Malam berganti pagi terasa begitu cepat berlalu bagi Khanza pagi ini, dia masih ingin bermalas-malasan di atas kasur. Sampai akhirnya dia mendengar beberapa ketukan keras dari luar pintu kamarnya, dengan sigap dia beranjak bangun sebelum mendengar teriakan yang lebih keras nantinya dari luar kamarnya.
"Iya, iya.. aku sudah bangun. Jangan menggedornya lagi!!!' teriak Khanza dari dalam kamarnya sembari melangkah masuk ke kamar mandi.
Setengah jam kemudian, dia sudah keluar dari kamar dengan seragam rapi dan rambut yang di kepang dua. Wangi parfum yang di kenakannya pagi ini sangat semerbak tercium ke seluruh ruangan. IbuKhanza yang mencium wangi tersebut langsung menyeringai menatap Khanza.
"A,aku.. Aku berangkat ke sekolah dulu." Pamit Khnaza pada ibunya dengan gugup.
"Belajar yang rajin di sekolah, jangan sampai ranking mu turun." Balas ibu nya.
"Yaaa, tenang saja, bu. Aku akan tetap mendapatkan nilai terbaikku.' Jawab Khanza dengan nada malas. Lalu beranjak keluar ruangan untuk memasang sepatu nya dahulu di teras rumah.
"Umh… Za, kamu pakai parfum apaan sih ini? Baunya sangat menyengat. Kamu mau sekolah atau ke kondangan?" teriak Arumi saat sedang membersihkan halaman depan rumah, ia langsung menghentikan aktifitasnya saat terciun wangi parfum yang Khanza pakai.
"Iih apaan sih, kak? Ini juga parfum yang biasa ku pakai ih. Kakak saja yang berlebihan." Balas Khanza dengan cetus sembari mengikat tali sepatunya.
Lalu sang kakak berjalan mendekatinya dan langsung saja mengendus-enduskan penciumannya pada tubuh adiknya itu, lantas memelototinya.
"Kau pasti sedang malas mandi, maka itu kau gunakan parfum satu botol untuk di badanmu."
"Kakaaak.. nyebelin, memangnya kakak yang jarang mandi, hah?" balas Khanza meledek sang kakak, lalu dengan cepat-cepat dia menaiki sepedanya untuk menghindari teriakan kakaknya. Hanya dalam hitungan dari angka satu sampai ke tiga, sang kakak sudah meneriakinya. Khanza mengayuh sepedanya dengan cepat dan mengabaikan teriakan Arumi yang memanggil namanya, Khanza tertawa puas setelah berhasil membuat kakak nya demikian.
Tiba di sekolah, dengan ekspresi riang gembira Khanza memarkir sepedanya dai tempat biasa, ia melihat jika sepeda Chika sudah parkir lebih dulu di sisinya.
"Woah, tumben itu anak sudah sampai se pagi ini?" ucapnya dengan tersenyum melihat sepeda milik sahabat itu. Kemudian dia berjalan dengan langkah cepat hingga sampai di kelas, berharap Chika akan langsunh menyambutnya. Namun, justru sepi dalam kelas.
"Eng? Dimana dia? Apakah melakukan semedi khusus dulu?' Khanza tampak kebingungan mencari Chika yang tak nampak. Hingga datang slah seorang siswi yang juga satu kelas dengannya.
"Za, elu di cariin Chika tuh di ruang UKS." Ujar siswi itu pada Khanza.
"Apa? Chika di UKS? Dia kenapa?" Khnza terkejut dan panik bukan main.
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia terjatuh naik sepeda."
Tanpa banyak tanya lagi, Khanza langsung berlari menuju ruang UKS. Sembari menggerutu dan mengomel tidak jelas Khanza mempercepat langkahnya untuk berlari hingga langkahnya sudah tiba diruang UKS. Karena ini masih pagi, ruangan itu masih sangat sepi.
"Chika, kau…" kecemasannya terhenti seketika saat dilihatnya Chika sedang berdiri bersama pak Gibran.
"Pagi, Za. Hehe, maafkan aku sudah mengerjaimu." Ujar Chika dengan tersenyum lebar tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Khanza masih terpaku mematung tanpa kata melihat sahabatnya demikian.
"Hah, baiklah. Tugasku sudah selesai kan pak? Aku keluar dulu."
"Hmm.. baiklah, terimakasih banyak ya." Jawab pak Gibran, lalu kemudian Chika keluar ruangan begitu saja seraya tersenyum meledek Khanza ketika melewatinya.
Lantas Khanza mulai tersadar ketika terdengar suara pintu yang di tutup oleh Chika begitu keras.
"Sejak kapan kalian kompak untuk mengerjaiku?" tanya Khanza dengan cetus.
