Sore sudah menampakan sinar mentari berwarna jingga. Kiara sudah lelah menunggu Haruna yang tidak kunjung keluar dari kamar. Ia menjadi murung. Wajahnya merengut karena berpikir Haruna hanya membohonginya.
"Lho, Kia. Kenapa cemberut begitu, Sayang?" tanya Anggi yang baru saja selesai memasak untuk makan malam.
"Nek, Mama cuma bohongin Kia, ya?" tanyanya dengan wajah sedih.
"Siapa yang bohong, Sayang?" Haruna keluar dari kamar dengan pakaian sederhana. Ia memakai celana jeans hitam ketat dengan atasan kaos polos dilapisi cardigan sebagai luaran. "Mama cuma kebingungan cari baju, makanya lama. Soalnya, anak Mama cantik sekali hari ini. Mama jadi bingung, pakai baju yang manapun tetap sama, Mama kalah cantik sama Kia," rayu Haruna.
"Kalian mau kemana? Sebentar lagi, Papa sama Vivi pulang, kita makan malam bersama dulu," ucap Anggi.
"Haruna mau ajak Kia jalan-jalan di mall. Mungkin, kami akan makan di luar," ucap Haruna.
"Ya, sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan!"
"Iya, Ma. Ayo, Kia, pamit dulu sama Nenek!" perintah Haruna.
"Nek, Kia pergi main dulu," ucap Kiara.
"Iya, Sayang. Hati-hati di jalan. Ingat, nurut sama Mama!"
"Iya, Nek."
Haruna menggendong KIara dan keluar dari rumah. Di depan gerbang, Ikhsan menyapa mereka. Haruna menghampiri IKhsan.
"Mau kemana, Kak?"
"Eh, Ikhsan. Kakak mau ajak Kiara main ke mall. Kamu sendiri, mau kemana?" Haruna melihat penampilan Ikhsan sudah rapi.
"Berangkat kerja. Bagaimana kalau kita berangkat bareng? Toh tujuannya sama," ucap Ikhsan menawarkan. Supermarket tempat Ikhsan bekerja itu berada di dalam mall.
"Boleh kalau begitu. Nanti pulangnya, kami naik taksi," jawab Haruna. Ia menerima tawaran Ikhsan dengan senang hati. Haruna memang berencana naik taksi karena malas membawa motornya.
Haruna membantu Kiara naik di depan Ikhsan. Lalu Haruna duduk di belakang Ikhsan. Motor segera melaju dengan kecepatan standar. Ikhsan tidak mau mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi karena membawa anak kecil.
***
Stevi dan Nyonya Izham pergi berbelanja bersama setelah minum teh. Mereka tidak sengaja berpapasan dengan Haruna di parkiran saat hendak pulang.
"Tante. Itu, bukannya Haruna, ya? Wah, ternyata dia sudah punya suami dan anak," ucap Stevi. Ia menyunggingkan senyum licik.
Wajah Nyonya Izham merah padam. Kebenciannya pada Haruna semakin besar. Haruna terlihat seperti wanita yang ingin menaikkan derajatnya dengan menikahi Tristan. Ia tidak tahu keadaan yang sebenarnya, tetapi ia sudah mengecap Haruna wanita murahan.
"Stev, ayo kita hampiri dia!"
"Baik, Tante." Stevi tersenyum penuh kemenangan. Ia akan melakukan segala macam cara untuk membuat citra Haruna buruk di mata keluarga Izham.
"Drama baru saja dimulai, Haruna. Mari kita lihat apa yang akan Tante Seruni lakukan padamu," ucap Stevi dalam hati.
Haruna menurunkan Kiara dan Ikhsan membantu Haruna melepaskan helmnya. Dalam pandangan orang lain, mereka memang terlihat seperti satu keluarga kecil bahagia. Haruna tersenyum saat Ikhsan membantunya membuka helm.
Stevi tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia memotret Haruna yang sedang tersenyum pada Ikhsan. Stevi segera mengirimkannya ke nomor asisten pribadi Tristan, Levi. Nomor Tristan sudah diganti dan tidak ada satupun yang tahu. Terpaksa Stevi mengirimkannya ke nomor Levi.
"Heh! Dasar wanita jalang! Diusir dari rumah anakku ternyata kamu kembali ke rumah suamimu. Dasar perempuan tidak tahu malu!" cerca Seruni.
"Tunggu! Saya, bukan …."
