webnovel

Sahabat Yang Baik

"Mereka tidak akan mengingatku lagi. Semua ingatan tentang diriku akan terhapuskan, layaknya mereka selama ini hidup tanpa ada diriku di dalamnya." Jawab Hadyan enteng.

Namun entah mengapa, jawaban itu membuat hati Tasia tidak nyaman. Namun ia tentu ditutupinya dengan baik.

"Itu.. aneh dan hebat. Aku tidak tau makhluk gaib bisa melakukan hal semacam itu," Gumam Tasia tidak percaya.

"Hey, hey! Jangan melamun. Kau bisa kerasukan," Hadyan menjentikkan jarinya di depan wajah Tasia.

Gadis itu tersadar dan tertawa malu. Ekspresi Tasia itu membuat Hadyan sangat gemas, meski ia hanya bercanda soal kerasukan, karena tidak mungkin ada makhluk gaib lain yang berani mendekati mereka selama ada Hadyan.

"Em.. Apa aku pernah berkata bahwa aku tidak tau kau ternyata bisa semenyenangkan ini?" Tanya Tasia di sela-sela tawanya.

Hadyan menggeleng. "Belum. Dan aku juga tidak mengetahui diriku bisa seperti ini."

"Benarkah?" Mata Tasia membulat, membuat Hadyan gemas sekaligus kagum atas keindahan yang mengalahkan mutiara lautan itu.

Hadyan mengangguk. "Dulu, aku adalah sosok yang kaku. Mungkin karena sudah terpisah dengan keluargaku sejak remaja karena Dewi Lanjar, anak angkat Nyi Roro Kidul, mengangkatku sebagai anak asuhnya,"

"Tunggu! Apa?! Nyi Roro Kidul?! Kau mengenalnya?! Sungguh?!" Tasia memotong kalimat Hadyan dengan jejeran pertanyaan seperti kereta api jarak jauh.

Hadyan sampai terkekeh dibuatnya. "Kenapa kau kaget sekali? Aku tau bahwa Nyi memang hebat, tapi ekspresi wajahmu itu membuatku gemas." jujurnya dengan tangan gatal ingin mencubit pipi gadis itu.

"Begitukah?" Tasia memembekap pipinya sendiri dengan kedua tangannya.

"Jangan lakukan itu. Sifat asliku masih tertinggal banyak. Jangan sampai aku menyerangmu, Anastasia." Hadyan tersenyum menakuti.

Tasia langsung menurunkan tangannya dan membetulkan posisi duduknya. "Aku tidak takut lagi padamu. Jadi, usahamu sia-sia, angeran ular," katanya sambil menelan liur.

Pria itu mengangkat kedua alisnya, berpura-pura kaget. "Wah! Aku kagum pada keberanianmu sekarang. Haruskah aku kembali menjadi diriku yang dulu?" Tawanya.

Tasia menggeleng cepat. "Tidak, tidak. Begini saja sudah terlihat keren."

Hadyan tersenyum lebar, hingga Tasia menyadari dan terkejut atas apa yang ia katakan barusan. Lalu ia berusaha meluruskan. "Maksudku, sikapmu yang sekarang lebih baik. Bukannya mendikte, maksudnya kau lebih terlihat manusiawi.. Maksudnya, em.. lebih tidak menyeramkan. Ya.. seperti itu kira-kira.." Ia tergagap.

Hadyan terbahak melihat Tasia yang salah tingkah, dan ia merasa sangat senang karena penyebab pipi yang memerah itu adalah dirinya sendiri.

Ia tidak tahan dan akhirnya mencubit pipi kanan gadis manis di hadapannyanya itu. "Sudahlah, tidak perlu malu begitu. Aku menghargai kejujuranmu,"

"Enak saja! Kau salah paham!" Tasia meronta hingga kedua pipinya semakin memerah dan memanas. Hadyan terus tertawa sementara gadis itu berusaha melepaskan cubitannya.

"Hadyan! Tasia!"

Mereka terhenti saat mendengar seseorang meneriaki mereka dari kejauhan.

"Loh? Marya?" Tasia melepas tangan Hadyan dan mengusap pipinya yang terlalu lama dicubit itu.

"Kalian sedang apa di sini?" Tanya Marya dengan melangkah mendekat.

"Tadi kami membeli makanan di mini market, lalu duduk-duduk sebentar di sini." Jawab Tasia.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Gantian Hadyan yang berbalik bertanya bingung.

"Aku ingin belanja. Rumahku juga berada di sekitar sini. Aku pernah bercerita kepadamu, 'kan?" Jawab Marya.

