetapi tertawa terbahak-bahak. Mereka langsung menjadi pusat perhatian. Mereka ditatap oleh berpasang-pasang mata penasaran. Bulan menundukan kepala. Ia malu, sangat malu, tetapi tidak dapat menepis sepercik kebahagiaan yang timbul di hatinya. Sudut-sudut bibir Bulan terangkat menciptakan senyum kecil yang bermakna. Bulan harap Fajar tidak menemukan dirinya seperti ini.
Tawa Fajar mereda. Ia menatap Bulan kembali. Gadis itu tengah tersenyum. Ini sebuah pertanda baik bagi Fajar karena Bulan sudah mau membuka diri. "Namaku Fajar Nathanugroho."
Bulan secara refleks menoleh. Dilihatnya Fajar tengah tersenyum.
Setelah mengetahui Bulan memperhatikannya, Fajar melanjutkan, "Aku adalah anak sulung dari dua bersaudara. Aku suka berolahraga dan membaca buku. Aku pindah ke sekolah ini karena keluargaku membeli rumah baru dekat lokasi sekolah ini."
Bulan memperhatikan Fajar dengan seksama. Tiap kata yang keluar dari mulut Fajar diresapi baik-baik seakan ia tengah mendengarkan alunan lagu yang melukiskan perasaannya.
"Sekarang giliranmu," kata Fajar dengan nada riang.
Bulan kembali terkesiap. Ingin sekali ia menolak permintaan Fajar, tetapi hati kecilnya enggan menyakiti Fajar. Akhirnya Bulan menyanggupi permintaan Fajar, "Namaku.. Bulan Mikaila. Aku.." Air muka Bulan jelas menampakan kebingungan. "Hanya itu," ucapnya singkat.
"Hanya itu? Bulan?" Fajar mengerutkan keningnya. Tatap matanya berusaha menyelidik. Tetapi Bulan dengan acuh tak acuh menjawab, "Ya." Mereka berpandang-pandangan. Fajar mendelik kesal, sedangkan Bulan mengangkat bahu tanpa perasaan terbeban. Lalu, mereka tertawa bersama.
***
Bulan demi bulan silih berganti. Kini, kedekatan Fajar dan Bulan bisa dikatakan sebagai sahabat. Pagi itu, mereka tampak bersama. Fajar mengenakan kaos jersey biru, sedangkan Bulan berseragam sekolah. Mereka tengah bercakap-cakap di antara padatnya sisi lapangan.
"Bulan, aku harus turun ke lapangan sekarang," ujar Fajar setelah menerima panggilan teman satu timnya. "Tunggu aku, ya!" pintanya. Tubuh gagah Fajar meluncur ke lapangan semen. Dalam waktu singkat, Fajar sudah memulai peregangan otot-otot di tubuhnya dengan melakukan pemanasan.
PRIIIT. Bunyi peluit menggema, menandakan dimulainya pertandingan futsal antarkelas. Bulan tersenyum ketika mendapati keseriusan di wajah Fajar. Fajar mengikuti ke mana saja bola hitam putih itu bergerak. Sesekali ia menendang bola ke arah gawang dan menimbulkan riuh rendah dari para penonton.
"Bulan!"
Bahu Bulan ditepuk dari belakang. Didorong rasa penasaran, Bulan memutar kepalanya. Bulan terkejut. Ia hampir tidak mempercayai penglihatannya. Bagaimana tidak? Yang ada di depan matanya adalah Rubi! Mau apa dia? keluh Bulan.
Rubi mendekatkan diri padanya. "Kamu lihat Fajar." Rubi mengacungkan jari telunjuk kirinya dekat dengan wajah Bulan. "Fajar bersinar. Ia tampan, pandai,kaya, populer. Singkatnya.., ia memimiliki kesempurnaan hidup."
Jantung Bulan berdebar ketakutan. "Apa maksudmu?"
Rubi tersenyum sinis. Sorot matanya menusuk ke dalam jiwa Bulan yang lemah. "Kamu tahu maksudku, Bulan.kamu jauh dari sempurna." Tanpa merasa cukup mengintimidasi, Rubi berbisik di telinga Bulan, "Fajar dan Bulan tidak mungkin berdekatan."
