webnovel

Firasat I

Untuk ukuran seorang wanita yang sedang mengalami masalah besar dan mungkin telah depresi, nafsu makan Anya bisa dibilang masih sangat normal.

Setelah makan satu burger keju, dua slice pizza, satu genggam kentang goreng, dua potong paha ayam goreng dan satu gelas jumbo milkshake coklat, Anya tertidur sangat nyenyak di sofa milik Amor. Bahkan Amor bisa mendengar suara dengkurannya.

Amor menghela nafas panjang.

"Poor Anya…" gumamnya dengan nada prihatin sambil mengusap lembut rambut Anya.

Amor lalu menatap wajah Anya yang tampak memar di kedua pipinya dan bibirnya yang juga tampak terluka. Melihat keadaan Anya yang seperti ini benar-benar mengerikan. Amor tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya menjadi Anya. Dianiaya sedemikian rupa oleh suaminya. Ketika pernikahan mereka berdua pun belum genap seminggu!

Benar-benar menyedihkan. Bahkan lebih menyedihkan dari sinetron-sinetron bertema rumah tangga yang kerap ia tonton di siang bolong di salah satu channel televisi yang rata-rata temanya didominasi dengan kekerasan rumah tangga, perselingkuhan diikuti serangkaian azab pedih karena mendzolimi istri.

Perlahan-lahan dengan lembut Amor mengoleskan gel khusus mengobati memar pada wajah Anya yang sedikit pun tampak tak terusik dengan perbuatan Amor.

Sembari menunggu Anya bangun, Amor putuskan membersihkan ruangan apartemennya yang baru dua bulan yang lalu ditinggalkan penyewanya.

Ponselnya tiba-tiba berdering saat Amor sedang menyapu lantai. Ternyata Artha menghubunginya melalui video call. Amor yang awalnya panik, memutuskan akan mengangkatnya.

Namun agar ekspresinya nanti tampak wajar dan tenang, Amor duduk di bangku minibar sembari menarik nafas sepanjang mungkin.

"Hallo, Tha." Amor tersenyum sembari melirik ke arah Anya yang masih terlelap.

"Lo sama Jovan sehat-sehat aja kan, Moy?" tanya Artha tiba-tiba dengan wajah memenuhi layar ponsel Amor. Membuat kedua lubang hidungnya tampak terlihat jelas. Amor jadi bisa melihat bulu-bulu hidung Artha yang bergoyang setiap kali Artha berucap.

Amor menghela nafas. "Sehat. Tumben lo nanyain kesehatan gue sama Jovan?"

"Syukurlaaaah…." Artha tampak menghela nafas lega.

"Kalo ibu mertua lo, sehat juga nggak?" tanya Artha lagi membuat Amor berpikir, tumben sekali Artha bertanya tentang ibu mertuanya.

"Sehat juga lah."

"Kalo si kembar gimana? Sehat-sehat semua kan?" Artha kembali bertanya tapi kali ini tampak lebih khawatir dari sebelumnya. Membuat Amor makin merasa aneh dengan sikap Artha.

"Mereka berdua sehat-sehat aja kok," jawab Amor berusaha tidak bosan menjawab pertanyaan Artha.

"Syukurlah, gue jadi lebih lega," ujar Artha dengan mimik lega.

Tapi mimik lega itu pun lagi-lagi hanya sesaat. Seolah teringat sesuatu yang terlewatkan, yaitu bocah laki-laki delapan tahun keponakan yang sekaligus anak adopsi Amor dan Jovan. Membuat Artha bertanya lagi, "Kalo Marlon gimana?"

"Marlon juga sehat, Om Arthaaaa!" Amor menyahut gemas. "Tumben banget lo nanyain kesehatan seisi rumah gue? Semua ART gue nggak sekalian lo tanyain juga? Kucing gue, lovebird Jovan, kadal Marlon..." Amor balik mencecar.

"Ya elaaah, madaaam! Masa nggak boleh sih gue care sama kalian?" timpal Artha.