Hadyan mengingat-ingat sebentar. "Oh, ya. Maaf karena aku lupa,"

Marya tertawa. "Tidak apa-apa, Hadyan."

"Eh! mumpung kita bertemu, rasanya aku ingin main ke rumahmu, Tasia. Boleh ya?" Mohon Marya.

"Tentu saja boleh. Hadyan, kau juga boleh ikut kalau kau mau." Ajak Tasia. Kalau bermain di rumah bertiga dengan Marya, pasti asisten di rumahnya tidak akan curiga yang tidak-tidak.

"Maaf, Tasia. Tapi aku sudah berjanji pada ibuku untuk tidak pulang terlalu lama." Jawab Hadyan.

Tasia mengangguk dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Hadyan."

"Iya, Hadyan. Tidak apa-apa. Ohya! Karena kau membawa motor, aku dan Tasia akan pulang jalan kaki bersama. Lebih baik, kau pulang duluan saja karena sebentar lagi juga hampir maghrib." Lanjut Marya.

Hadyan melirik jam tangannya sebentar lalu mengangguk. "Kau benar. Kalau begitu, aku pulang duluan."

"Hadyan, kotak bekalmu jangan sampai terbawa olehku." Tasia tersenyum dengan menyerahkan kotak bekal kosong itu pada Hadyan yang baru saja selesai mengenakan helem.

"Oh.. Kau benar." Hadyan tertawa sekilas lalu menaiki motornya setelah memasukkan kotak itu ke dalam bagasi jok.

"Trimakasih untuk hari ini, Anastasia." Ujar Hadyan sambil menyalakan mesin motor.

"Entah apa yang sudah aku lakukan untukmu, tapi, sama-sama." Jawab Tasia sambil tertawa bingung, Hadyan-pun ikut tertawa. Sementara Marya berdiri di sana sambil ikut tersenyum senang di antara mereka.

"Aku duluan, Teman-teman." Ujar Haydan.

"Dah..!" Seru Marya sambil melambai bersama motor Hadyan yang melaju pergi.

Kedua gadis SMA itu berjalan santai menuju rumah Tasia. Langit senja berwarna jingga membuat bayangan mereka terpantul memanjang di jalan perumahan yang sudah sepi.

"Tumben kau bermain besama Hadyan. Keliatannya kalian jadi semakin dekat, ya?" Ujar Marya dengan tawa kecil.

Tasia mengangguk-angguk. "Yah.. ternyata Hadyan tidak seburuk yang kubayangkan sebelumnya. Ia benar-benar berbeda dari yang aku pikirkan."

"Benar, 'kan! Aku sudah tau bahwa ia adalah laki-laki yang keren sejak awal!" Marya tertawa bersemangat "Lalu, kalian juga tidak sengaja bertemu di mini market sepertiku tadi, 'kan?"

Tasia menggeleng. "Ia datang ke rumahku. Namun aku tidak berani membiarkannya masuk karena takut mbok Iyem mengadu pada nenek. Jadi kami memutuskan untuk pergi ke mini market."

Marya mengangkat kedua alisnya. "O-oh.. begitu.. Benar juga ya, Hadyan mengetahui rumahmu setelah ia mengantarmu waktu kau sakit." gumamnya.

Lalu Marya tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah.. akan membosankan jika baru pindah rumah ke daerah baru. Untung saja ia mengetahui rumahmu, sehingga ia bisa mengajakmu main."

Tasia mengangguk-angguk setuju. 'Kau tidak tau saja, ia mengetahui rumahku karena selalu menguntitku.' Pikirnya dalam hati.

"Hadyan itu sangat baik dan keren, yah. Kau sudah tau, kan, bahwa aku itu memiliki perasaan padanya.." Tutur Marya.

"Apa?! Sungguh?!" potong Tasia kaget.

Marya mengangguk polos. "Saat itu aku sudah menceritakannya padamu, 'kan? Saat kita pulang sekolah bersama. Aku sudah menceritakannya panjang lebar." Jelasnya, dan berhenti melangkah sebentar lalu melanjutkan, "Dan saat itu, bahkan aku bertanya padamu apakah kau menyukai Hadyan, dan kau menjawab tidak."

Tasia tercekat mendengarnya, ia mengingat kejadian itu "Se..sepertinya aku mengingatnya,"

Marya tersenyum senang lalu merangkul lengan Tasia dengan manja. "Kau itu yah! Belum tua tapi sudah pelupa!" Tawanya mengejek.

"Nah.. karena keliatannya kau sudah semakin dekat dengan Hadyan, sebagai sahabat yang baik, tolonglah bantu agar diriku ini bisa lebih dekat dengannya juga. Bisa, 'kan?" Lanjut Marya.

Next chapter