webnovel

Biang Keladi

Makan siang kali ini terasa berbeda bagi Ansel. Dia memakan Pizza yang dia buat sendiri dengan lahap sampai-sampai dia menginginkan lagi. Untung saja Kay tak membuat hanya satu macam. Berbagai macam pizza dia buat dilengkapi dengan minuman segar yang dia pesan online sebelumnya.

"Ansel pelan-pelan makannya nanti kamu keselek.." Sachi memperhatikan anaknya yang terus menggerakan mulutnya. Kay sendiri makan dengan lamunan dalam kepalanya. Dia memikirkan ciri-ciri yang disebutkan Ansel sebelumnya di dapur dan dia juga memikirkan hari esok untuk menjemput Keyla.

"Anak kamu, usia berapa tahu?."

"4 Tahun.."

"Tapi ngomongnya udah lancar."

"Karena sering diajakin ngobrol terus, anaknya juga cerewet."

"Kamu cuman punya 1 anak?."

"Aku punya 3 anak, 1 laki-laki, 2 perempuan."

"Kemarin aku cuman liat anak perempuan kamu."

"2 lagi meninggal."

"Oh…maaf…"

"Aku nikahin Ran karena sebuah insiden tapi bukan berarti aku ga sayang dia. Aku sayang, sayang banget sama Ran. Pernikahan kita di awal-awal emang kurang berjalan baik, hal itu karena waktu itu aku masih kuliah di Australia dan Ran disini dengan kondisi hamil. Kita jadi sering berantem ga jelas sampe aku ga tahu kalo kandungan dia ada sedikit masalah dan akhirnya kedua anak kembar aku terpaksa dikeluarkan dalam kondisi udah meninggal."

"Aku turut berduka Kay."

"Aku selalu merasa bersalah sampai hari ini. Aku ga ada disaat dia ngelewatin masa kritis itu. Aku juga pergi gitu aja ninggalin dia saat hubungan kita ga terlalu baik, jadi…buat menebus itu apapun yang Ran mau aku pasti turutin apalagi kalau udah menyangkut Keyla." Cerita Kay hanya disambut diam oleh Sachi. Dia memikirkan sesuatu tapi Kay tak tahu apa.

"Siapa pacar kamu?."

"Ga ada.."

"Apa iya?."

"Iya, cari pasangan dengan kondisi aku punya anak tapi ga pernah nikah pasti bakalan jadi pertanyaan buat dia."

"Kalau hasilnya udah keluar, aku yang bakalan tanggung jawab sama Ansel bahkan kalo kamu punya pacar dan dia ga mau nerima Ansel, biar aku yang urus Ansel. Kita bisa ketemuan sesekali."

"Ran pasti ga bisa menerima Ansel."

"Ga usah khawatir, soalnya dia.." Kay menghentikan perkatannya. Rasanya tak mungkin jika Kay mengatakan Ran akan menggugat dirinya.

"Dia apa?."

"Soal Ran biar aku yang urus." Ucapan Kay membuat suasana menjadi hening kembali. Mereka sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

"Sa…apa kamu percaya kalo anak kecil itu ga mungkin bohong?."

"Hem…tergantung kondisinya.."

"Ansel bilang dia tahu papanya dan itu bukan aku." Ucapan Kay membuat Sachi berhenti mengunyah.

"Mak..sudnya."

"Dia bilang, papanya ninggalin dia, ninggalin kamu, dia pukul kamu dan pergi."

"Hm…." Sachi bingung untuk menjawab.

"Ga mungkin Ansel bohongkan? Atau dia disuruh untuk bilang kaya gitu?." Kay semakin membungkam Sachi yang kini menatap ke arah anaknya. Ansel hanya anak yang tak berdosa, dia tak terlalu mempedulikan perbincangan orang dewasa di depannya.

"Sa…please…cerita sama aku, kenapa?. Apa yang kamu incer? Kamu mau apa dari aku?. Aku ga akan marah kalo kamu bilang semuanya sekarang."

"Sebaiknya kamu pulang aja.."

"Kenapa? Ada apa?."

"Pintunya udah kebuka kan?." Sachi beranjak dari kursinya. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu yang tak jauh darisana.

"Ansel om pulang dulu, sampe ketemu nanti." Kay mengusap pelan rambut Ansel dan menemui Sachi.

