webnovel

Main Playstation.

Jemari kanan Karang sibuk merangkai kode apartemennya, sedangkan tangan kiri terus merangkum buku-buku jari milik Pelita seolah takut jika gadis itu akan pergi jauh. Kini pintu berhasil dibuka, kesan pertama yang Pelita simpulkan usai melihat isi apartemen Karang hanya dua kosa kata: kapal pecah atau kandang macan?

Banyak puntung rokok berserakan di lantai, beberapa kaleng softdrink kosong menenuhi permukaan meja pun nakas di sekitarnya, kantung berisikan snack juga tercecer di mana-mana. Gadis itu menghela napas berat, baru kali ini ia datang ke tempat yang benar-benar berantakan, mungkin ia sedikit memahami saat penghuninya adalah laki-laki.

Karang terus menarik Pelita menyusuri tiap jengkal apartemennya hingga tiba di kamar laki-laki itu, ia loloskan gadisnya sebelum melepas ransel dan melemparnya ke tempat tidur, ia duduk di sisi ranjang sebelum akhirnya membungkuk lepaskan ikat tali sepatu. Saat menengadah—bola matanya memperhatikan Pelita yang masih bergerming perhatikan kapal pecah di sekitarnya, agak kesal sekaligus menahan sabar.

"Apa yang lo lihat?" tanya Karang, ia mampu meraba isi pikiran Pelita kali ini.

Pelita menatap laki-laki itu, "Berantakan, kayak kapal pecah." Ia tak sanggup jika harus berbasa-basi.

"Karena itu lo harus urusin gue, biasanya Valerie yang beresin."

Valerie? Jadi selama ini dia mau-mauan jadi babunya si manusia batu ini? Parah emang, batin Pelita seraya berdecak, ia lipat tangan di dada perlihatkan ekspresi kekesalan yang tak bisa disembunyikan lagi. Jadi, ia dibawa ke sana hanya untuk membereskan isi apartemen Karang? Pelita berharap miliki vacum cleaner raksasa agar bisa sedot semua isi apartemen Karang sekaligus pemiliknya, setelah itu tawa jahat mengudara.

"Lo mau makan apa? Biar gue yang delivery," tawar Karang yang kini beranjak hampiri lemari besarnya, ia lepaskan jaket serta kaus abu-abu hingga tubuh kotak-kotak ala potongan martabak milik Karang terekspos jelas di depan Pelita, bola mata gadis itu mendelik, wajahnya memucat, ada ingin untuk berteriak, tapi bibir seolah dijahit hingga bungkaman terasa lebih baik.

"Ng ... aku nggak laper kok," tolak Pelita halus, laki-laki itu tetap santai tanpa risi sedikit pun meski shirtless di depan pacar barunya, ia raih t-shirt polos yang kini lindungi Pelita dari pandangan setannya.

"Makan! Badan lo tuh kurus begitu, tapi nggak mau makan, gue pesenin burger king, oke?"

Pelita mendesah dan hanya mampu mengumpat dalam hati usia mendengar perkataan Karang, dia tahu dirinya memang kurus dan mungil, tak seperti Valerie yang tinggi semampai, apalah Pelita jika dibandingkan Valerie yang jadi salah satu most wanted Universitas Merah Putih itu. Dia hanya gadis yang terjebak masuk di kehidupan Karang, yang mungkin akan membenturnya setiap waktu.

"Gue mau ngurus sesuatu di kamar mandi dulu, silakan lo bersih-bersih semuanya, boleh?" Lontaran katanya benar-benar meluncur dengan mulus seolah memerintah seorang pembantu.

"Iya, Kak." Pelita pasrah saja, toh ia yang tetap kalah pada akhirnya.

Karang beranjak masuk ke toilet di kamarnya, kini Pelita yang harus eksekusi tempat itu dengan segera. Ia loloskan ransel dan letakan benda itu di permukaan nakas, semua dimulai dari memungut banyaknya kaleng softdrink serta beberapa bungkus snack yang tercecer di mana-mana, lalu menyapu debu serta bekas puntung rokok di lantai. Untung saja AC kamar Karang menyala, jadi Pelita tak perlu repot-repot mengusap peluh yang jelas akan hadir usai pergulatan dengan para sampah.

Karang sendiri cukup konyol, ia tak melakukan apa pun di kamar mandi, tubuhnya bergeming di dekat pintu seraya membukanya sedikit hingga ada celah baginya memperhatikan kegiatan Pelita sekarang. Seulas senyum simpul menghiasi rupa kuarsa itu.

Ting-tong-ting-tong!

Pelita menoleh, ia lantas mengernyit saat Karang bergerak cepat melewatinya hampiri pintu utama. Ternyata pengantar delivery sudah datang, kini dua box berukuran kecil dan sedang sudah memenuhi tangan-tangan Karang. Empunya melewati Pelita begitu saja sebelum bersila di permadani seraya letakan dua box tadi.

"Woy, makan!" seru Karang sengaja cukup keras.

Pelita menoleh sekilas, dia kembali melanjutkan urusannya merapikan sepray milik Karang, tas laki-laki itu ia letakan di nakas, tepat di sisi ransel Pelita.

Karang beranjak karena Pelita tak kunjung menghampirinya. Ia cekal lengan gadis itu dan pamerkan kilatan kecil di balik netra hitamnya, "Gue udah panggil bukannya merapat malah diem, lo harus makan!" perintah Karang dengan segala kuasanya.

