Kirana berjalan gontai menuju ruang istirahat tenaga medis. Sejak kejadian ayah Leon menandatangi surat cerai dan surat perjanjian, antrian pasien yang ditangani Kirana semakin mengular.
Hari ini dia berkutat dengan nyawa. Salah satu pasien di lantai enam yang mengidap kanker serviks stadium IV mendadak kejang. Ia ingat betul pasien itu. Badannya kurus seperti hanya dibungkus kulit, kepalanya botak, kedua tulang pipinya menonjolkan, matanya layu dan bibirnya putih pecah-pecah. Kirana tidak tega melihat keadaan pasien itu.
Sudah setahun ini pasien itu melakukan kemoterapi di rumah sakit tapi tidak kunjung membuahkan hasil. Puncak rasa sakitnya ketika ia kesulitan bernapas dan kejang tadi. Kirana dan para perawat syok. Kirana sampai menggunakan alat pacu jantung.
Untunglah pasien ini selamat meski keadaannya masih koma sekarang. Pasien kanker ini sangat mengesankan bagi Kirana.
Sejak mengenal pasien ini dua bulan lalu, ia tidak pernah berhenti menyemangati Kirana. Pasien ini selalu bilang bahwa hidup ini adalah perjuangan. Katanya Kirana tidak boleh berhenti berjuang sampai napas terakhir. Sejujurnya Kirana heran bagaimana bisa seorang pasien kanker serviks stadium IV berbicara begitu positif di tengah ambang kematian.
Kirana bahkan pernah sempat bertanya, "apakah Ibu gak takut kematian?"
Pasien itu tersenyum lemah ditengah wajahnya yang kurus. "Untuk apa takut Dokter Kirana? Kan semua manusia pada akhirnya bakal mati dan berjalan ke alam lain."
Kirana sangat terenyuh sewaktu mendengar jawaban pasien itu. Pasien itu juga berpesan agar Kirana tidak menyerah dalam hidup ini. Katanya menyerah sama dengan kematian itu sendiri.
Kirana membuka pintu ruang istirahat tenaga medis. Saat masuk ke ruangan, ia kaget sekali melihat sebuah karangan bunga mawar super besar di atas meja. Ada bunga mawar putih, merah, pink, kuning, ungu dan biru. Semuanya dipadukan sangat cantik. Bahkan aroma karangan bunga itu menyerbak ke seluruh ruangan.
Lalu seorang perawat masuk. "Dokter Kirana, tadi ada kurir yang ngirim bunga ini. Kayaknya ada yang naksir deh sama Dokter."
Di situasi seperti inilah Kirana kehabisan kata-kata.
"Oh ya tadi saya lihat ada surat di karangan bunganya, Dok" lanjut perawat itu sambil senyum-senyum sendiri.
Kirana menaikkan alisnya lalu mengambil surat yang terpasang di karangan bunga. Isinya berbunyi begini:
"To the world you may be one person, but to one person you are the world."
(Bastian Dewandra)
Kirana hanya menggigit bibir. Dari Bastian lagi? Ini sudah hadiah kelima yang ia dapat dalam satu minggu ini. Pertama ia mendapat kiriman boneka beruang raksasa, coklat satu kotak besar, sepatu high heels putih yang cantik dan satu set bantal bulu yang ada simbol hati. Sekarang ia dapat karangan bunga. Apa sih yang diinginkan Bastian darinya?
Bukannya Kirana tidak suka diberi hadiah tapi ia merasa tidak nyaman. Ia bukan wanita yang terbiasa dibanjiri dengan hadiah-hadiah manis semacam ini. Lagipula selama ini Bastian sudah banyak membantunya. Kirana tidak ingin menjadi wanita yang memanfaatkan pria kaya.
Kirana memutuskan untuk menemui pria itu. Ia akan ke kantornya dan mengembalikan semua barang-barang ini. Toh ia merasa tidak enak dengan semua penghuni rumah sakit terutama para perawat.
