Haruna tidak punya tenaga untuk bertengkar. Daripada ia bertengkar dengan kekasih Tristan, Haruna lebih memilih diam. Ia pasrah dengan apapun yang akan dilakukan Stevi.
Sementara di dapur, kepala pelayan yang mendengar teriakan Haruna pun segera berlari dan menghampiri Haruna di kamar. Kepala pelayan itu terperangah dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia segera mengirim pesan pada Tristan.
"Nona Stevi, apa yang Anda lakukan?"
"Siapa perempuan ini? Kenapa dia tidur di kamar ini, bukan di kamar pelayan?" tanya Stevi sambil menunjuk ke arah Haruna.
Haruna hanya diam. Pelayan itu pergi ke kamar mandi, mengambil handuk kecil untuk mengeringkan wajah dan pundak Haruna yang basah. Tidak hanya wajah dan pundaknya saja yang basah, baju tidur yang dipakai Haruna pun ikut basah. Pelayan itu membantu Haruna mengeringkannya.
"Heh! Apa kau tuli? Aku bertanya padamu, siapa dia?" Stevi kesal karena diabaikan oleh kepala pelayan itu.
"Itu, Nona tanyakan saja pada Tuan Tristan!"
"Beraninya kamu memerintahku!" Stevi membentak kepala pelayan itu.
Hal itu membuat Haruna kesal. Ia diam saja jika Stevi menindasnya, tetapi ia tidak suka kalau orang lain harus ikut terkena imbasnya. Haruna turun dari ranjang dan melangkah menghampiri Stevi. Ia berdiri dua langkah di hadapan Stevi.
"Mau apa kamu? Kamu pikir aku takut? Dasar wanita jal*ang!"
Plakk!
Amarah seketika menguasai diri Haruna. Kata jal*ang yang Stevi ucapkan itu menusuk hati Haruna. Hingga tanpa sadar, Haruna menampar Stevi dengan sangat keras hingga telapak tangannya meninggalkan jejak. Ia bukan wanita murahan seperti yang Stevi sangka. Bukan keinginan Haruna untuk tinggal di rumah Tristan. Haruna tidak terima dihina oleh Stevi.
"Akh! Kau, berani kau menamparku?" tanya Stevi sambil memegangi pipinya. Nampak jelas gurat merah bekas telapak tangan Haruna di sana. Stevi yang marah pun membalas Haruna dengan mencekik leher Haruna. Haruna tidak membalas, ia tersenyum tipis saat Stevi mencekiknya.
"Pengawal! Tolong!" Kepala pelayan itu berteriak memanggil pengawal. Mereka semua pasti akan terkena masalah jika Haruna sampai terluka, apalagi jika sampai meninggal.
Tak! Tak! Tak!
Suara beberapa pasang kaki terdengar sedang berlari menaiki tangga. Keempat pengawal itu segera menerobos masuk dan memisahkan Stevi dan Haruna. Dua orang pengawal menyeret Stevi keluar dari rumah. Sementara dua orang pengawal yang berada di kamar Haruna itu mengangkat tubuh Haruna dan membaringkannya di atas ranjang. Mereka semua ketakutan melihat bekas merah kebiruan di leher Haruna. Mereka dalam masalah tentunya jika sampai Tristan tahu.
"Aduh! Bagaimana ini?" Kepala pelayan itu mondar-mandir kebingungan.
***
Vivi tiba di rumah dan berteriak mencari ibunya.
"Ma! Mama!"
"Mama di dapur, Sayang!" ucap Anggi dari dapur. Ia sedang menyuapi Kiara karena sudah waktunya untuk makan.
Vivi melangkah dengan bahagia menuju dapur. Tiba di dapur, Vivi langsung memeluk Anggi dari belakang.
"Sepertinya kamu baru saja diterima bekerja?"
"Kok, Mama tahu?"
"Melihat kamu pulang dengan senyum setelah pergi mencari pekerjaan, hal baik apa lagi kalau bukan diterima bekerja," ucap Anggi.
Vivi tersenyum lebar, sang mama memang sangat mengerti anak-anaknya. Meskipun Anggi bukan orang tua kandung Vivi dan Haruna, tetapi ia telah merawat mereka sedari kecil. Ikatan batin antara Vivi, Haruna dengan kedua orang tua angkatnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Demi keluarga angkatnya, Haruna bahkan rela menjadi jaminan dan tersiksa di rumah Tristan.