Di tengah sorak-sorai penonton, Rubi melangkah ringan meniggalkan Bulan.
Mata Bulan terbelalak lebar. Kalimat terakhir dari bibir Rubi serasa membenturkannya kepada kenyataan pahit. Tidak ada suara lain yang ia tangkap selain suara Rubi. Fajar dan Bulan tidak mungkin berdekatan. Kalimat kejam itu terngiang-ngiang dalam pikirannya. Membuat hatinya pilu. Membuat jantungya berdenyut nyeri. Membuat aliran darahnya berhenti mengalir.
Bulan tidak mau tinggal di lapangan lebih lama. Ia ingin sesegera mungkin menghilang dari kehidupan Fajar. PRIIIT. Seiring dengan suara peluit yang kembali menggema, Bulan berbalik arah dan memacu langakah kakinya.
"Bulan! Bulan!"
Bulan tidak mengubris panggilan Fajar. Juga tidak memperlambat langkahnya. Ia terus berlari menjauhi keramaian. Dalam pikirannya terngiang kembali, Fajar dan Bulan tidak mungkin berdekatan.
Fajar menahan langkah Bulan. "Bulan, ada apa denganmu?" Jemarinya melingkar pada lengan Bulan. Ia berusaha mencari letak permasalahan dari balik punggung Bulan. "Kamu tidak bisa terus-menerus membangun dinding hati.. Lihat aku, Bulan."
Bulan berbalik perlahan. Hatinya ragu untuk membiarkan dirinya menemui Fajar. Dengan memberanikan diri, ia mendongak. Memandang Fajar yang berwajah khawatir membuat hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Fajar dan Bulan tidak mungkin berdekatan," ucap Bulan dengan pikiran mengawang. "Itu adalah hukum alam, Fajar.."
"Tetapi itu tidak berlaku bagi kita. Aku.. aku membutuhkanmu, Bulan. Tanpamu, tidak ada yang menggantikanku menjadi penerang saat gelap. Aku tidak bisa bekerja sendiri. Aku tidak akan mampu berjalan sendiri di kehidupan ini. Dan kamu, kamu butuh cahaya untuk bersinar. Tanpa cahaya dari fajar, bulan takan mampu menerangi dunia. Kamu dan aku perlu bantuan. Kita saling membutuhkan, Bulan. Percayalah."
Kata-kata Fajar menyadarkannya. Betapa bodohnya ia termakan oleh kata-kata Rubi, padahal persahabatannya dengan Fajar menjadi taruhan. Persahabatan yang murni dibangun dari rasa saling membutuhkan, tanpa keinginan memanfaatkan.
Hati Bulan berkecamuk. Perasaan haru, sesal, bahagia, dan marah melebur jadi satu. Semuanya itu menghasilkan bulir-bulir air yang mengalir deras keluar dari kedua matanya.
Fajar mengusap dengan lembut setiap bulir air mata yang terjatuh di pipi Bulan. "Izinkan aku mengikis dinding hatimu.. Dan selama aku melakukannya, maukah kamu tinggal di sisiku?"
Bulan menganggukkan kepala.
Ia tidak bisa meminta sesuatu yang lebih indah dari Fajar. Tidak ada dan tidak akan pernah ada manusia lain seperti Fajar. Fajar rela membantunya untuk menghancurkan dinding hatinya. Tidak seperti banyak orang yang lalu lalang dalam kehidupannya. Mereka tidak peduli akan masalah yang Bulan pendam. Memang, semua tidak akan mudah. Mengingat Bulan telah lama membangun dinding hati dari hari ke hari, sampai-sampai ia sendiri tidak tahu bagaimana cara bagi dirinya melewati dinding hati itu. Tetapi, dengan kehadiran Fajar, Bulan memiliki keyakinan yang baru. Ia tahu dengan Fajar, ia mampu menghadapi segala permasalahan seberat apapun.
-TAMAT-