webnovel

Menolong

Yudhistira keluar dari ruang pemulihan ibu Leon. Dia baru saja mengecek kondisi ibu Leon. Sementara itu Leon sedang tidur di bangsal anak-anak setelah Yudhistira memberinya obat penenang. Tadi bocah malang itu terguncang dan menangis terus.

"Yudhis," Kirana memanggil Yudhistira.

Yudhistira menoleh dan mendapati Kirana sedang berlari kecil ke arahnya. Yudhistira lega karena Kirana nampak lebih sehat dari siang tadi.

Tapi… tunggu. Di belakang Kirana ada seorang pria. Wajahnya sangat familiar. Itu Bastian, batin Yudhistira.

"Gimana keadaan ibu Leon?" tanya Kirana.

"Cukup baik. Sekarang dia sedang istirahat," kata Yudhistira.

Kirana lega. "Syukurlah."

"Kamu sendiri gimana keadaannya?" Yudhistira memegang pundak Kirana dan menempelkan tangannya ke dahi gadis itu.

"Aku baik," jawab Kirana.

"Ehem," Bastian berdeham. Otomatis Yudhistira melepaskan tangannya dari bahu Kirana.

Mata Bastian menatap tajam ke Yudhistira. Dia kelihatan tidak menyukai cara Yudhistira menyentuh Kirana.

Sejujurnya Yudhistira merinding melihat sorot mata Bastian. Sebagai laki-laki Yudhistira tahu kalau itu sorot mata posesif laki-laki pada perempuan. Bukankah mereka tidak pacaran? Kenapa Bastian harus merasa terganggu melihat laki-laki menyentuh Kirana?

"Kalian bisa masuk kalau ingin bertemu dengan ibu Leon," kata Yudhistira. Ia tidak ingin terus-menerus ditatap oleh Bastian.

Ketika masuk ke ruang pemulihan, Kirana melihat ibu Leon sedang duduk di atas ranjangnya sambil menatap keluar jendela.

Lalu Kirana dan Bastian duduk di ruang pemulihan ibu Leon. Kirana sangat cemas dengan kondisi ibu Leon. Apalagi sejak kejadian hampir melompat dari gedung.

"Ibu," Kirana memberanikan diri menggenggam tangan ibu Leon.

Ibu Leon sudah tidak menangis lagi. Meski begitu wajahnya masih muram dan sendu.

"Maafkan saya, Dok. Gara-gara saya Dokter Kirana jadi susah," ibu Leon meminta maaf dengan tulus.

Kirana menepuk-nepuk tangan ibu Leon. "Gak apa-apa, Bu."

"Ngomong-ngomong apa yang membuat ibu sampai ingin bunuh diri?" tiba-tiba Bastian bertanya.

Ia sangat penasaran apa yang membuat ibu Leon sampai dua kali mencoba bunuh diri. Ia yakin wanita ini pasti menanggung beban hidup yang berat.

"Saya tidak tahu harus apa, Dok," mata ibu Leon mulai berkaca-kaca. "Suami saya tega sekali pada kami berdua. Ia membawa lari uang hasil dagangan saya. Padahal uang itu mau saya gunakan untuk membiayai sekolah Leon. Leon sudah nunggak uang sekolah tiga bulan."

"Belum lagi sebulan lalu saya dengar dia menikah siri dengan wanita lain. Sejak saat itu dia tidak pernah kembali ke rumah. Saya masih bisa menanggung semua itu. Tapi saya gak tahan ketika ada rentenir ke rumah saya. Rentenir itu bilang kalau kami harus harus meninggalkan rumah, karena suami saya gak melunasi hutang."

Ibu Leon menangis. Air mata membasahi pipinya.

Hati Kirana sakit. Ia tahu betapa sulitnya seorang ibu membesarkan anaknya sendirian. Itulah yang dialami oleh ibu kandungnya dulu. Ibunya harus bekerja di sebuah pabrik, membuat kue untuk dititipkan ke warung-warung dan kadang menerima pesanan jahitan dari tetangga. Semua itu demi mencukupi kebutuhan Kirana dan Keenan.

Bastian melihat ekspresi Kirana yang sedih. Seolah Kirana bisa merasakan setiap luka dalam cerita ibu Leon.

"Sebagai ibu, saya merasa gagal. Saya gak bisa menyekolahkan anak saya. Saya gak bisa memberi dia tempat tinggal yang layak," isak ibu Leon.

Kirana langsung memeluk ibu Leon. Ia menepuk-nepuk bahu wanita itu.

"Ibu tidak gagal sebagai orang tua. Leon tahu itu. Bagi Leon, ibu adalah ibu terbaik," Kirana berusaha menghibur ibu Leon.

