Eros mengurut pangkal hidungnya beberapa kali. Dia masih memikirkan ucapan ayahnya. Pria tua itu bersikeras menunjuknya mengambil alih wilayah barat klan Matahari. Dia sudah mencoba menolak, tetapi Midas tidak menerima penolakannya.
"Jika Tuan Leor tahu pasti dia akan semakin membenci Tuan," komentar Lyco.
"Itu sudah pasti," balas Eros. "Namun, ini adalah yang terakhir, Lyco. Jika dia masih mencoba mengusikku maka aku akan balas mengusiknya." Sorot matanya menjadi tajam dan dingin.
Selama ini Eros menjadi pihak yang sangat pasif. Dia membiarkan Leor mengambil posisi kepala klan berikutnya. Namun, jika Leor tetap mencoba mengganggunya, dia justru akan benar-benar mengambil alih jabatan itu.
Bukankah Leor sangat takut jabatannya akan direbut? Kalau begitu dia akan membiarkan ketakutan itu berubah menjadi kenyataan. Seringai dingin pun muncul di bibir Eros.
"Kapan Tuan akan berangkat?" tanya Lyco.
"Hmm." Eros berpikir selama beberapa saat. Tiba-tiba dia teringat pada rune kuno yang sangat misterius. Dia ingin segera mencari tahu apa makna rune yang ada di bahu Namara.
"Setelah menemui Atne," ucap Eros perlahan.
Lyco terkejut mendengar nama itu. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi kemudian urung. Mungkin dia akan tahu nanti.
***
Namara merasa seseorang menepuk pundaknya beberapa kali. Samar-samar terdengar suara seseorang memanggil, "Nona, bangun …."
Dia langsung mengerjapkan mata yang masih terasa cukup berat. Ketika matanya terbuka, dia langsung melihat Elise yang berdiri di sisi ranjang.
"Elise?"
Namara segera bangun. "Kau baik-baik saja? Apa dia menghukummu dengan keras?"
Elise menggeleng sembari tersenyum tipis. "Tidak. Jangan cemaskan aku. Ada hal yang lebih penting sekarang," katanya.
"Hal penting?"
"Ya." Elise mengangguk. Dia mengambil air putih lalu menyodorkannya pada Namara. "Nona harus bersiap-siap. Malam ini Tuan Eros ingin Nona ikut pergi ke suatu tempat."
Namara menatap Elise dengan bingung. Apa lagi yang akan Eros lakukan? Dia baru bangun tidur dan otaknya tidak bisa berpikir dengan cepat.
Sebelum ini, Eros benar-benar diselimuti emosi. Bahkan pria itu menghukumnya tanpa merasa belas kasihan. Namun, tiba-tiba dia ingin mengajaknya pergi?
Jangan bilang kalau Eros ingin mengantarnya ke gerbang kematian? Tidak, atau mungkin akan mengembalikannya ke rumah bordil? Barangkali pria itu tidak menyukainya.
"Nona, jangan berpikir berlebihan. Sepertinya tuan sudah tidak marah lagi," kata Elise setelah melihat kegelisahan di wajah Namara.
"Emm. Baiklah." Namara meminum air pemberian Elise. Kemudian dia melirik ke luar jendela. Langit sudah mulai berwarna jingga. Rupanya malam akan segera turun.
Dia melihat makanan di atas meja dan perutnya langsung menjerit minta diisi. Dia belum makan apa-apa siang ini. Semua gara-gara Eros. Bebek panggangnya entah dimakan siapa.
"Aku perlu makan," ucap Namara yang langsung mencomot makanan.
"Biar aku siapkan minuman herbal lagi. Nona masih terdengar sengau," ujar Elise sambil melangkah pergi.
Namara hanya mengangguk tanpa membalas. Dia fokus ke makanannya sampai sosok Elise benar-benar menghilang di balik pintu. Setelah itu barulah dia bergegas memeriksa tasnya.
"Aman," gumam Namara setelah memastikan barang-barangnya utuh.
Sejujurnya dia masih merasa ragu dan tidak percaya mendengar Eros akan mengajaknya keluar. Yang dia tahu budak seks Eros selalu dikurung di kamar atau di istana ini. Kebebasannya akan dirampas.
"Mari kita lihat apa yang akan pria kejam itu lakukan," gumam Namara sambil berjalan kembali untuk meneruskan kegiatan makannya.
Beberapa saat kemudian Elise datang membawa ramuan herbal yang sama seperti pagi ini. Meskipun tidak suka Namara tetap meminumnya dengan berat hati.
"Nona, aku sudah menyiapkan pakaian ganti," kata Elise sambil menunjuk pada pakaian yang terlipat di pinggir tempat tidur. "Mungkin perjalanan akan panjang jadi bawalah sesuatu yang Nona butuhkan."
Mendengar ucapan Elise membuat Namara semakin penasaran. Dia tidak tahan untuk bertanya, "Memangnya tuan akan pergi ke mana?"
"Itu … aku juga tidak tahu persisnya. Lyco hanya memberi tahuku itu."