***
"Ehm."
Haruna menggeliat bangun. Kepala pelayan segera menghampirinya dan bertanya dengan cemas. Haruna tidak bereaksi, ia mengutuk dalam hatinya. Kenapa dirinya tidak mati? Padahal ia sudah sengaja tidak melawan saat Stevi mencekiknya. Haruna berharap dengan ia mati di tangan Stevi, Tristan tidak akan mempersulit hidup keluarganya lagi. Namun, takdir berkehendak lain. Haruna hanya pingsan dan tidak sampai mati. Haruna pun duduk bersandar di ranjangnya dengan menatap hampa ke arah jendela. Rencananya mengakhiri hidup, gagal untuk kedua kalinya.
Sementara di kantor, Tristan mondar-mandir dengan kesal. Membaca pesan dari kepala pelayan, seketika emosi Tristan naik. Semakin kesal lagi karena ternyata Stevi datang ke rumahnya. Tristan memanggil Levi untuk mengubah jadwalnya hari ini. Ia tidak bisa menunggu jam pulang kantor dan segera pulang setelah membaca pesan dari kepala pelayan.
Marah, benci, cemas dan gugup, semua menjadi satu. Perasaan tidak menentu telah bercampur aduk menjadi satu dalam hati Tristan. Dengan kecepatan tinggi Tristan melajukan mobilnya menuju ke rumah. Seperti mendapat kabar istrinya disiksa oleh madu, Tristan begitu khawatir. Sampai ia meninggalkan dan membatalkan rapat penting di perusahaan demi sang istri.
Tiba di rumah, Tristan langsung berlari menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar Haruna. Kepala pelayan masih setia menemani Haruna, sementara para pengawal sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Tristan melihat leher Haruna dengan tatapan murka, ia melangkah mendekati Haruna dan mencoba melihat leher Haruna lebih dekat.
Namun, Haruna menepis tangan Tristan dengan kasar. Haruna segera berbaring dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Sejak kejadian dua hari yang lalu, Haruna semakin membenci Tristan. Karena Tristan tidak hanya menindas keluarganya, memecatnya, tetapi Tristan juga sudah mengambil paksa harta berharga miliknya satu-satunya. Harga dirinya sebagai seorang wanita telah direnggut paksa oleh Tristan kemarin malam. Kesucian yang telah Haruna jaga selama tiga puluh tahun, dirusak karena napsu pria arogan seperti Tristan. Haruna tidak ingin hidup lagi, tetapi ancaman Tristan telah menahan keinginan itu.
"Apa yang terjadi? Kenapa lehernya sampai seperti itu? Apa dia tidak melawan?" tanya Tristan pada kepala pelayan.
"Tidak, Tuan muda. Nona Haruna tidak melawan, malah tersenyum," ucap pelayan itu.
"Apa?!"
Kepala pelayan menunduk, ia ketakutan melihat kemurkaan di wajah Tristan.
"Keluar!"
"Baik, Tuan muda. Saya permisi," ucap kepala pelayan. Ia keluar dari kamar Haruna. Baru beberapa langkah, ia mendengar suara teriakan Haruna.
"Tidak! Lepaskan Aku!" Haruna berteriak sekuatnya.
Teriakan bercampur tangisan itu membuat langkah kepala pelayan berhenti sejenak. Hatinya terasa sakit mendengar suara teriakan Haruna yang begitu memilukan. Namun, ia tidak bisa melakukan apapun untuk membantu Haruna. Ia menguatkan hatinya dan melangkah pergi ke dapur. Kepala pelayan itu tidak tahu, apa yang sedang terjadi dengan Haruna dan entah apa yang Tristan lakukan pada Haruna. Ia hanya seorang pelayan, meskipun ia ingin menolong Haruna, ia tidak bisa melakukannya. Akhirnya hanya bisa bersikap seolah tidak ada yang terjadi.
Di dapur, kepala pelayan itu duduk melamun memikirkan nasib Haruna.
"Kenapa aku sangat peduli pada Haruna, padahal selama ini Tuan Tristan sering membawa wanita ke rumah dan aku tidak peduli sedikitpun. Kenapa hatiku sangat sakit mendengar teriakan Haruna tadi. Seperti ada ikatan batin antara aku dan Haruna," gumam kepala pelayan.