Semua perawat sekarang sibuk bergosip tentang pria-pria menawan yang mendekati Kirana. Pertama, Bastian yang mengiriminya hadiah lima kali berturut-turut. Kedua, Victor sering ke rumah sakit untuk menemuinya. Semua itu makin menambah daftar panjang gosip yang menimpanya.
…..
Kirana berjalan memasuki gedung pencakar langit Dewandra Tower di daerah Jakarta Pusat. Mata Kirana tak berhenti terperangah melihat megahnya gedung ini.
Ia benar-benar tidak menyangka kakek yang selama ini suka menjodoh-jodohkannya dengan Bastian sukses membangun perusahaan hingga sebesar ini sekarang.
Resepsionis menyambut Kirana. "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya Kirana. Saya ingin bertemu dengan Pak Bastian Dewandra," jawab Kirana.
"Ada keperluan apa dengan Pak Bastian?" tanya reseptionis itu ramah.
"Saya dokternya Pak Bastian," Kirana tidak menyangka akan menyebut dirinya sebagai dokter pribadi Bastian! Tapi mau bagaimana lagi. Kalau tidak mengaku seperti ini tentu reseptionis tidak akan mengijinkannya untuk bertemu Bastian.
Reseptionis terlihat sibuk menelpon. Sepertinya ia mengecek apakah benar Kirana adalah dokter pribadi Bastian.
"Ibu, bisa naik ke lantai 20. Setelah keluar dari lift belok kanan. Nanti ada sekertaris yang akan mengantar ibu ke ruangan Pak Bastian."
"Oh baik. Terima kasih," kata Kirana.
Kirana langsung berbelok ke kanan begitu keluar dari lift. Di depannya ada seorang wanita yang sudah menunggu Kirana. Wanita itu sepertinya sekertaris.
Dandanannya begitu modis. Ia memakai kemeja lengan panjang dan rok yang ketat. Rambutnya digelung rapi seperti seorang pramugari. Belum lagi wanita ini memakai high heels 10 sentimeter. Dia lebih mirip model daripada seorang sekertaris.
Melihat dadanan sekertaris yang modis, Kirana jadi menyesali pilihan bajunya hari ini. Ia hanya memakai kemeja hitam yang dipadukan dengan cardigan putih dan jeans.
Ruang kerja Bastian terletak di sayap kanan lantai 20. Di depan pintu ruang kantornya ada tulisan DIREKTUR. Rupanya Bastian seorang direktur.
Kirana menarik napas. Lalu ia mendorong pintu besar di depannya. Di depannya sudah berdiri Bastian lengkap dengan setelan jas hitam dan senyum yang mengembang.
"Halo, Dokter pribadiku," sapa Bastian sambil mempersilahkan Kirana duduk di sofa.
Kirana tersipu malu. "Maaf, Bastian. Aku gak bermaksud bohong pas bilang dokter pribadimu."
Bastian tertawa. "Santai aja, Kir. Aku tahu kok kamu bukan tipe pembohong."
"Makasi," Kirana mulai bernapas lega. "Sebenarnya aku ke sini karena ada yang mau aku omongin."
Bastian mencondongkan tubuhnya ke arah Kirana. Ia melihat Kirana dengan tatapan intes. "Apa itu?"
"Aku gak terbiasa diberi hadiah oleh orang lain," kata KIrana tanpa basa-basi. "Ketika aku dapat banyak hadiah rasanya seperti ada orang yang ingin membeli diriku dengan hadiah."
Sedetik kemudian Bastian bingung. Bastian akui dirinya memang tertarik dengan Kirana yang manis dan rendah hati. Ia juga berharap gadis itu segera jatuh cinta padanya. Tetapi ia sama sekali tidak ada niat membeli hati Kirana.
"Apa maksudmu dengan hadiah?"
