Pernahkah kau berpikir, bagaimana sebuah dosa bisa kau sebut suatu keindahan di dalam hidup kita? Kau akan memahaminya ketika CINTA mulai berbicara.
Tak pernah terbersit sedikitpun di hati Khanza bahwa sikap lugunya sebagai seorang anak dari keluarga yang sederhana, seorang siswi yang kini tengah duduk di bangku menengah atas di sekolah biasa, membuatnya berubah menjadi brutal di usianya yang baru menginjak 18 tahun. Berawal dari rasa kagumnya terhadap sosok lelaki dewasa yang tengah berkeluarga dan memiliki seorang anak, yang tak lain adalah wali kelasnya di sekolah saat ini.
Sejak SMP, Khanza selalu berada di lingkungan pendidikan yang biasa saja. Lalu kembali menjadi siswi di sekolah biasa yang terpaksa ia pilih untuk melanjutkan impian dan cita-citanya. Hidupnya yang sederhana dengan kedua orang tua yang hidup pas-pasan tak membuatnya malu berada di lingkungan sekolah kalangan bawah.
Berbeda dengan teman-temannya, yang memilih melanjutkan pendidikannya di sekolah elite dan di kelilingi guru-guru berprestasi. Sementara di sekolah tempat Khanza menempuh pendidikannya, hanya di kelilingi oleh guru biasa sampai akhirnya suatu hari hadir seorang guru yang berprestasi di segala bidang.
"Halo, selamat pagi anak-anak," sapa kepala sekolah pagi ini, yang tengah memasuki kelas bersama seorang lelaki yang tampan, memukau dan berwibawa.
Terlihat dari penampilannya yang rapi dan bersih. Dia menebar senyum pada seluruh siswa yang menatapnya heran.
"Pagi pak..." jawab serentak seluruh siswa di kelas, ada pula sebagian siswi yang tersenyum genit untuk menebar pesona melihat ketampanan pak Gibran.
"Pagi ini, sekolah kita kedatangan seorang guru yang sangat berprestasi di kota ini. Beliau lulusan universitas terbaik di LN," ujar kembali kepala sekolah, memperkenalkan lelaki tampan dan gagah di sebelahnya itu.
"Halo anak-anak, selamat pagi. Perkenalkan, nama bapak Gibran. Mulai hari ini, saya adalah wali kelas kalian sampai semester akhir," ujarnya dengan ramah menyapa.
Khanza yang duduk tepat di bangku pojok paling belakang tiba-tiba saja menyeru memujinya.
"Tampan sekali..." ujarnya berbisik.
"Hey, Khanza. Apa yang kau katakan barusan?" tanya Chika sahabat dekatnya saat ini.
Chika adalah seorang teman yang mudah terbawa perasaan dan selalu melontarkan kata-kata religy pada setiap orang yang dianggapnya teman akrab. Tak peduli siapapun yang menjadi temannya, dia selalu melontarkan kata-kata religy untuk menasehatinya.
Bagi Khanza, hanya Chika yang mengerti dan mengenal betul karakter ia yang sesungguhnya. Mereka sudah berteman sejak di sekolah dasar, Chika seorang anak yang kaya raya, dia bisa saja menempuh pendidikan di sekolah elite manapun yang dia inginkan.
Tapi demi Khanza, sahabatnya. Dia memilih menempuh pendidikannya di sekolah yang sama dengan Khanza. Karena baginya, tak peduli dimana pendidikan yang akan dia tempuh. Jika kita bisa menerima semua ilmu pelajaran dengan baik akan tetap membuatnya berprestasi.
"Khanza, woy !!!" Chika menggertakkan suaranya memanggil sahabatnya yang terus menatap ke depan dengan senyum-senyum sendiri.
"Ah ya, kenapa?" jawan Khanza gelagapan.
"Apa yang kamu pikirkan, sampai senyum-senyum begitu? Entar kerasukan jin loh."
"Ye... Apaan sih, miss taubat. Aku hanya memandangi wajah pak Gibran tau,"
"Ya Tuhan Khanza, pak Gibran sudah keluar kelas. Kau masih memandanginya apaan?"
"What? Sejak kapan? Kenapa aku tidak menyadarinya? Duuh, sebel." Ujar Khanza mendecak kesal.
"Jangan macam-macam ya, jangan gila! Kau memandanginya sejak tadi seperti sedang menatap Jordy pacar mu."
"Habisnya, pak Gibran tampan sekali. Entah kenapa hatiku bagai tertempel sebuah magnet saat menatapnya. Begitu lengket untuk berpaling dari pandangannya yang tajam." Ujar Khanza sambil senyum-senyum menopang kedua pipinya menatap kembali ke depan kelas.
"Oh Tuhan, selamatkan sahabatku ini."
Chika mulai mengeluh dengan doa.
🍁🍁🍁
Hari ke dua pak Gibran mengajar di kelas, membuat seluruh siswa di sekolah ini berlomba-lomba untuk menyapa dan menggodanya.