"Aku tahu ada yang ga beres, terserah kamu mau cerita atau aku yang cari tahu sendiri. Aku ga mungkin tinggal diem sekarang. Aku pastiin sebelum hasil itu keluar aku tahu maksud kamu apa. Aku udah kasih kesempatan kamu Sa.." Ucap Kay sambil menatap tajam kearah mata Sachi yang sendu.

***

Erik dan Mario sudah ada menemani Kay pagi ini. Beberapa kertas bahkan terlihat berserakan di meja ruang tamu Kay.

"Kamu yakin Mario?."

"Yakin bos, hasil lab nya nanti pasti akan positif lagi."

"Urus hasilnya dan buat sesuai kenyataan sebenarnya."

"Bos Kenan udah urusin itu sama Pak Reno, beberapa orang sudah dilakukan pemanggilan sama Bos Besar."

"Oke. Besok kalian bantu saya jemput Keyla dirumah mertua saya. Tempat yang saya mau udah disiapin?."

"Udah bos."

"Orang-orangnya udah siap?."

"Udah saya cari dan mereka siap ditempat malam ini." Erik melaporkan tugasnya yang sudah dia kerjakan. Kay hanya mengangguk-ngangguk. Dia mengikuti cara Kenan untuk membaca dengan seksama hasil dari investigasi Mario dan Erik.

"Bos…" Mario tiba-tiba menunjukkan layer handphonenya pada Kay.

"Kita pergi sekarang." Kay segera membereskan semua dokumennya dan langsung pergi menuju kediaman Sachi bersama Erik dan Mario. Seperti ucapannya tadi siang, dia akan mencari tahu apa yang terjadi dengan wanita itu. Dia ingin menyelesaikan masalah ini sebelum hasilnya keluar. Tak peduli akan membuat keribuatan apa digang sekecil itu. Dia bahkan sudah siap untuk berurusan dengan polisi jika perlu. Baginya polisi sudah menjadi teman baik Kay. Tak butuh waktu lama Kay sampai disana. Dengan langkahnya yang besar dia memasuki lagi gang yang tadi siang sempat dia lewati. Baru sampai di depan pintu suara tangisan Ansel terdengar. Dia bahkan menangis dengan sangat keras namun tak ada suara Sachi disana. Dia mulai mengetuk pintu.

"Sachi…buka pintunya." Kay sambil menggedor pintunya dengan keras namun tak ada jawaban. Suara tangisan Ansel kini tak ada, bukannya lega tapi Kay sedikit khawatir. Kay mengintip dibalik Jendela kaca tapi tak ada aktivitas apapun disana. Kay semakin curiga tatkala matanya menemukan sebuah bercak darah diatas lantai tanpa pikir Panjang lagi Kay langsung mendobrak pintu. Hanya ada dua tempat yang memungkinkan menjadi tempat persembunyian Sachi dan Ansel. Dapur dan kamar mereka namun sepertinya Kay tahu kemana mereka pergi. Bekas darah itu merujuk pada satu tempat. Itu kamar mereka. Lagi-lagi saat mencoba membuka pintu itu, Kay mengalami kesulitan dan kali ini jelas dia tahu apa yang harus dilakukan. Dengan tenaganya dia menendang pintu yang hanya berbahan kayu tipis denga noda cat yang memudar.

"Ansel!!." Kay berteriak saat seseorang mencoba kabur dari jendela kamar dengan membawa Ansel dalam gendongannya. Mulut Ansel tampak di tutup. Mata dan pipinya dipenuhi air mata sementara tangannya tak bisa dia gerakkan sedikitpun akibat sebuah gesper yang mengikatnya. Reflek Erik langsung berlari keluar dengan timnya. Dia mencari kemana muara dari jendela itu sementara Kay yang didalam melihat Sachi sudah tergolek lemas di bawah lantai dengan darah menguncur di hidung, mulut dan kepalanya.

"Bawa dia kerumah sakit, cepet!!"

"Siap bos." Mario dan timnya dengan sigap membawa keduanya pergi sementara Kay akan mengurus biang keladi yang membuat hidupnya menderita selama 2 minggu ini. Kay akan memberikan pelajaran yang setimpal. Dia harus membayar penderitaanya hari ini dan juga hari-hari berikutnya. Kay berlari kebelakang untuk menemui Erik.

** To be Continue

Next chapter