"Abis lo aneh sih." Amor terkekeh geli.

"Itu karna dari kemaren gue ngerasa dapet firasat buruk deh, Moy," ujar Artha tiba-tiba serius, memudarkan senyum lesung pipit Amor.

"Firasat buruk kayak apa?"

"Pantat gue kedutan mulu dari kemaren!" jawab Artha nyaris membuat Amor terjengkang dari bangku tempatnya duduk.

"Pantat ayam kali, kedutan!" Tawa Amor pecah, menertawakan cara Artha memperoleh firasat.

"Boleh percaya boleh nggak. Tapi jujur ya, itu emang salah satu kelebihan pantat gue selama ini. Gue slalu sembunyikan karena nggak pengen viral aja." Artha memasang wajah kesal karena Amor tak henti-hentinya menertawakannya hingga menangis.

"Nggak lucu dong kalo tiba-tiba gue diundang masuk tipi, ditonton satu Indonesia Raya lalu disuruh lepas celana cuma buat nunjukin gimana caranya indera ke enam gue bekerja!" tambah Artha absurd membuat ponsel Amor sontak merosot jatuh beserta pemiliknya yang kehilangan keseimbangan karena hendak menangkap ponselnya.

"Kibo gilaaaa! Hape gue sampek jatuh nih!" Amor kembali duduk di bangkunya. Namun manik matanya sempat menangkap Anya yang kali ini tampak sedang mengigau dalam tidurnya.

"Jadi karena itu lo absen atu-atu seluruh anggota keluarga gue?" tanya Amor. Di sisi lain ia merasa tenang karena Anya tampak tidak terusik dengan kegaduhan yang ia buat tadi.

"Karena beta sayang kalian semuaaaa!" sahut Artha menirukan aksen orang daerah Indonesia Timur. "Makanya kita bisa punya kontak batin toh?"

Amor tidak membalas ucapan Artha. Malahan kembali menatap ke arah Anya. Firasat buruk yang Artha dapatkan memang terjadi dan itu karena apa yang telah menimpa Anya. Amor sebenarnya ingin segera menceritakan masalah Anya pada Artha. Tapi Amor urungkan. Teringat pesan Anya sebelumnya. Tapi Amor ingin memancing reaksi Artha jika ia menanyakan perihal Anya.

"Kalo soal Anya…" Amor bertanya dengan nada hati-hati. Ia tidak ingin membuat Anya terbangun.

Mendengar Amor menyebut Anya, Artha tertawa kecil, getir untuk menyamarkan sorot mata terlukanya ditinggal kawin Anya.

"Gue sebenarnya juga khawatir soal Anya…" ujarnya pelan.

Amor terdiam. Dalam hatinya berperang. Seharusnya ia menceritakan soal Anya, tapi…

"Tapi gue nggak berhak, Moy." Artha makin sendu.

"Tha…"

"Karna gue laki-laki, Moy…" ujarnya dengan suara sedih. Makin membuat Amor merasa bersalah. "Nggak pantes pake sepatu berhak," tambahnya disertai tawa karena berhasil mengerjai sepupunya.

"Garing banget deh lo!" Amor terkekeh mencibir kelakar Artha yang sudah biasa ia dengar sebelumnya.

"Ngapain juga orang lagi honeymoon gue khawatirin." Artha menghela nafas panjang. "Karna kalian semua baik-baik aja, gue bisa tenang," lanjutnya tapi tampak murung.

Tenang pala lo kibo! Kalo lo tau Anya lagi dapet musibah besar, lo pasti kejang-kejang! Batin Amor sambil terus berpura-pura.

"Udah ya, gue tutup. Gue mau nguras kolam lele. Sampai jumpa minggu depan," ujar Artha akhirnya berpamitan. Minggu depan adalah saatnya ia kembali ke Jakarta setelah seminggu mudik berlebaran di Bandung.

"Oke. By the way, salam ya buat Tante sama Om ya Tha."

Artha hanya meng-iya-kan dengan tersenyum lebar sebelum menutup video call.