"Sejak hari ini, Chika akan selalu berpihak pada kita." Jawab pak Gibran dengan senyum hangat.
"Apakah bapak sudah memikirkan resiko apa yang akan di dapatkan setelah ini?"
Pak Gibran masih tersenyum manis kemudian melangkah maju mendekati Khanza lalu memeluknya dengan hangat. Khanza terdiam tak berkutik setelah mendapat perlakuan itu, karena dalam hatinya dia juga merindukan pelukan hangat pak Gibran yang selalu membuatnya tenang.
"Apa kini kau sudah membuang panggilan Mas kesayanganmu itu padaku, Khanza?" tanya pak gibran di dekat telinga Khanza. Sontak itu membuat Khanza menggeliat karena merasa geli, sehingga bulu kuduknya mulai bangun dengan sendirinya. Dengan cepat Khanza mendorong pak Gibran dari pelukannya, dia takut akan ada yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan itu.
"Jangan menggodaku, ini di sekolah. Bagaimana jika nanti ada yang melihatnya? Aku tidak mau jika di keluarkan dari sekolah ini dengan tidak hormat, aku sudah berjanji akan tetap meraih peringkat terbaikku."
"Ssssttt… apa yang kau katakan itu? Tenanglah, tidak akan ada yang bisa mengeluarkanmu dari sekolah ini, karena kau sangat pintar. Ada apa denganmu, Khanza?" kembali pak Gibran memeluk erat tuuh mungil Khanza dalam dekapannya. Namun kembali Khanza terdiam, dalam pelukan pak Gibran.
"Katakan, apakah ibumu marah karena ku kemarin?" tanya pak Gibran lagi.
Khanza hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat, lalu kemudian membalass pelukan pak Gibran dengan erat.
"Katakan ada apa? Apa kau sudah bosan dengan hubungan ini, Khanza?"
Kini wajah mungil Khanza mulai tenggelam dalam dekapan telapak tangan pak Gibran, dia sedikit mendongak menatap wajh kekasih gelapnya itu.
"Aku hanya takut, ibu akan memintaku melepaskan mu dalam hubungan gila ini, mas. Sepertinya dia mulai curiga, dan aku tidak siap akan hal itu, apa yang harus ku jawab padanya nanti?"
Cup!!!
Dengan lembut pak Gibran mengecup kening Khanza, untuk meredakan kekalutannya saat ini. Hingga ia menurunkan perlahan kecupannya sampai mendrat di bibir ranum Khanza. Mereka kini saling melepas ciuman satu sama lain. Kedua tangan Khanza mulai merangkul pada lehr pak Gibran, sedang pak Gibran menarik tubuh Khanza untuk lebih menempel pada tubuhnya yang kekar. Mereka saling melumat bibir hingga keluar suara desahan kecil dari mulut Khanza.
"Umh…"
Perlahan mereka melepaskan ciuman setelah merasa puas dan terlalu lama. Tampak Khanza sedikit terengah-engah mengatur nafasnya, ciuman yang pak gibran berikan pagi ini begitu membutnya melayang tinggi ke awan. Entah ada apa dengan pak Gibran pagi ini, yang membuat Khanza hampir saja kelonjotan.
"Maafkan aku, aku terlalu merindukanmu." Ucap pak Gibran sembari mengusap lembut bibir Khanza.
"Kau semakin nakal, mas." Ucap Khanza dengan mencubit dada pak Gibran.
"Aduduh, sakit. Hemm, apa kau suka?" goda pak Gibran dengan senyuman nakal.
"Ini bukan berarti aku memaafkanmu mas, karena telah membiarkanku menunggu lama meredakan amarahku."
"Aku tahu, maafkan aku. Aku harus mengurus kedatangan Dea. Dia begiu marah padaku karena aku mengakui perasaanku terhadapmu."
"Sungguh? Kau berani berkata demikian pada mak lampir itu, demi aku?"
"Sssttt… pelankan suaramu, sayang." Bisik pak Gibran menyentuh bibir Khanza dengan jari telunjuk.
Khanza mengangguk sembari tertawa geli.
"Percayalah, apapun hubunganku dengan Dea dulu. Itu sudah usai, tidak lagi ada. Saat ini aku hanya memperhatikanmu saja di setiap hari dan pikiranku."
"Hmm… Aku percaya, terimakasih ciuman pagi ini, mas." Ujar Khanza dengan senyuman nakal.
"Jangan dipikirkan, biar itu menjadi urusanku nanti."
"Baiklah, kembalilah ke kelas! Sebelum penjaga UKS tiba nantinya." Titah pak Gibran.
Khanza mengangguk dengan senyuman ceria, dalam sekejab hatinya sudah dibuat luluh dan bebrunga-bunga oleh perlakuan pak Gibran yang dianggapnya begitu romantis.