"Halah, kalian ini sekongkol mau menipu anak saya, iya?" tanyanya dengan sinis.
Haruna hanya diam sambil menutup kedua telinga Kiara. Gadis itu masih kecil. Tidak pantas rasanya jika dia mendengar kalimat-kalimat makian dari Seruni.
"Menipu? Nyonya, tolong jaga bicara Anda!" Ikhsan mulai gerah dengan kalimat hinaan yang Seruni lontarkan.
"San, ayo kita pergi dari sini!" ajak Haruna. Ia tidak mau lebih lama lagi berada di depan mereka. Tapi, Stevi menghadang jalan Haruna.
"Mau kemana?"
"Minggir!" ucap Haruna dengan pelan tetapi penuh penekanan.
"Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?" tantang Stevi.
Haruna mendorong Stevi dan segera melangkah melewati Stevi. Seruni menarik tangan Haruna lalu menampar pipinya dengan keras.
Plakk!
"Haruna!" Ikhsan segera menarik Haruna menjauh dari Seruni.
"Nyonya, Anda sudah keterlaluan. Yang saya tahu, anak Anda-lah yang tidak mengizinkan Haruna untuk meninggalkan rumahnya. Jadi, jaga ucapan Anda!" Ikhsan memaki Seruni. "Ayo, Kak, kita pergi dari sini!"
Mereka melangkah masuk ke dalam mall. Sedangkan Seruni membantu Stevi bangun. Mereka masuk ke dalam mobil. Dengan amarah yang semakin besar dan kebencian yang dalam.
"Aku sudah mengusirnya dari rumah Tristan. Jika dia berani kembali ke sisi Tristan, aku tidak akan pernah membiarkan dia hidup dengan tenang."
"Tante tenang saja! Stevi juga tidak akan membiarkan dia kembali," timpal Stevi. Kedua wanita yang berada dalam satu perahu itu sedang mencari cara untuk menyingkirkan Haruna dari rumah Tristan.
***
"Taksinya sudah datang. Terima kasih, ya, San. Padahal kamu tidak perlu mengantarku sampai sini. Nanti bosmu marah," ucap Haruna.
"Menyenangkan pelanggan mall juga pekerjaan satpam, Kak. Jadi, aman, tidak akan kena marah. Ya, sudah, Kakak cepat pulang."
"Terima kasih sekali lagi," ucap Haruna sebelum menggendong Kiara masuk ke dalam mobil. Kiara melambaikan tangannya pada Ikhsan. Mobil melaju pergi.
Ikhsan masih berdiri di sana sampai mobil itu tidak lagi terlihat. "Seandainya saja aku bisa bersanding denganmu Kak Haruna. Tapi, sepertinya hal itu mustahil. Laki-laki yang keluar dari kamarmu tadi siang, dia pasti orang yang kau cintai," lirihnya sambil mengembuskan napas berat. Ia pergi setelah taksi yang membawa Haruna telah hilang dari pandangannya.
Ikhsan, pemuda itu sudah menyimpan rasa pada Haruna sejak ia masih sekolah SMA. Namun, ia sadar, usianya berbeda jauh dengan Haruna. Ikhsan saat itu masih SMA, sedangkan Haruna sudah bekerja. Jika Ikhsan menyatakan cinta pada Haruna, orang akan berpikir kalau Ikhsan hanya ingin bergantung pada wanita yang sudah bekerja. Ia bekerja keras dan menabung untuk melamar Haruna, gadis yang dicintainya. Siapa sangka, ternyata Ikhsan sudah terlambat.
Haruna sudah memiliki orang yang jauh lebih mapan daripada Ikhsan. Pemuda itu tidak tahu kalau Vivi menyukainya. Seandainya Ikhsan menyatakan suka pun, Haruna tidak akan menerimanya. Bagaimana mungkin Haruna tega melihat Vivi patah hati.
Vivi adalah bintang di hati Haruna. Meski hanya terpaut menjadi saudara karena diadopsi, tetapi kasih sayang mereka sangat tulus. Baik Haruna ataupun Vivi, mereka tidak merasa bahwa mereka anak adopsi. Bagi mereka keluarga Kamal adalah keluarga mereka. Seandainya orang tua kandung mereka menjemput, mereka tetap akan memilih tinggal bersama keluarga Kamal. Mereka hanya ingin menikmati kebahagiaan dan hidup damai bersama kedua orang tua angkat mereka, hari ini, esok dan seterusnya.