Status kepastian 2
Memasuki sebuah kafe, Arumi memarkir motor butut milik ayahnya dahulu. Khanza yang baru kali ini hadir di kafe tersebut, tampak kebingungan melihat sekeliling halaman yang begitu ramai oleh pengunjung bermobil yang berderet di halaman parkir.
"Ayo, masuk!" ajak Arumi merangkul tangan Khanza.
"Kak, apakah ada acra pesta di kafe ini? Kenapa begitu ramai pengunjungnya?" tanya Khanza sembari melangkah masuk ke dalam beriringan dengan sang kakak.
Tiba di dalam ruangan memang sudah lah sangat ramai, yang terlihat tampak beberapa pengunjung yang rata-rata para remaja seusia Khanza dan anak kecil, beberapa lagi di kalangan orang tua. Khanza mencoba memperhatikan gaya mereka, semua membawa sebuah kado dan ada juga bucket bunga.
"Arumi!!!"
Khanza terkejut saat mendengar suara seseorang dengan lantang memanggil nama kakaknya tiba-tiba. Dengan sambutan manis sang kakak tersenyum menoleh kearah terdengar suara tersebut. Begitupun Khanza yang menoleh ke arah yang sama.
"Disitu." Ujar kakak Khanza smebari menyenggol lengan Khanza. Lalu kembali melangkah maju menuju tempat yang sudah di sediakan, Khanza menurut dengan ekspresi datar. Dilihatnya ada dua seorang laki-laki di depannya saat ini.
"Sayang, aku terlambat ya? Maaf ya, tadi kelamaan nungguin Khanza nih pakai dandan segala."
"Eh, apaan sih kak? Kenapa aku yang jadi kambing hitam?" balas Khanza dengan kedua matanya yang melotot. Dan si kakak mencuitnya diam-diam untuk menanggapinya.
"Hai, Khanza. Kakak mu sudah banyak bercerita tentang mu. Ternyata kamu memang lucu dan…. Ehm, cantik. Iya kan, Nis?" sapa pacar sang kakak yang baru di temuinya malam ini, Dirga namanya. Khanza hanya tersenyum kecut menanggapinya sembari duduk kemudian.
"Za, jangan cemberut mulu dong. Gak malu tuh, ada cowok ganteng di depan." Ujar Arumi menggodanya.
"Eh ya, kenalin ini. Adik kakak, namanya Denis. Dan nama kakak sendiri kamu sudah tahu kan?"
Khanza hanya meliriknya sejenak, tanpa mengulurkan tangannya. Lantas laki-laki remaja yang di hadapannya, yang di tunjuknya bernama Denis mengulurkan tangan lebih dulu. Dia tersenyum ramah pada Khanza. Dia yang berkulit sedikit kecokelatan, rambutnya ikal yang hanya erukuran satu cm di atas kepalanya, mata sipit, dan memiliki hidung yang sangat mancung.
"Hai, Denis." Sapanya.
"Khanza." Jawabnya dingin tanpa senyuman. Pandangannya terhipnotis oleh para pengunjung yang berlalu lalang dengan membawa kado. Lagi-lagi sang kakak mencubitnya, kali ini di bagian pahanya. Khanza memekik pelan dan menoleh pada sang kakak yang sudah menatapnya dnegan mata melotot.
"Hem, senang bertemu dengan kalian." Ujar Khanza kemudian. Lalu kedua laki-laki itu, Dirga dan Denis tersenyum hangat.
Tak berapa lama kemudian, Denis memanggil salah satu pelayan kafe ini untuk memesan makanan dan minuman.
"Malam ini, gue yang traktir kak." Ujar Denis sembari melirik ke arah Khanza, suah terlihat jelas jika dia ingin menarik perhatian Khanza.
Lalu pelayan tersebut datang menghampiri dengan senyuman ramah serta langsung melayani mereka, dan memeritahukan bahwa khusus malam ini akan kafe itu akan memberikan hidangan gratis untuk semua pengunjung sepuasnya sampai batas waktu yang sudah di tentukan.
"Wah, kita gak salah memilih kafe ini." Ujar Arumi dengan wajah riang.
"Eh, kak. Boleh aku bertanya ada perayaan apakah di kafe ini?" tanya Khanza pada si pelayan, kemudian mencoba menjawab rasa ingin tahunya.