Amor menghela nafas sesudahnya. Bukan nafas lega. Melainkan karena nafasnya terasa berat. Berat karena beban dari Anya yang memintanya untuk bungkam.

Setelah Artha pergi, giliran Jovan suaminya yang memanggilnya melalui video call. Amor menepuk keningnya. Suaminya itu pasti akan langsung curiga mendapati istrinya malah ada di apartemen lamanya bukannya di Mall seperti alasan saat berpamitan.

Tidak kunjung diangkat, Jovan mengirim pesan.

[ Kenapa nggak diangkat, sayang? ]

Amor berdiri lalu mondar-mandir kebingungan. Suaminya kembali memanggilnya via video call.

Kalau ia tidak kunjung menjawabnya, Jovan justru makin curiga dan ia tidak ingin berbohong lagi.

Amor membukanya dengan senyum lebar, menatap wajah suaminya di layar ponselnya.

"Kamu di apartemen?" Jovan segera saja sudah menerka keberadaan istrinya. Sudah hafal betul dengan setiap sudut ruangan apartemen istrinya.

Amor meringis lebar.

"Kenapa tadi bohong? Bilangnya mau ke Mall…" Jovan menatap istrinya dengan tatapan penuh selidik.

Amor mengusap wajahnya yang tersipu malu karena tuduhan Jovan benar.

"Itu karena sebenarnya, aku…aku…aku…"

Wajah Jovan tampak kian curiga dengan cara bicara istrinya yang terbata-bata.

"Aku lagi sama Anya, daddy…" jawab Amor akhirnya membuka fakta sebenarnya.

"Anya?" Kening Jovan berkerut mendengar jawaban istrinya.

Amor meringis sambil mengangguk.

"Anya dan Pasha?" tanya Jovan lagi memastikan.

Amor menggeleng keras.

"Anya saja. Tanpa Pasha," ujar Amor tanpa bermaksud berteka-teki.

"Lho bukannya mereka berdua harusnya sedang bulan madu?"

Amor menggeleng kembali. Makin membuat Jovan kebingungan.

"Daddy kesini aja ya. Kita bicara di sini."

"Kenapa?"

"Pokoknya nanti aku ceritain semuanya setelah ketemu."

"Oke. Sekarang juga aku kesitu."

"Tapi, sayang…Nanti pura-puranya nggak sengaja aja ke apartemen ya. Kalo Anya nanya kenapa daddy datang…" pinta Amor terakhir kali dengan merendahkan volume suaranya dan Jovan dengan begitu mudah mengerti maksudnya.

"Oke. Ada lagi?" tanya Jovan mengingatkan.

Amor menatap ke atas untuk mengingat-ingat apa yang telah ia lupakan. Hingga ia teringat dan berkata,"kalo daddy nggak keberatan, tolong bawain selimut, sprei, sama belanja bahan-bahan makanan ya. Please..."

Kening Jovan kembali berkerut karena segambreng titipan dari istrinya yang harus ia bawa serta.

"Udah itu aja?"

"Udah. Thank you, my sunshine..." Amor sempat-sempatnya menggombal.

"Dasar kamu, kalo ada maunya aja gombal," Jovan bergumam sambil tersenyum tipis sebelum menutup video call.

Setelah menutup pembicaraannya dengan suaminya, Amor memandang Anya kembali sambil menggeleng pelan.

"Sorry ya Nyak, demi keharmonisan rumahtangga, gue harus jujur sama Jovan."

Haiiiiii! Octo Up lagi nih. Btw, untuk yang selalu nanya kapan up kapan up? Untuk sementara, Octo cuma bisa up seminggu sekali ya. Tapi nggak janji ^^

Biar Octo lebih semangat nulisnya, tolong dukung Octo ya dengan power stone, ulasan review dan doa kalian ya. Terima kasih.

Salam bahagia ^^ Jaa, nee! Zai jian! See you! Sampai jumpa lagi!

OctoSundaycreators' thoughts
Next chapter