"Iya, tapi tangannya turunin dulu, kek. Ini tuh sakit." Cekalan Karang mengendur, kini tangannya meluruh selipkan buku-buku jarinya pada ruang kosong tangan Pelita, menariknya pelan hingga tiba di permadani, mereka duduk bersila di sana.

"Nih, burger king buat lo," ucap Karang seraya menunjukan isi makanan dari salah satu box itu.

Pelita melongo melihat semua makanan itu, ternyata pacar barunya benar-benar serius membelikan Pelita sebuah burger king. Lelucon macam apa itu, burger berukuran normal saja belum tentu bisa Pelita habiskan, dia bukan monster, hanya gadis kecil yang sering lupa waktu untuk makan.

"Aku nggak mungkin bisa habisin burger segede itu, Kak. Boleh kan setengahnya aja?"

"Gue udah beli, dan lo harus makan, harus habis. Gue maunya punya cewek yang seksi," ujar Karang.

Rasanya Pelita ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini setelah mendengar pekataan Karang, terlalu sarkas.

"Kalau gitu putusin aja aku, nggak mungkin aku punya badan seksi," tutur Pelita seraya putar bola matanya, tak peduli pada ekspresi laki-laki itu sekarang.

Karang menatapnya. "Gitu terus ya ngomongnya, makan cepet!" hardik Karang, dia kesal mendengarnya.

Terpaksa Pelita mulai meraih makanan itu dengan kedua tangannya. "Nggak pakai piring apa sendok, Kak?"

"Nggak usah, gue nggak suka lihat cewek yang makannya lelet."

Biasanya laki-laki lebih suka melihat gadis dengan cara makan yang rapi dan anggun, tapi Karang benar-benar aneh. Terserah, Pelita langsung menuruti keinginan laki-laki itu, dia menggigit pinggiran burger dan mengunyahnya.

Karang tak menyentuh makanannya sama sekali, dia justru sibuk dengan konsol play station yang kini memenuhi kedua tangannya. Pelita terus menggigit makanan itu hingga benar-benar sisa separuh, dia hampir muntah karena sudah tak mampu menampungnya.

"Maaf, Kak. Aku bener-bener nggak bisa habisin semuanya," ucap Pelita sedikit cemas, ia takut Karang akan marah atau memaksanya habiskan semua itu sendiri.

Karang menoleh, dia menatap sisa burger itu lalu berganti pada sekitar bibir yang ditempeli gadisya yang ditempeli banyak sisa saus dan mayo.

Ibu jari Karang mengusap bibir Pelita, lalu menjilat jarinya sendiri. Benar-benar membuat Pelita tercengang, tak ada rasa jijik sama sekali.

"Kenapa lihatin gitu? Minta dicium?"

Pelita menggeleng kuat. "Enggak."

"Baguslah, sekarang mending lo jadi lawan gue main PS, nggak ada lawan nggak rame nih." Karang mengambil konsol lain dan memberikan benda itu pada Pelita.

"Tapi aku nggak bisa, Kak," tolak gadis itu.

"Udah main aja, nanti lama-lama juga bisa." Karang bersikukuh memaksanya.

Pelita pasrah, lagi-lagi dia yang mengalah, Karang memang batu, sulit dikikis.

Pada akhirnya Pelita meraih konsol PS dan mengikuti ritme permainan, sebuah permainan bola luar negeri.

Entah mudah atau tidak, tapi Pelita terus mengarahkan pemainnya asal-asalan, dia tak paham sama sekali dengan permainan itu. Praktik saja belum tentu Pelita sudi, tapi paksaan Karang membuatnya lemah.

"GOL!" seru Karang kegirangan, dia baru saja memasukan bola ke gawang milik tim Pelita.

Gadis itu hanya bisa mencebik bibir, sudah jelas dia yang akan kalah dalam permainan itu.

"Aku udahan, Kakak tuh curang, aku mana bisa main bola," gerutu gadis itu melempar konsol PSnya begitu saja.

"Nggak boleh gitu dong, yang namanya permainan itu ada kalah sama menang. Masa lo nggak paham."

"Enggak, aku mau pulang aja."

"Nggak boleh! Main lagi sekarang!" perintah Karang begitu memaksa.

"Tapi—"

"Lo nggak mau nurut, hm?" Karang mendekatkan wajahnya pada gadis itu, tapi Pelita cepat mendorong dadanya hingga mundur.

"Iya, Kak, iya. Aku mah apa atuh," keluh Pelita.

"Bagus, ambil sticknya lagi."

Pelita beranjak dan meraih konsol yang ia lempar ke permadani tadi, dia kembali duduk di sisi Karang dan melanjutkan permainan.

Mereka terus melangsungkan permainan hingga tiga kali Karang bisa membobol gawang Pelita lagi, gadis itu benar-benar gemas. Pada akhirnya Pelita bisa memasukan satu gol ke gawang milik tim Karang.

"GOL!" seru Pelita begitu senang, dia sampai menjulurkan lidah ke arah laki-laki itu, sengaja mengejeknya.

"Bagus, lama-lama gue gigit juga itu lidah," celetuk Karang, Pelita langsung mengatupkan bibirnya, dia tak mau kelepasan melakukan hal yang tidak-tidak dengan Karang.

Dasar batu! Lama-lama gue lempar ke laut.

Next chapter