webnovel

Wastafel Tua

Keesokan harinya aku pergi ke sekolah seperti biasa, aku dan Sandi mulai berdamai kembali dengan keadaan, yang mana kita bicara dan bercanda bareng. Tibalah di gerbang sekolah

"Ci, ayo bareng"

"Ayo"

"Udah sarapan?"

"Hmm udah, kamu?"

"Iya sama udah"

Dalam perjalanan terdengar ada yang manggil namaku

"Ci, ci.." langkahku terhenti, dan Akupun menengok ke arah belakang

"Ka Dito? Iya kak?" Tanyaku.. Sandipun mencoba menghentikan langkahnya, dan menemaniku menemui ka Dito

"Ci, jangan lupa hari ini kita bakalan kumpulan buat persiapan latihan gabungan. Bawa catatan yang kakak kasih kemarin ya"

"Oh iya kak, pasti" jawabku dengan semangat.

"Udah?" Sandipun bertanya dengan wajah datar dan juteknya.

"Oh udah, ayo mari" sambung ka Dito

Aku, Sandi dan Ka Dito pun jalan berdampingan, seketika aku membuat kode untuk Sandi, supaya dia bertingkah baik dan berprilaku sopan terhadap kak Dito.

Suasana pun mendadak canggung. Tak lama kemudian ka Dito pamit.

"Ci, San kakak duluan ya"

"Iya kak" jawabku diikuti dengan Sandi sambil menganggukkan kepala.

Tibalah di kelas.

"Ci, Lo deket lagi sama ka Dito" tanya Sandi sambil membuka suara.

"Deket gimana? Kalau masalah organisasi sih iya" jawabku

"Modus" jawab Sandi sambil kembali ke bangku sendiri

"Apa?" Tanyaku sambil melirik Sandi. ' itu anak kenapa dari tadi mood nya naik turun, aneh banget' ucapku dalam hati.

Belajar di kelas pun dimulai, semua orang sangat memperhatikan guru yang sedang mengajar. Suasana dikelas begitu kondusif, apa yang diterangkan guru kami terserap jelas dalam lintasan otak sementara. Tak terasa belajar dikelas pun berkahir dengan khidmat.

Aku, Ratih, Sandi, Novi, Ana, Santi, dan Diki merupakan teman teman satu organisasi dan teman kelas.

Hari ini kami akan kumpulan membahas latihan gabungan untuk pertemuan pertama kali. Akupun menyerahkan berkas berkas yang diperlukan kepada kak Dito.

"Kak, ini berkasnya"

"Oh iya Ci, makasih banyak. Ci, ini gak ada perubahan lagi?"

"Gak ada kak"

"Oh iya boleh bantuin kakak pisahin berkas lama dan baru?"

"Boleh kak"

Disebrang meja terlihat Sandi pun sibuk dengan Novi mengurus administrasi lain. Tapi perasaan anehku mulai muncul. Kenapa hatiku tak bisa berpaling dari wajah Sandi. Apa yang salah denganku?

"Ci, udah beres?"

"Belum kak, sebentar lagi"

"Kamu lihatin apa?"

"Enggak ko kak, kebetulan hari ini panas" ucapku asal

"Kamu sakit? Muka kamu merah" Tanya ka Dito sambil pegang keningku. Akupun mencoba menghindar dari sentuhan tangan ka Dito yang mau pegang keningku. Karena aku merasa tak nyaman, dan Sandi melihatku begitu tajam.

"Prang..." Suara celengan dari bekas kaleng, tergeletak begitu saja. Sandi pun keluar dengan wajah begitu garang, apa yang salah dengan dia? Gumamku dalam hati, wajah dan emosi nya tak terkontrol. Dia pergi begitu saja meninggalkan ruangan. Sesekali Akupun melirik Ratih, Ana, Santi, Novi dan sepertinya Ratih membuatku risih dengan tatapan membunuhnya, aku mencoba mencairkan suasana namun tak bisa, akhirnya akupun pamit untuk menyusul Sandi.