Kirana teringat masa kecilnya. Dia teringat bagaimana ibunya berjuang keras membiayai kehidupannya. Bagi Kirana, ibu kandungnya tidak pernah gagal sebagai ibu. Kirana tidak pernah melihat ibunya sebagai sosok orang tua yang tidak layak. Justru di matanya, ibu adalah orang paling bertanggung jawab.

Dirinya yakin, Leon juga merasakan hal yang sama. Meskipun Leon masih kecil, tentu dia melihat bagaimana ibunya memperjuangkan dirinya sampai saat ini. Mana mungkin Leon kecewa apalagi marah pada ibu yang sehebat ini?

"Ibu, tenang saja," Bastian angkat suara. "Saya akan membantu ibu dan Leon."

Kirana menatap Bastian. "Maksudmu?"

"Soal hutang suami ibu, saya akan minta asisten saya mengurusnya. Lalu soal sekolah Leon, saya juga akan membantu membiayai sekolah Leon hingga kuliah nanti. Jadi ibu tidak perlu khawatir akan masa depan Leon."

Bastian memang belum pernah hidup susah kesulitan ekonomi. Tapi dengan melihat ekspresi Kirana yang sedih, ia bisa membayangkan betapa sulitnya hidup ibu Leon.

"Tapi saya gak bisa bisa menerima kebaikan, Anda," kata ibu Leon.

"Panggil saya Bastian saja, Bu," Bastian tersenyum. "Ibu gak perlu sungkan. Saya ikhlas menolong ibu."

Mata Kirana semakin berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Bastian bisa berbuat sebanyak ini. Sebesar ini. Dan semulia ini.

"Ibu, jangan mikir macam-macam. Fokus pulih saja dulu," kata Kirana.

Ibu Leon meneteskan air mata. "Terima kasih, Dokter Kirana. Terima kasih, Nak Bastian."

….

Bastian memesan makanan di Grab. Dia melihat tubuh Kirana lemas seperti orang yang belum makan seharian. Kali ini, Bastian memesan bakso kesukaan Kirana. Mereka berdua makan di ruang UGD.

"Terima kasih," Kirana mengeluarkan suara setelah mereka berdua makan dalam keheningan.

"Untuk?" alis Bastian terangkat.

"Segalanya. Terutama karena sudah membantu ibu Leon," Kirana benar-benar berterima kasih pada manusia di depannya ini. Baginya Bastian tidak hanya menjadi teman tapi malaikat penolong.

"Menurutku apa yang aku lakukan tidak sebanding dengan apa yang kamu lakukan untuk ibu Leon," kata Bastian lembut.

"Maksudnya?"

Bastian tersenyum hangat. "Aku hanya membantu yang kubisa. Aku hanya membantu mereka dari sisi finansial. Tapi kamu membantu mereka dengan hidupmu sendiri, Kirana."

"Kamu terlalu berlebihan," pipi Kirana memerah. Ia malu.

Bastian buru-buru menggeleng. "Aku serius. Kamu sampai repot-repot berdiri di pinggiran atap gedung hanya untuk menghentikan ibu Leon lompat. Kamu sudah mempertaruhkan nyawa untuk mereka. Jadi apa yang aku lakukan tidak sebanding dengan apa yang kamu lakukan."

Bastian memberanikan diri menggenggam tangan Kirana. "Satu lagi. Terima kasih sudah mengajarkanku tentang menolong orang lain. Dalam hidupku ini aku belum pernah melihat ada orang yang begitu peduli dengan orang lain seperti kamu, Kirana."

Hati Kirana tersentuh mendengar perkataan Bastian barusan.

Dalam hatinya Bastian sangat sangat bersyukur mengenal Kirana. Dia tidak menyangka kecelakaan yang hampir merengut nyawanya justru mengantarkan dirinya pada sosok bercahaya, Kirana.

Awalnya Bastian menganggp Kirana adalah cahaya yang menuntunnya diambang batas hidup dan mati. Namun semua berbeda sekarang. Kirana lebih dari penuntun. Kirana adalah cahaya yang menerangi setiap langkahnya.

Tiba-tiba seorang perawat masuk. "Dok…"

Melihat Bastian sedang menggenggam tangan Kirana, perawat itu buru-buru minta maaf. "Maaf sudah mengganggu."

Kirana dan Bastian buru-buru melepaskan tangan satu sama lain.

"Ada apa, Sus?" Kirana berusaha mengalihkan topik.

"Mmm.. Anu.. Pak Tanjung manggil Dokter Kirana. Katanya mau bikin konferensi pers," kata perawat itu malu-malu.

"Oke."

Kirana bersiap. Kali ini ia harus menghadapi konferensi pers sendirian tanpa Bastian.

Next chapter