"Kamu mau mempermainkanku?" kini Kirana menatap Bastian tajam.
Buru-buru Bastian menggeleng. "Jangan salah paham. Tapi demi Tuhan aku gak paham arah pembicaraan ini. Bisakah kamu menjelaskannya secara lebih detail?"
"Kamu seminggu ini ngirimin aku banyak hadiah mulai dari bantal bulu, coklat, high heels, boneka dan terakhir bunga. Seisi rumah sakit sampai tahu kalau kamu suka mengirimiku hadiah," jelas Kirana.
Tunggu, tunggu pasti ada kekeliruan. Hadiah? Bastian mengingat-ingat rencananya mau membelikan gadis itu gaun tapi urung dilakukan. Lalu dari mana datangnya hadiah kalau ia sendiri mengurungkan niat membelikan hadiah?
"Pasti ada salah paham, Kirana," kata Bastian sambil berpikir. "Aku gak pernah ngirimin kamu bunga, boneka atau semacamnya. Sumpah."
Kirana hanya bisa melongo. "Kalo bukan dari kamu terus dari siapa? Tiap hadiah selalu ada surat yang isinya itu dari kamu, Bastian."
Kini Kirana dan Bastian sama-sama bingung dengan kejadian ini. Kirana merasa tidak punya penggemar rahasia. Seandainya ia punya penggemar rahasia yang mau bersusah-susah mengirimi hadiah, untuk apa mengaku semua hadiah itu dari Bastian?
"Maaf, Kirana. Aku benar-benar gak menyangka ada orang yang pakai namaku untuk ngirim hadiah ke kamu dan membuatmu jadi bahan gosip di rumah sakit," Bastian merasa tidak enak pada Kirana.
"Ini bukan salahmu kok, Bas," kata Kirana.
Sekarang Kirana merasa malu bukan main. Selama ini ia sudah menyangka Bastian mau membeli hatinya dengan semua hadiah itu. Nyatanya itu tidak benar.
"Kayaknya aku tahu siapa yang ngirim hadiah pakai namaku," kata Bastian sambil menatap Kirana.
….
"Udah nemu belum, Di?" tanya kakek pada Adi yang sibuk membaca di ponselnya. Kakek duduk santai di ruang kerjanya di perusahaan Dewandra Automotive Corp.
"Belum nemu quotes romantis yang pas, Tuan Besar. Duh, Adi bingung harus nulis apa lagi di kartu ucapan untuk Dokter Kirana," katanya menyerah dan menjatuhkan diri ke sofa.
Kakek hanya geleng-geleng kepala. "Kamu ini gimana sih, Di? Masih muda kok susah amat bikin kalimat manis buat cewek? Harusnya kamu gak perlu cari di internet kayak gitu. Bikin sendiri lah."
Adi hanya bisa memandang kakek sambil menghela napas. "Bukannya Adi gak mau, Tuan Besar tapi bikin kalimat romantis itu sulit. Lebih gampang cari di internet."
"Itu karena kamu kurang kreatif aja. Mana jiwa mudamu itu, Di?" kakek mulai mengomeli Adi. "Besok kita harus kirim hadiah lain ke Dokter Kirana. Jangan sampai kamu gak nemu kalimat romantis lho."
Adi sangat frustasi seminggu ini. Kakek setiap hari memberinya tugas mencari hadiah-hadiah untuk cewek yang sedang tren. Hadiah itu nantinya akan dikirimkan ke Dokter Kirana. Adi sampai harus browsing di internet. Bahkan ia juga harus membuat kalimat-kalimat romantis di setiap hadiah. Satu lagi, Adi harus menulis kalau semua hadiah itu dari Bastian. Katanya kakek ini demi Bastian dan Kirana bisa dekat.
"Aku berani jamin kalau Dokter Kirana akan segera jatuh hati sama Bastian kita," kata kakek sambil senyum-senyum sendiri.