"Kak, berkas yang dipilihnya sudah beres, saya izin keluar dulu"

"Oh boleh, makasih banyak Ci"

Akupun keluar dari ruang Pramuka, aku menyusuri koridor ruangan kelas.

Kemana perginya Sandi? Aku mencari Sandi ke ruang ruangan kelas, dari mulai lantai 3 disana aku mendengar suara jam dinding kuno, aku mengabaikannya.

Lalu aku kembali lagi ke lantai 2, perasaanku mulai tidak enak, akhirnya aku memutuskan ke lantai satu, Akhirnya aku melihat Sandi di taman belakang. Angin sore begitu kencang, Akupun menyusul Sandi, ke taman belakang.

Tibalah di taman belakang, namun Aku kehilangan jejak Sandi.

Ketika aku melihat Sandi, aku berlari kembali mengejarnya, dan aku melihat dia pergi ke taman belakang ujung dekat gudang penyimpanan kursi, aku melihat Sandi ke arah sanapun langsung mengejarnya kembali.

Saat aku berlari, secara bersamaan kucing hitam lari secara tiba tiba di arah samping membuatku kaget, sehingga aku terjatuh ke lubang parit kecil, dan telapak tanganku berdarah, karena menahan badan ke batu kasar. Lututku juga dua duanya berdarah, Akupun mencoba bangkit dan berdiri, namun satu kakiku susah untuk digerakkan, seperti ada tarikan tertentu. Akupun mencoba mengangkat kakiku sambil duduk karena tak kuat menahan sakit dan perih. Akhirnya kakiku bisa terangkat dari lubang itu.

Aku berjalan.. mencoba mencari Sandi kembali, sampai akhirnya aku menemukan wastafel di taman belakang. Tanpa berfikir panjang aku langsung membersihkan kedua tanganku dan kedua kakiku yang lecet.

Aku sudah membersihkan kedua lututku, sekarang giliran aku membersihkan kedua telapak tanganku.

Namun mengapa luka ku tidak kunjung berhenti? Dan banyak mengeluarkan darah saat dibersihkan dengan air?

Aku mencoba membersihkan kembali lukaku, lagi lagi darah itu keluar dari lukaku, aku menggosok gosok tanganku sampai akhirnya terasa perih dan mencoba membersihkan luka ku kembali di wastafel tersebut.

"aaaaa..." Akupun berteriak kaget karena kucuran air yang ada di wastafel tersebut berubah menjadi merah. Aku mencoba memastikan tak ada yang salah dengan lukaku, aku sempat menutup keran wastafel itu.

Lalu membukanya lagi, dan penglihatan ku memang benar, air yang ada di wastafel itu berubah menjadi merah seperti darah yang sedang mengalir deras.

Aku menutup kembali air keran yang ada di wastafel itu. Saat itu aku mulai cemas dan teringat luka di kedua lututku. Aku mencoba memberanikan diri melihat kearah lutut ku yang terluka.

Aku rasa ini bukan mimpi, kakiku terlihat seperti sedang berlumuran darah kental. Bukannya tadi terlihat bersih, namun kenyataannya kakiku begitu kotor seperti dibilas dengan cairan merah yang kental sebut saja kakiku seperti di bilas dengan darah segar. Badanku bergetar hebat melihat kedua lututku. Saat itu aku mencoba berjalan cepat dan kembali ke ruang Pramuka.

Saatku berjalan, aku sesekali melirik wastafel tersebut, dan disebrang taman terlihat nenek tua yang berjalan menuju gudang di taman belakang. Aku mencoba tenang dan menjernihkan fikiranku.

Aku menguatkan diriku untuk sampai ke ruang Pramuka. Namun dalam perjalanan aku melihat Sandi sedang bermain basket sendirian dilapang. 'akhirnya aku menemukanmu' gumamku.

"San, kamu habis darimana?" Tanyaku sedirikit panik

"Aku dari tadi disini." Jawabnya singkat. Sambil mengabaikan ku.

"Ohemh, ayo kembali ke ruangan" titahku.

