Lambat laun hubungan Khanza dan pak Gibran mulai dekat dan melewati batas yang seharusnya. Itu mereka lakukan layaknya sepasang kekasih yang saling memadu kasih, panggilan mereka kini berubah dengan ucapan kata sayang. Dan itu di lakukan dengan sembunyi-sembunyi kala mereka hanya berdua.
Namun, ketika di sekolah pak Gibran masih tetap menjaga baik-baik profesinya sebagai guru dan wali kelas di kelas Khanza. Tak peduli meski kadang Khanza sedikit berani menggodanya diam-diam.
"Za.."
Panggil Chika dengan nada serius.
"Ya, kenapa sayang?" Jawab Khanza spontan dan mengalihkan pandangannya dari pak Gibran saat sudah keluar kelas, bel jam istirahat berbunyi kemudian.
Chika diam sejenak menatap sahabatnya itu, ia berusaha menetralisir segala kegelisahannya setelah seminggu terakhir Chika melihat perubahan pada diri Khanza yang tak biasa.
"Ada apa sih?" Tanya Khanza lagi.
"Kau dan pak Gibran..."
Dengan cepat Khanza menutup mulut Chika dan memelototinya. Kemudian Khanza melihat sekeliling kelas, semua siswa siswi sudah sepi karena jam istrahat sedang berlangsung.
"Iih, apaan sih Za. Pengap tahu, kamu pengen aku cepat mati?" Ucap Chika dengan menepis tangan Khanza kemudian yang sejak tadi membungkamnya
"Ssssttt... Bisa gak jangan terlalu keras menyebut nama ku dengan pak Gibran."
Lagi lagi Chika terperangah dan bibirnya terasa kaku tanpa bersuara. Meski telah bergerak dengan sendirinya.
"Ja,jangan bilang jika kau... Kau, memiliki hubungan lebih dengan guru kita ini?"
Khanza menyembikkan bibir bawahnya sembari mengangkat setengah kedua bahunya keatas. Itu membuat Chika semakin di bakar rasa ketakutan dan rasa penasaran yang kian memuncak.
"Khanza, gila lu ya. Pak Gibran itu guru kita Za, apa kau lupa jika dia bukan Single Man. Tapi dia sudah memiliki anak dan istri, astaga. Bagaimana bisa kau demikian, tidak Khanza. Ini gila, itu tidak boleh." Jawab Chika sembari berdiri lalu mondar mandir di hadapan Khanza.
"Heeey, tenanglah sahabatku. Tenaang, duduk dulu. Jangan seperti kereta api begitu, membuatku pusing melihatnya."
"Jangan bercanda lagi Khanza, aku serius. Jika kau dengan nya berpacaran, lalu Jordy? Kau yakin Jordy akan diam saja jika tahu hal ini?"
"Aku dan Jordy putus seminggu yang lalu." Jawab Khanza dengan suara lirih.
"What? Putus? Kenapa? Ada apa? Bagaimana bisa? Bukankah kalian selama ini adalah pasangan yang selalu harmonis dan romantis? Dan kedua orang tua kalian sudah saling merestui kan, lalu kau dan Jordy bahkan sudah..."
"Chika pliss.. Stop. Berhenti terus menghujaniku dengan pertanyaan seperti itu, berikan aku kesempatan untuk menjawabnya juga."
"Eh, ehm.. Maafkan aku Khanza," Jawab Chika kemudian duduk kembali di sisi Khanza. Lalu tanpa berpikir panjang lagi, tanpa ragu sedikitpun Khanza menyampaikan semua yang telah terjadi dan berlalu.
Dengan setia dan dengan tampang serius Chika mendengarkan celotehan setiap celotehan, bahkan Chika tak mampu menuturkan kata-kata lagi sekalipun Khanza menitikkan air mata di hadapannya.
"Khanza, maafkan aku. Maafkan aku, ternyata kau begitu kesulitan dan tersakiti. Aku merasa gagal menjadi sahabat mu."
"Tak apa, aku mengerti. Lagi pula,sejak awal aku tidak ingin kau mengetahuinya. Aku sudah bisa menebaknya, kau pasti akan lebih gila dariku."
"Jordy cowok brengsek. Aku pastikan akan berhenti menjadi penggemar setianya."
Khanza terkejut akan ucapan sahabatnya yang baru saja mengeluarkan kata umpatan untuk yang pertama kalinya hingga mulutnya menganga.
"Apa? Kenapa kau menatapku begitu?"
"Apakah otak religy mu kini sudah pindah ke planet pluto? Baru saja kau mengeluarkan kata umpatan yang belum pernah kau lontarkan selama ini."
"Selama ini aku berusaha menahan segala yang membuatku marah, tapi tidak kali ini. Tapi, bagaimana dengan kau.. Dan pak Gibran."
Khanza tersipu malu, tersenyum dengan wajah merona akan pertanyaan sahabatnya itu. Membuat Chika merasakan bulu kuduknya bergidik.
"Aku dan pak Gibran memutuskan untuk berpacaran. Hihi,"
"Whaat??? Pa,pacaran? Sepasang kekasih seperti kau dan Jordy?" Tanya Chika dengan kedua mata melotot seolah memaksa melompat keluar.
"Heem, kenapa? Kau ikut bahagia bukan? Hihi.. Aku lebih bahagia Chika." Ujar Khanza dengan ceria, sembari menyentil dagu sahabatnya.
"Khanzaa... Kau sungguh gila, apa dengan putus dari Jordy kau jadi hilang akal?"