Namara mendesah kecewa. Dia tidak bertanya lagi, sebaliknya segera mengganti pakaian. Ketika pakaiannya terbuka, Elise pun melihat bekas luka cambukan yang masih baru.
"Nona, sepertinya aku harus mengoleskan salep. Luka itu—"
"Tidak perlu, Elise. Aku baik-baik saja." Namara menolak. Sejujurnya dia sudah merasa lebih baik.
Elise baru akan berbicara lagi ketika tiba-tiba pintu diketuk dari Luar. Dia pun mengurungkan kalimatnya. "Mungkin Tuan akan segera berangkat. Aku tidak akan mengganggu lagi," ucapnya.
Namara mengenakan pakaian yang sudah disiapkan. Kali ini pakaian yang dipakai sedikit berbeda. Tidak terlalu menunjukkan sisi kelembutannya.
Setelah itu dia bergerak mengambil tas kecilnya. Ada beberapa barang berharga di sana yang harus dibawa. Setelah dirasa siap dia pun melangkah keluar kamar.
Di luar, Lyco sudah menunggu. Pria itu mengisyaratkan agar Namara mengikutinya. Tanpa banyak bertanya dia pun berjalan mengikuti Lyco.
***
Eros berdiri di depan istana Bulan. Lagi-lagi Namara membuatnya menunggu. Dia merasa sedikit kesal. Untung itu tidak berlangsung lama sampai sosok yang dinanti datang.
"Kau benar-benar membuatku menunggu lagi," desisnya murung.
"Maaf, Tuan." Namara hanya berbicara dengan singkat. Rasanya sulit jika harus menganggap semuanya baik-baik saja setelah pria itu memberikan cambukan menyakitkan.
Eros mendengkus. Dia menatap Namara dengan serius. "Kau tahu ke mana aku akan membawamu?"
'Tentu saja tidak.'
"Tidak. Bisakah Tuan menjelaskan?" tanya Namara.
"Ini terkait dengan rune misterius. Kurasa kau harus ikut."
Kedua mata Namara langsung berkilat dengan cahaya tertentu. Dia mengangguk beberapa kali. Akhirnya Eros benar-benar mengambil langkah untuk mencari tahu. Dia pikir pria itu akan melupakan begitu saja.
Tiba-tiba Eros menarik pinggang Namara mendekat. Sepasang sayap hitam langsung muncul di punggungnya. Sayap itu mengepak dan sosok mereka melesat seketika membelah langit malam.
Namara kembali merasakan sensasi ini. Antara antusias dan juga takut. Tanpa sadar tangannya mencengkeram baju hitam Eros. Dia berpegangan dengan erat.
"Kau tahu mengenai kematian kepala klan Matahari?" Suara Eros terdengar memecah kesunyian dan angin malam. Jantung Namara langsung berdebar-debar.
Kenapa Eros harus menanyakan itu? Orang-orang istana klan Matahari pasti tahu pelaku pembunuhan itu adalah klan Sayap Hitam. Namun, Namara tidak mungkin menjawab jujur seperti itu.
"Emm …. Sebenarnya aku sudah lama meninggalkan klan Matahari," kilah Namara.
"Payah," cibir Eros. Namara hanya mengatupkan mulut. Jangan sampai dia kelepasan memaki pria itu.
Perjalanan di udara ternyata memakan waktu yang lama. Namara tidak menduga hal ini terjadi. Mungkin sekarang sudah hampir tengah malam, tetapi Eros belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
"Apa itu masih lama?" tanya Namara. Dia merasa sedikit tidak sabar.
"Ya. Aku akan mencari tempat untuk berhenti," balas Eros. Tiba-tiba saja arah terbangnya menukik tajam ke bawah. Kecepatannya pun meningkat drastis.
Namara hampir menjerit kaget, tetapi untungnya dia bisa mengendalikan diri. Pegangannya menjadi semakin kuat di baju Eros. Beberapa saat kemudian dia merasakan pijakan di kakinya.
Akhirnya mereka mendarat.
"Kau … harus mempertimbangkan keselamatan orang lain," kata Namara sambil melepaskan diri dari Eros. Sesaat pijakannya sedikit goyah.
Dia menunduk untuk melihat di mana dia mendarat. Itu tanah berlumpur. Kemudian dia kembali mendongak untuk menatap Eros. Hatinya dibuat terkejut setelah melihat perubahan itu.
"Kau ...." Namara tidak tahu harus mengatakan apa. Saat ini penampilan Eros sudah berubah menjadi pria yang sama sekali berbeda.
Jika sebelumnya Eros adalah pria tampan yang diselimuti dengan kedinginan dan kekejaman, maka sekarang auranya terasa lain. Pria itu terlihat tenang dan penyendiri. Tidak ada jejak kekejaman dalam dirinya.
"Ikut aku sekarang," kata Eros sambil melangkah pergi.
Namara mengangguk pelan. Tanpa berkata apa-apa dia langsung mengikuti Eros.