"Ngapain? Lagian aku juga gak dibutuhkan disana? Semua nya sudah bereskannnn...?". Lalu dia sedikit melirikku dan..

"Woy Lo kenapa..? Apa ini? Lo jatuh dari mana? Kenapa lo gak bisa sehari aja buat gue gak khawatir". Ucap Sandi sambil melempar bola basket ke  sembarang arah.

"Aku gak apapa ko" jawabku.

"Gak apapa gimana, tangan Lo berdarah, apa ini kotor banget, ada yang luka lagi?".

"Gak apapa, aku tadi cuma jatuh keseleo".

"Lutut lo juga berdarah? Yaampun, ikut gue" Saat itu juga lenganku ditarik Sandi ke ruang UKS."

Suasana di ruang UKS pun hening. Sandi membersihkan tangan dan lututku secara hati hati dan telaten. Aku mencoba membuka suara.

"Aku gak apapa, nanti juga sembuh."

"Aku minta maaf".

Ucapku sambil melihat wajah Sandi yang ada dihadapanku, dia terlihat begitu marah dan serius membersihkan luka lukaku.

Luka di kedua lututku sudah dibersihkan dan dikompres air hangat. Lalu dengan hati hati Sandi mengoleskan sedikit salep di kedua lututku.

Aku merasa canggung dengan suasana seperti ini. Meskipun kami dekat, teman sekelas dan seorganisasi, aku gak pernah melihat Sandi begitu sangat mengkhawatirkanku.

"Lututnya udah selesai diobati, mana tanganmu" ucap Sandi sedikit membentak, aku melihat matanya yang berhadapan dengan wajahku.

Akupun mencoba mengulurkan kedua tanganku. Lagi lagi Sandi membersihkan lukaku dengan kompresan air hangat dan memberi nya salep sedikit. Aku melihat mata Sandi seperti berkaca kaca, namun air matanya tak benar benar jatuh.

"Apa yang salah?" Aku mencoba membuka suara lagi.

"Apa lo tadi nyariin gue?" Tanya Sandi sambil menyelidikku dengan tatapan penuh kemarahan. Akupun mencoba mengangguk  meskipun ragu.

"Hmhh" Jawabku. Dan saat itu juga Sandi memelukku erat. Akupun kaget.

"Aku marah, aku sangat marah dengan diriku sendiri."

Akupun menepuk pundak Sandi secara perlahan, membalas pelukannya dan mencoba menenangkan.

"Aku marah karena aku penyebab kamu terluka. Aku gak bisa jadi pelindung mu".

"Lagi lagi aku yang membuatmu menderita dan terluka. Aku sangat marah pada diriku sendiri. Tapi aku juga ingin egois dengan keadaan ini. Mungkin sedikit pecundang jika aku tak mengatakannya sekarang"

Sandipun melepaskan pelukannya, "Bolehkah aku menyukaimu? Bolehkah aku menjadi pacarmu? Dan menjadikanmu sebagai pacarku?".

Akupun menatap Sandi dalam diam, menulusuri apakah ada kebohongan yang tersimpan dalam sorot matanya. Sepertinya dia mengatakannya dengan sungguh sungguh. Apa yang ada dalam fikiranku tak sesuai dengan bahasa tubuhku. Akupun mengangguk mengiyakan. Dan aku tersadar sejenak 'mengapa aku terlalu cepat untuk mengatakan iya, bodoh banget Ci' ucapku dalam hati, dengan mengeluarkan ekspresi wajah tersenyum dipaksakan, karena menahan malu.

Sandipun tersenyum melihat wajahku seperti kepiting rebus. Dan sesekali aku meliriknya sambil tersenyum malu.

Sandipun pergi sambil tersenyum, sepertinya dia memberikanku ruangan sedikit untuk bernafas lebih tenang dan lama.

Tak lama kemudian Sandi kembali.

"Kamu mau minum?"

"Enggak usah"

"Tapi aku udah bikinin teh manis anget buat kamu. Nih, minum dulu"

Akhirnya akupun meminum teh manis anget itu, rasanya seperti flashback. Dimana Sandi memberiku teh manis hangat pada waktu kemah siswa baru dulu.