"Ada pasangan suami istri yang sedang merayakan ulang tahun puterinya. Permisi, mbak. Saya harus melayani yang lain juga." Jelas pelayan terseut lalu pergi.
Perbincangan yang dibubuhi dengan kata perkenalan antara Khanza dan Denis pun berlangsung meski Khanza selalu terlihat cuek dan dingin. Beberapa saat kemudian Karena Khanza begitu jengah dan menyadari jika sebenarnya dia sedang akan di jodohkan dengan Denis, dalam hati dia merasa kesal. Lalu berniat pergi ke toilet di kafe itu, untuk melepas kejengahannya.
"Kak, aku ke toilet sebentar." Ujar Khanza kemudian lalu pergi.
"Hei, jangan jangan lama-lama ya?" jawa Arumi, namun Khanza mengabaikan tanpa menoleh ke belakang.
Di ruang toilet Khanza hanya mencuci tangan nya saja di wastafel sembari menggerutu kesal terhadap kakaknya. Walau begitu ia tak ingin berlama-lama, dan beranjak pergi. Sesampainya diruangan kafe kembali, Khanza masih ingin memanjakan rasa penasarannya yang ingin menyaksikan langsung pesta ulang tahun yang sejak tadi begitu ramai yang datang.
"Eh, aneh. Bukan kah tidak penting aku mengetahui siapa yang sedang merayakan ulang tahun malam ini? Tapi, haha. Aku hanya ingin tau, sultan siapa yang sampai begitu pamer kekayaan mentraktir setiap pengunjung yang datang malam ini." Ujarnya sembari berjalan dan dengan sedikit mendongakkan kepalanya.
Huru hara nyanyian ucapan selamat ulang tahun sudah terdengar di iringi tepukan tangan sorak ria dari semua tamu undangan. Sepertinya pesta sedang berlangsung, Khanza melangkah lebih dekat hingga tampak sedikit dari kejauhan di tengah keramaian para tamu mengelilingi, wajah pak Gibran tersenyum riang dengan tepukan tangan. Ada seorang wanita dan gadis di sisinya, dengan senyuman hangat pak Gibran saling melempar senyum dengan wanita itu, begitupun gadis kecil di depannya.
"Yeay… ayo, tiup lilinnya sayang!" kata pak Gibran pada gadis remaja itu. Dengan senyuman manis gadis itu mengangguk menuruti ucapan pak Gibran.
"Eh, jangan lupa make a wish dulu sayang." Ucap wanita di sisi pak Gibran merangkul bahunya.
"Baik, ma. Aku hanya ingin keluarga kita bahagia selamanya." Ujarnya menatap polos wajah wanita itu yang tak lain ibunya lalu beralih menatap wajah pak Gibran.
Degh!!!
Jantung Khanza terasa terhenti sejenak. Apa yang dilihatnya saat ini di depan matanya, adalah seorang laki-laki yang hilang tanpa kabar beberapa hari ini, namun kini dia terlihat bahagia merayakan pesta ulang tahun puterinya. Bahkan sangat terlihat bahagia dengan keluarga kecilnya. Tanpa sadar Khanza menitikkan air mata dan menarik nafasnya dalam-dalam lalu dengan cepat menyeka air matanya.
"Kenapa, Dik? Hem, aku pun terharu mendengar ucapan anak itu. Sangat sederhana namun sangat dalam maknanya. Mereka memang terkenal sebagai keluarga kecil yang selalu harmonis dan sederhana meski sebenarnya mereka berada di kalangan orang atas."
Tiba-tiba saja seseorang bericara demikian dan mngejutkan Khanza yang terhanyut dalam kesedihan. Dengan cepat Khanza memalingkan wajahnya dan menghapus air mata yang terus saja mengalir deras. Dia sedikit terisak dan berusaha melempar senyuman ceria.
"Ya, mereka sangat terlihat bahagia. Ehm, maaf saya permisi dulu." Jawab Khanza sembari hendak berlalu pergi.
"Hei, dik. Acara belum selesai, sebentar lagi mereka akan membagikan souvenir yang sangat mahal tentunya." Cegah orang itu.
"Oh, maaf. Aku tidak berminat, aku bukan tau undangan disini. Melainkan sebagai pengunjung, terimakasih." Ujar Khanza lagi lantas berlalu pergi.