"Apa yang sedang terjadi?" Tiba-tiba seseorang bertanya. Namara langsung menoleh ke arah asal suara dan melihat Xanda yang berjalan mendekati mereka.
"Namara, kenapa kau ada di sini?" Xanda bertanya heran, dia beralih menatap Nera yang kini sedang menyeka darah di ujung bibirnya.
"Nera, apa kau baik-baik saja?"
Nera langsung berdecih. Dia berdiri dengan dibantu oleh teman dalam kelompoknya. "Apa matamu buta? Aku terluka seperti ini dan kau masih bertanya apa aku baik-baik saja?"
"Maaf. Namara, pasti tidak sengaja melakukannya," ucap Xanda yang meminta maaf.
Tentu saja Namara merasa tidak senang dan tidak habis pikir. Bagaimana Xanda bisa meminta maaf atas namanya? Untuk apa?
Jelas-jelas orang yang menyerang terlebih dahulu adalah Nera. Bahkan dia sendiri tidak tahu kenapa Nera bisa terluka. Apa mungkin Xanda diam-diam sudah membantunya?
"Jangankan kau yang meminta maaf, bahkan jika dia yang meminta maaf aku masih tidak akan memaafkannya!" geram Nera. Kebenciannya terhadap Namara menjadi semakin besar.
"Aku tidak peduli. Lagi pula aku tidak membutuhkan permaafanmu," ucap Namara dengan acuh tak acuh.
"Xanda, jangan turunkan harga dirimu untuk meminta maaf padanya. Dia tidak pantas," sindir Namara yang kemudian menarik Xanda pergi dari sana.
"Tunggu saja kau, Namara! Kau akan tahu apa akibatnya membuat permusuhan denganku!" teriak Nera yang diikuti dengan ancamannya. Kedua tangannya terkepal erat dan matanya berkilat dengan kebencian.
"Hah! Jalang sialan!" Jika bukan karena kekuatan aneh Namara pasti dia sudah mencekiknya sampai mati.
***
Xanda menarik Namara masuk ke kamar kemudian menutup pintu rapat-rapat. Dia memegang kedua pundak Namara dan mendudukkan wanita itu ke kursi.
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi?" tanya Xanda dengan serius.
Namara menatap Xanda dengan heran. "Bukankah kau yang sudah melindungiku dari serangan Nera?" Dia pikir alasan Xanda meminta maaf pada Nera adalah karena wanita itu sudah melukai Nera demi membantunya.
Namun, Xanda menggeleng. "Jangan bercanda. Bahkan jika aku membantumu aku tidak akan berani melukai Nera," bantah Xanda secara terang-terangan.
"Kalau begitu ...." Namara menjadi semakin bingung. "Kenapa Nera bisa terluka?"
Mereka berdua saling menatap dengan tanda tanya di benak masing-masing. Setelah beberapa saat Xanda pun bertanya, "Apa kau benar-benar tidak bisa mempelajari kekuatan apa pun?"
"Tidak."
"Bahkan sihir kelar rendah pun kau tidak bisa?" Xanda masih sedikit ragu.
Namara menggeleng dan mulai menegaskan. "Aku benar-benar cacat, Xanda. Sebut saja seperti itu."
Kali ini giliran Xanda yang menggeleng. "Pasti ada sesuatu yang tidak kau ketahui tentang tubuhmu," ucapnya dengan yakin. Dia mulai mengamati Namara dengan teliti sebelum akhirnya mengingat satu hal.
Tatto itu!
Xanda tiba-tiba merobek pakaian Namara tepat di bagian bahu kirinya. Tindakannya yang terlalu mendadak itu membuat Namara terkejut. Dia menepis tangan Xanda agar menjauh.
"Xanda, apa yang kau lakukan?!" Namara memprotes.
Xanda menatap tatto hitam Namara yang masih utuh dan terlihat sama seperti terakhir kali dia melihatnya. Keningnya berkerut dalam ketika memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
"Pasti karena tatto itu," tebak Xanda.
"Tatto apa? Ini hanya tanda lahir biasa," bantah Namara. Dia tidak percaya dengan tebakan itu. Selama ini dia yakin tidak ada hal janggal yang diakibatkan oleh tanda lahirnya.
"Lalu kau pikir siapa yang akan melindungimu? Sudah kukatakan tidak ada orang baik di sini," sarkas Xanda. Dia sangat yakin dengan tebakannya. Pasti tanda lahir itu yang sudah melindungi Namara.