"Oh iya luka kamu masih sakit?"

"Enggak ko, udah mendingan"

"Bisa jalan?"

"Bisalah, lukaku gak terlalu parah"

"Hemhh, oke aku ambil dulu tas kamu di ruang Pramuka, mungkin kumpulan hari ini sudah selesai"

"Aku ikut"

"Tunggu aja disini"

"Aku mau ikut, gak enak kalau pulang gak izin dulu"

"Ya baiklah ayo.."

"Apa"

"Pegang tanganku"

"Apaan sih" jawabku sambil berjalan dan tersenyum lalu mengabaikan Sandi. Sandipun menyusulku lalu dia menggenggam tanganku.

Sampai di ruang Pramuka, Akupun sedikit ragu untuk masuk dan memilih untuk berjalan di belakang Sandi.

"Kak, maaf kami telat"

"Iya gak apapa, silahkan duduk" ucap ka Dito

"Khemhh telat sih telat, tapi gak usah pegangan tangan juga kali. Kalian gak bakalan di hukum" jawab Ratih mengejek. Semua orangpun tertawa.

Akupun tersadar dan langsung melepaskan tangan Sandi, lalu duduk dengan Ratih kembali. Aku mencoba menahan rasa Maluku dihadapan semua orang.

"Hemmhh Lo hutang cerita banyak sama gue Ci" ucap Ratih memelas

"Apaansih ra" jawabku sambil malu.

Tak lama suasana di ruangan pun begitu ricuh seperti pasar gara gara ucapan Ratih. Sepertinya mereka terlalu serius dan mewawancarai Sandi begitu antusias.

Bukan hanya Sandi teman teman terdekatku mengejek sama halnya seperti Ratih.

"Ci, kalau mau drama jangan bikin panik sejuta umat" ucap Ana.

"Bener Ci, Lo tau gak tangan gue bergetar karena Sandi tiba tiba ngejatuhin celengan kaleng" ucap Novi mengiyakan.

"Sumpah ya, gue gak tau harus ngomong apa sama kalian berdua, gue yang lihatnya aja geregetan. Kenapa Lo sama Sandi gak jadian aja pas sebelum kemah siswa baru. Kalian pasangan serasi. Saking serasinya, gue jadi presiden yang mendukung Lo sama Sandi, dan berdebat dengan orang yang menyebut Lo serasi dengan ka Dito. Netizen kan gue? Nah itu dia lawan netizen gue" Ucap Santi  dengan antusias sambil menunjuk Diki.

"Kenapa jadi gue yang kena? Gue juga menganalisis Kak Dito sama Citra berdasarkan fakta dan data akurat, wajar dong gue shipernjya mereka" ucap Diki dengan PD.

Tak lama Sandipun datang dibelakang Diki dan menepuk pundaknya.

"Ehh maaf bos"

"Ahhh sakit" ucap Diki yang dihadiahi satu jitakan besar dari Sandi.

"Yeee, maafin gue, karena gue bener bener gak tau Lo suka sama Citra" ucap Diki menjelaskan.

"Hemmh, Ci, nanti pulang aku anterin ya". Ucap Sandi, dan Akupun menjawab dengan sebuah anggukan kecil.

"Cieee yang sekarang bilangnya aku-kamu, haduhh panas panas panas. Temen sebangku ku gak jomblo lagi" ucap Ratih mengejekku kembali.

Karena suasana pun tidak begitu kondusif, akhirnya kumpulan pun berakhir tanpa adanya praktek. Semua orang sudah bersiap siap untuk pulang.

"Ci, selamat ya, akhirnya Sandi mengatakan kata kata yang tak pernah kakak fikirkan" ucap ka Dito

"Makasih kak"

"Lihat tuh disana Sandi sudah nunggu kamu". Akupun tersenyum sambil mengangguk.

Akupun berjalan menghampiri Sandi yang sedang menungguku di depan pintu.

"Ayo" ucapku

"Ya" jawab Sandi sambil tersenyum sesekali melirikku

Next chapter