Tak seperti biasanya, di kelas pun seluruh siswi berlarian memasuki kelas saat bel berbunyi. Sebagian siswi-siswi lainnya ada yang memoles wajahnya dengan make up ringan. Merapikan rambut nya, memakai parfum, bahkan ada yang sengaja merapikan seragam yang di pakainya dengan sedikit terbuka.
"Oh astaga. Aku bisa gila melihat tingkah mereka." Ujar Chika mengeluh.
"Hem, apaan coba mereka itu. Pak Gibran gak bakal melirik mereka yang over begitu, aku yakin pak Gibran hanya akan melihatku di kelas ini."
"Khanza.. Kau lebih gila dari mereka, aku bilang Jordy nih. Kau nakal di sekolah, hem?"
"Aah, Chika sahabat aku yang pa..ling baik. Jangan gitu dong, aku kan hanya kagum saja. Lagipula, pak Gibran jauh lebih dewasa dari ku kan? Haha, mana ada guru pacaran dengan siswinya? Gak ada sejarah begitu sayang."
"Hemm... Baguslah, meski hanya sekedar kagum kau juga tidak boleh terlalu menebar pesona pada pak Gibran. Tidak baik, kita ini muridnya. Sudah seharusnya menghormati dan menghargainya sebagai guru kita."
"Aduh.. Iya iya, aku mengerti," jawab Khanza dengan wajah manyun.
Beberapa menit kemudian pak Gibran memasuki kelas dengan penampilan nya yang selalu menawan. Membuat seluruh siswi berdehem dan memulai aksinya.
"Selamat pagi anak-anak. Apa kabar kalian pagi ini?"
"Selamat pagi pak Gibran ganteng," jawab para siswi berirama manja, dengan lantang hingga menutupi suara siswa lainnya.
Pak Gibran tersenyum ramah menanggapi sapaan mereka. Membuat Khanza semakin terkesima akan senyumannya.
Kemudian Chika menyenggol lengan Khanza untuk menahan sikapnya yang mulai genit.
Pelajaran sedang berlangsung, pak Gibran mulai melakukan presentasinya menjelaskan mata pelajaran yang kini di sampaikan pada siswa siswi di kelas. Dengan sikap lembut dan humble beliau menyampaikan dengan santai, tak peduli meski para siswi mengabaikan apa yang beliau sampaikan.
Begitu pula dengan Khanza, yang terus menatapnya dengan senyuman genit. Menyadari akan sikap Khanza sejak tadi. Pak Gibran menghentikan penjelasannya di depan kelas, hal demikian tak membuat Khanza berkutik.
"Kamu, yang di pojok belakang. Maju ke depan," ujar pak Gibran.
Khanza masih dengan ekspresinya yang terus memandang wajah pak Gibran dengan senyuman genit.
"Khanza, ayolah.. Jangan bikin malu, pak Gibran memintamu maju kedepan." Bisik Chika di telinga Khanza.
Khanza tak juga bergeming.
Kemudian Chika mencubit paha sahabatnya itu, untuk menyadarkan sikapnya yang terhanyut akan sosok pak Gibran.
"Aw, apaan sih Chika?"
Khanza meringis dengan suara keras.
"Kamu di panggil pak Gibran ke depan, astaga Tuhan. Apa yang kau pikirkan sejak tadi? Apa kau tidak mendengarnya?" jawab Chika mengomelinya.
Seketika Khanza berdiri menghadap ke depan, dilihatnya pak Gibran memberikan isyarat agar dia maju ke depan.
"Sa,saya pak?" jawab Khanza dengan gemetar.
"Hemm, ayo sini maju ke depan," ujar pak Gibran dengan senyuman.
Dengan langkah ragu Khanza maju ke depan, beberapa siswa dan siswi mulai menyeru meledeknya. Membuat wajah Khanza memerah menahan malu menundukkan wajah.
"Apa kau sudah mengerti yang bapak jelaskan tadi? Siapa namamu?" tanya pak Gibran setelah berhadapan dengan Khanza di depan kelas.
"Ehm... Saya Khanza pak, dan saya... Anu pak, saya..." Khanza mulai kikuk dan salah tingkah.
"Kau pasti sedang melamun sejak tadi, apa yang kau pikirkan Khanza?"
"Mikirin bapak, upz..." jawab Khanza reflek. Spontan membuat seluruh siswa di kelas menyeru meledeknya.
"Apa? Mikirin bapak? Hahaha... Kau ini, sudah sudah. Kembali saja ke meja mu. Dan dengarkan pelanjaran yang bapak sampaikan dengan fokus, oke, Khanza."
"Ba,baik pak, maafkan Khanza. Habisnya, bapak terlalu tampan. Khanza jadi tidak fokus belajar, hehe." Dengan berani Khanza mengeluarkan pujiannya membuat seluruh kelas memakinya dengan candaan.
Pak Gibran menanggapinya dengan senyuman tipis dan menggelengkan kepalanya. Karena bagi nya, ini bukan yang pertama kali. Seorang siswi bertingkah genit dan berani memujinya seolah dia bukan guru yang patut di hormati.