Namun, Namara tetap tidak percaya. Dia mencoba menyentuh bahu kirinya dan tidak merasakan ada sesuatu yang mencurigakan. "Tidak ada apa-apa, Xanda. Itu hanya pikiran liarmu yang berharap pada keajaiban."
Xanda duduk di kursi dengan sedikit frustrasi. Beberapa saat kemudian dia menghela napas panjang. "Baiklah. Anggap saja itu hanya tebakan konyolku."
Namara mengangguk. Hampir saja dia melupakan tujuan awalnya. "Sebenarnya aku sedang mencarimu."
"Kenapa?" Xanda bertanya.
"Bisakah kau menghilangkan bekas luka di punggungku? Eros tidak menyukainya."
Xanda terkejut mendengar penuturan itu. "Apa kau baru bertemu dengannya?" Hari ini dia sibuk dengan urusannya sendiri jadi sama sekali tidak tahu bahwa Eros datang ke sini dan menarik Namara ke kamar.
"Ya. Dia datang ke sini dan memintaku menemuinya di kamar itu."
"Apa yang terjadi? Apa dia masih menyimpan amarah padamu?" tanya Xanda.
"Aku tidak tahu. Aku pikir sebelumnya aku akan berhasil. Namun, setelah melihat bekas luka cambukan di punggungku, dia menolakku begitu saja." Namara terkekeh kecil.
"Jadi bagaimana? Kau bisa membantuku?" tanya Namara dengan penuh harap.
Xanda menggeleng. "Sulit mengatakannya. Namun, aku akan mencoba," ucap Xanda yang kemudian memutar tubuh Namara hingga membelakanginya. Dia kembali merobek pakaian Namara hingga memperlihatkan punggungnya dengan lebih leluasa.
"Xanda, Ilene akan marah jika tahu kau merusak pakaianku," ucap Namara yang disertai dengan sedikit gurauan.
"Biarkan saja dia. Lagi pula pakaian tipis seperti ini sangat mudah robek. Katakan saja kau baru saja tersangkut pintu," balas Xanda. Tangannya kini mengeluarkan taburan bintang-bintang kecil yang bergerak perlahan di permukaan kulit Namara.
"Xanda," panggil Namara.
"Ya?"
Hening.
Setelah beberapa saat barulah Namara bertanya, "Kau berasal dari klan Seribu Bintang?"
Kegiatan Xanda langsung terhenti. Dia menatap Namara dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Setelah beberapa saat dia menggeleng. "Bukan."
"Kau tidak bisa membohongiku, Xanda." Namara segera memutar tubuhnya dan melihat telapak tangan Xanda yang diselimuti oleh taburan bintang. Itu terlihat seperti galaksi kecil yang sangat indah.
Xanda segera menyembunyikan kedua tangannya ke belakang tubuhnya. Dia memprotes tindakan Namara. "Bukankah aku pernah mengatakan jangan berbalik jika aku sedang menyembuhkanmu?!"
Namara terkekeh. "Ayolah, Xanda. Kita sama-sama berasal dari klan asing. Apa itu yang menjadi alasanmu memperlakukanku dengan baik?"
Sejak Xanda menyembuhkan rasa sakit akibat cambukan itu, Namara memang sudah memiliki sebuah dugaan.
Di benua Saint Kingglen orang-orang yang pandai menyembuhkan atau mengobati kebanyakan berasal dari klan Seribu Bintang. Mereka terkenal memiliki sebuah kemampuan bawaan, yaitu memanfaatkan energi bintang untuk menyembuhkan.
Jadi Namara curiga Xanda adalah salah satu bagian dari mereka. Dan setelah melihat telapak tangan Xanda yang diselimuti oleh taburan bintang, dia menjadi semakin yakin, dugaannya memang benar.
Xanda menghela napas panjang. Sekarang seseorang sudah mengetahui identitasnya yang telah disembunyikan selama hampir dua tahun. Ternyata Namara adalah wanita yang peka meskipun tidak memiliki kekuatan yang baik.
"Tolong jangan katakan ini pada siapa pun," lirih Xanda.
"Jangan khawatir. Aku bukan orang yang bermulut ceroboh," ucap Namara. Dia tentu tahu betapa sulitnya seseorang dari klan lain untuk bisa hidup di tengah kekejaman klan Sayap Hitam.
Namun, Namara masih belum mengerti kenapa Xanda mempertaruhkan diri tinggal di tempat ini. Termasuk juga dengan Ananme. Kenapa mereka berdua harus melakukan penyamaran?
Seseorang tidak akan mungkin menyembunyikan identitasnya tanpa alasan. Pasti mereka memiliki tujuan tertentu.