"Ah, entah lah. Tapi yang pasti, hatiku bahagia. Selama seminggu terakhir hubungan kami berjalan pak Gibran memperlakukan ku dengan sangat baik, manja, dan penuh kasih sayang. Ternyata dia juga sangat perhatian padaku,"
Chika tak lagi dapat berkata-kata mendengar jawaban Khanza yang begitu terlihat berbunga-bunga akan hubungannya dengan pak Gibran saat ini. Meski dia tahu, ini salah dan bukan yang terbaik. Tapi walau begitu dia berusaha menahannya semata demi kebahagiaan sahabatnya.
"Apapun itu, asal kau bahagia. Aku akan bahagia, jangan bersedih lagi. Jangan nangis lagi, itu melukaiku." Ucap Chika sembari memeluk tubuh Khanza.
"Terimakasih sayang ku, kau memang sahabat ku yg paling baik dan mengerti aku." Jawab Khanza membalas pelukan Chika.
*****
Dan malam pun tiba, Khanza bergegas masuk ke kamar setelah makan malam. Membuat kedua orang tua beserta kakak nya menatapnya heran.
"Khanza, temani kakak ke minimarket sebentar." Teriak kakak Khanza di balik pintu kamar Khanza.
"Haduuh, Khanza sibuk nih kak. Sendiri aja deh," Jawab Khanza dari dalam kamar.
Namun kakak Khanza membuka pintu kamar Khanza tanpa izin kemudian. Dilihatnya Khanza sedang asyik berkutat dengan ponsel di tangannya sembari melempar senyuman bahagia.
"Heh, ayo lah. Temani kakak, kakak akan mentraktirmu ice buble."
Khanza menghentikan tarian jari-jemarinya di ponselnya sejak tadi. Lalu beranjak dari posisinya menghadap ke arah kakak nya yang sudah berdiri di samping nya
"Sungguh? Awas kalo bohong." Jawabnya mengancam.
"Ih, kapan kakak pernah bohong. Tapi sepertinya kau sibuk dengan ponsel mu, ya sudah lah kakak pergi sendiri saja."
"Aaah, kakak. Ikut..." Ucap Khanza merengek manja.
"Ya sudah ayo, nanti keburu malam." Ajak kakak Khanza kemudian dengan membalikkan badan keluar kamar.
Lalu mereka pergi menggunakan sepeda motor butut milik ayah mereka. Seperti biasa, Khanza seolah bagaikan anak kecil yang mendekap erat pada ibunya ketika duduk di belakang. Sementara kakak Khanza mengendarai motor butut tersebut.
Sesampainya di minimarket Khanza mengikuti kakak nya berkeliling memilih beberapa product kewanitaan. Sedangkan Khanza hanya melihat sekeliling dengan menggaruk kepalanya seperti sedang kebingungan.
Lalu tiba-tiba Khanza mengingat bagaimana awal dia bertemu dengan Pak Gibran dan menggodanya dengan mencium pipinya. Sejak itu, hubungannya dengan pak Gibran semakin dekat hingga mereka pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan kekasih.
"Hmm... Mikirin Jordy? Sampe senyum-senyum sendiri gitu. Awas kerasukan, jadi di pelukin setan. Iiih," Ucap kakak Khanza menggertak Khanza yang tengah melamun hingga senyum-senyum sendiri.
"Dih, apaan sih kak. Jangan menakuti ku, lagian siapa juga yang mikirin Jordy." Jawab Khanza dengan cetus ketika menyadari ucapan kakak nya yang menjahilinya.
"Lalu? Apa yang kau pikirkan sampai senyum-senyum begitu?"
"Ada deh..." Jawabnya dengan menyumbingkan bibirnya.
"Jangan bilang jika kamu selingkuh dari Jordy," Ucap kakak Khanza sembari menunjuk wajah Khanza dengan telunjuk nya.
"Bukan hanya selingkuh, tapi PU-TUS." Ucap Khanza sembari memoncongkan mulutnya dengan memperjelas ucapannya.
"Hahaha... Wah, patah hati dong." Jawab kakak Khanza meledeknya.
"Dih, biasa aja tuh. Tapi kak, pliss jangan beri tahu ayah dan ibu ya. Kau tahu bukan, alasannya apa?"
Kakak Khanza terdiam menatapnya heran.
"Soal itu kakak sudah paham, tapi.. Apa kau sungguh baik-baik saja?"
"Menurut kakak? Apa aku baik-baik saja?"
"Ehm... Kau susah di tebak. Di balik keceriaan mu ini entah apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu. Karena di sisi lain, saat kau sibuk dengan ponselmu kau tersenyum begitu bahagia. Tapi saat ku lihat secara langsung dirimu saat ini, kau terlihat begitu hancur."
Khanza menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kedua matanya yang kini tengah membendung air mata.
"Kakak tidak perlu tahu alasan kalian putus, tapi perlu kau tahu. Bukan hanya hidup yang ada pasang surutnya, berpacaran juga begitu. Ah, lagi pula. Adik ku ini cantik, tentu banyak laki-laki yang bisa menggantikan posisi Jordy di hatimu."
"Sampai kapan luka ini akan sembuh kak?"
"Hanya kau yang tahu. Kapan luka itu akan sembuh, tapi satu hal yang harus kau tahu. Putus cinta bukan berarti hidupmu akan berakhir bukan? Diluar sana masih banyak cinta yang menantimu, yang akan kembali mengukir kisah baru di hidupmu."