webnovel

Trauma Jay

Setelah dua hari berlalu pihak kepolisian datang untuk melakukan wawancara pada keluarga Kenan. Semula semuanya berjalan lancar sampai Jay panik sendiri ketika menceritakan hal itu. Dia kadang bahkan bisa menangis lagi setiap mengingat moment dimana jari ayahnya terputus. Jesica mencoba menenangkannya. Jay benar-benar tak bisa diajak berkomunikasi sekarang. Kenan sendiri sebenarnya tak mau lagi menanyakan hal-hal buruk itu. Dia justru ingin membuat Jay lupa tapi karena kebutuhan proses dipengadilan maka hal itu terpaksa harus Kenan lakukan. Sorenya tak disangka sahabat-sahabat Jesica datang termasuk Dena yang jauh-jauh dari Yogyakarta untuk menghibur Jesica. Dia datang dengan Tiara dan Farel anak bungsunya sementara Tara bersama neneknya begitupun Katerina yang datang bersama anaknya Samuel yang ingin melihat kondisi Jay sahabatnya.

"Wah rame-rame nih." Sambut Kenan senang sambil menggendong Kris dengan satu tangannya.

"Sehat lu bro?" Alex menepuk bahu sahabatnya.

"Sehat-sehat. Ayo masuk.." Kenan menuntun semua sahabatnya keruangan dimana biasanya mereka berkumpul.

"Mana anak-anak lu?" Tanya Fahri.

"Ara udah pulang mau ke Dubai malam ini, Kay sama Jay lagi dikamarnya. Mau gw panggilin?"

"Jangan, takut lagi istirahat." Cegah Lala.

"Muel sama Tiara pasti mau liat Jay. Jay ada kok dikamar. Ketuk aja pintunya daripada dia ngelamun ajak ngobrol aja."

"Boleh om?" Tanya Muel.

"Boleh dong, naik aja keatas. Kamarnya sebelah kanan pintu kedua." Kenan memberi petunjuk membuat Muel dan Tiara pergi. Jesica datang lagi dengan membawakan minuman.

"Klis..Au..." Kris mengambil salah satu gelas membuat Kenan membantunya. Dia ingin minum.

"Besok-besok gini dong, minum di gelas aja ya.." Kenan membujuk.

"Masih nyusu nih anak?"

"Iya na, udah 2 tahun lewat masih nempel aja sama mommynya.."

"Kris kalah nih sama Farel sama Dean.." Goda Dena. membuat Kris sedikit malu.

"Ka udah ke dokter Feni?" Tanya Katerina yang merupakan teman dokter Feni juga. Im

"Udah kemarin..."

"Terus?"

"Ya.. pelan-pelan aja mulihin Jay nya."

"Jay kenapa?"

"Itu Dim, karena pernah liat Mas Ken dipotong jarinya dia suka kaget aja kalo liat pisau."

"Itu asli jari lu dipotong?"

"Asli Na, nih.." Kenan mengangkat tangannya membuat para ibu-ibu bergidik ngeri.

"Gila ya bener deh si Andra." Lala mengomel kepada orang yang dibencinya itu.

"Kita lagi cari rumah baru karena Jay pingin pindah. Dia susah tidur. Kali aja kalian punya rekomendasi."

"Ada tuh deket komplek gw tapi ga segede ini."

"Pinginnya yang bisa semua mobil kita masuk La.." Jesica mengingatkan Lala dengan mobil yang dimiliki Kenan belum lagi dulu ketika pindah Kenan sengaja membuat basement kecil di bawah rumahnya untuk menampung mobil-mobilnya. Mereka pun mengobrol khas ibu-ibu dan bapak-bapak sementara di kamar lain Jay merasa senang kedatangan Tiara dan Muel. Mereka kini duduk di teras balkon kamar Jay.

"Kenapa ga kuliah lagi?" Tanya Jay pada Muel.

"Engga ah, aku lulus kemarin aja ampun-ampunan apalagi kuliah lagi."

"Terus sekarang ngapain?"

"Main terus lagi ngumpul sama temen-temen buat buka usaha sendiri. Bokap udah ngomel-ngomel soalnya." Keluh Muel membuat Jay dan Tiara senyum-senyum.

"Masih mending, kalo aku kuliahnya masih panjang....banget." Tiara juga sepertinya sudah merasa jenuh dengan kuliahnya.

"Aku juga jadi kepending gara-gara kejadian ini. Pokoknya aku harus lulus tahun ini." Jay bertekad. Muel dan Tiara saling melirik. Mereka tak mau membahas kejadian yang membuat temannya itu ketakutan.

"Kamu pasti bisa Jay."

"Orang itu jahat. Dia tinggal disamping rumah aku. Aku ga mau liat rumah dia." Jay tiba-tiba bercerita membuat Muel dan Tiara bingung.

"Hm...aku ambil minum dulu ya, haus.." Muel segera keluar dari kamarnya meninggalkan Tiara dan Jay.

"Mungkin...lebih baik kamu ga tinggal disini dulu Jay."

"Iya Ra, aku udah bilang ke Daddy tapi Daddy lama banget cari rumahnya. Aku sebel padahal orang itu udah motong jari Daddy." Jay lagi-lagi mengingat moment itu dengan jelas. Matanya kalut, dia gelisah sekarang. Tiara mulai menggapai tangannya.

"Jay it's ok, kamu udah dirumah, ditempat yang aman. Daddy kamu juga aman bahkan udah bisa ngobrol sama temen-temennya."

"Daddy banyak ngebohong aku ga suka. Daddy bilang ga sakit tapi aku tahu itu pasti sakit. Daddy bilang kita bakalan ngadepin ini sama-sama tapi engga. Daddy sendirian sama orang jahat itu." Jay dengan mata berkaca-kaca. Tiara kini menggeser kursinya untuk melihat sahabatnya itu. Dia memandang kesedihan disana, memandang ketakutan juga disana.

"Jay...apa yang bikin kamu ga bisa lupa?"

"Suara itu terus ada dikepala aku, suara panggilan itu kadang ganggu aku tidur."

"Oke, ada lagi?"

"Aku selalu inget saat orang itu motong jari Daddy diatas meja kayu yang bikin darah Daddy keluar-keluar dan aku ga suka liat mommy selalu main pisau didapurnya, jarinya bisa kepotong."

"Oke. Ada lagi?"

"Aku pingin pergi darisini aja."

"Jay...aku denger orang yang jahat sama keluarga kamu itu mati. Jadi menurut kamu apa bisa orang mati manggil-manggil kamu?"

"Arwah mereka ganggu aku." Jay dengan lugu.

"Jay di agama aku yang namanya orang mati, ya mati aja. Mereka bakalan diminta pertanggungjawabannya dimata Allah ketimbang ngehantuin orang lain. Apa ajaran kita beda?"

"Sama." Jawab Jay singkat.

"Kalo ajaran kita sama, kira-kira orang jahat bakalan ngehantuin kamu?yang ada mereka disiksa masuk neraka."

"Apa iya?"

"Aku ga tahu, aku belum pernah mati."

"Jangan, jangan mati." Jay refleks memegang tangan Tiara yang masih menangkup ditangan kanannya.

"Percaya deh suara itu ga ada, mereka tuh ilang gitu aja. Mereka ga mungkin ganggu kita manusia yang masih hidup. Itu cuman bayang-bayang kamu, suara kamu sendiri yang takut. Kamu harus kalahin itu. Kalo ada suara dikepala kamu, kalahin juga sama suara kamu. Jangan biarin suara itu nguasain kamu. Kamu ga nyamankan?kamu terganggukan?makannya kamu harus kalahin itu Jay. Kamu bisa." Tiara memberi semangat namun Jay masih terdiam.

"Iya..aku bakal lawan suara itu." Jay sedikit tenang sekarang.

"Kedua, tadi kamu bilang kamu selalu inget moment jari ayah kamu keputus. Kalo boleh tahu apa yang bikin jari ayah kamu putus?"

"Penjahat itu pake pisau."

"Pisau. Pisau itu kegunaannya kan banyak. Kalo kamu searching salah satunya buat potong makanan. Apa pernah kamu searching dan ketemu kalo kegunaan pisau buat motong jari orang?buat ngebunuh orang?" Perkataan Tiara disambut gelengan oleh Jay.

"Kalo soal itu mindset kamu harus dirubah. Kamu Jangan mikir kalo kegunaan pisau itu untuk hal yang ga baik. Orang pinter itu pasti tahu kegunaan pisau sekarang kalo ada orang yang pake pisau tapi ga digunain sebagaimana mestinya berarti dia ga tahukan gunanya apa?apa mungkin ibu kamu ga tahu gunanya pisau apa?dia itu hobinya masak loh. Ibu kamu pasti lebih tahu dan hati-hati."

"Tapi jari Daddy kepotong." Jay tertunduk sekarang. Pikirannya benar-benar tak bisa lupa tentang kejadian itu.

"Jay...aku tahu kamu sekarang ga bisa lupain hal itu. Itu wajar. Ketika seseorang mengalami sesuatu hal yang menyedihkan, menakutkan mereka akan dihadapkan pada beberapa tahapan dan aku yakin kamu bisa lewatin tahapan itu sampe kamu bisa nerima kejadian ini tapi aku ga mau kalo hal itu sampe ngerubah kamu terlalu jauh. Kehidupan kamu masih berjalan. Masa depan kamu nunggu kamu, hal-hal yang kamu rencanain pasti minta diwujudin. Mungkin..ada baiknya kamu fokus ke semua itu dibanding mikirin hal yang udah terjadi." Tiara seolah memberi wejangan kepada Jay. Sejenak suasananya hening sejenak karena Jay masih mencerna kata-kata itu.

"Tiara, sama kamu aku selalu ngerasa tenang. Bisa ga kamu jangan pergi?"

****To Be Continue

Next chapter