Tua Gila tertawa gelak-gelak dah diam-diam perhatikan
gerakan jungkir balik yang dibuat Wiro Sableng sewaktu
melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ah gerakan kincir padi memutar yang belum sempurna
hendak dipamerkan di depan hidungku!" ejek Tua Gila lalu
tertawa lagi gelak-gelak.
Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang
mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia
jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan yang
dinamakan kincir padi memutar yaitu yang dipelajarinya
dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di
puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah
dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup,
terkejut dan ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka
gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya Tua
Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar
212 Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si
muka angker itu hanya terus duduk dan tertawa gelak-
gelak.
Wiro berdjri dengan nafas sesak dan muka pucat.
Matanya tiada berkesip memandang si Orang tua. Jika dia
diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang
dan ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup
menahan kesabarannya? Sampai berapa lama dia akan
menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya?
Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?!
"Kau masih mau membangkang?!"
Wiro tak menjawab.
Tua Gila berkata: "Mengingat bahwa kau telah me-
nyelamatkan seorang anak laki-laki yang bakal kuambil
jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila."
"Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang
keterlaluan...."
"Perlakuanku apa yang keterlaluan?!" bentak Tua Gila
marah sekali. "Manusia tidak tahu diri! Sudah diampuni
jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama
gurumu!"
"Kau buhuhpun aku tak akan memberi tahu!"
"Apa kau tidak takut mati?!"
"Kenapa musti takut?!" jawab Wiro pula.
Tua Gila tertawa pendek dan berkata: "Apa di dunia
ini betul-betul ada manusia yang tidak takut mati?!"
"Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau!"
Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama
puluhan tahun hidup tak pernah dia ingat tentang kematian
sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia
lain menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan
hati dan mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu.
Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua
butir air mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun
menetes pipinya yang cekung!
Wiro Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si orang, tua
yang begitu keras adat, galak, tertawa tak karuan dan aneh
itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air mata.
Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya.
Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya
ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Apa arti angka 212 di dadamu itu?!" '
Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan
celana panjang saja sedang tubuhnya bagian atas tiada
berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah
mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki
yang ditolongnya.
"Guruku yang menuliskannya," kata Wiro.
"Dasar tolol! Aku tanya apa,arti angka itu! Bukan siapa
yang menulisnya. Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya
aku tak perduli!"
"Tak bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro.
Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah.
"Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau betul-betul
tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau akan
kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang yang
dipegangnya, ffiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk
mati, orang gila!"
Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan
hendak dipukulkan, tiba-tiba djtariknya kembali. Dia
menyeringai. "Ah... sebetulnya aku sudah muak melihat
kematian! Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah
pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau
tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga!"
Wiro Sableng kertakkan rahang.
Dan Tua Gila-lanfas ajukan pertanyaan"
"Menurutmu oang tua manakah yang paling celaka
hidupnya di dunia ini?!"
Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang
sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah
angker orang tua itu. ,
"Kalau kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!"
Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke atas pohon
kelapa dan berkata: "Aku akan jatuhkan sebuah kelapa.
Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa
menjawab pertanyaanku tadi!"
Tua Gila memukul ke atas.
Wiro kerutkan kening.
Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa
lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat!
"Bumm!"
Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah!
Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan.
"Jiwamu kuampuni, orang gila," katanya. "Jawabanmu
memang betul." Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua
Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya
dihadapan Wiro. ''Benda ini kutemui di dalam saku
pakaianmu yang dibuat pengikat anak laki-laki yang kau
tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!"
Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan
kulit harimau yang tempo hari ditemui Wiro di Goa Belerang
di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu
ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa
keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan
riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang
lua itu.
"Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku
Seribu Macam Pengobatan Ha?"
Wiro mengangguk.
"Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan
kau ambil sebagai milikmu?! Berarti kau maling besar
karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku
itu akan diwariskannya kepadamu!"
"Aku tidak mengatakan hendak mengambil atau
memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya kewajiban untuk
mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang
telah mencuri buku itu"
"Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau
bukan muridnya Kiai Bangkalan!"
"Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di
tangan orang yang bukan pemiliknya."
"Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan
buku itu?"
"Aku akan pelajart isinya,...",
"Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!"
potong Tua Gila.
"Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan
bahwa dia akan mengajarkan ilmu pengobatan padaku. Kini
dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu
pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri
kepandaian orang lain!"
Tua Gila tertawa.
"Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari
buku tulisannya, tanpa izin orang itu sama saja dengan
mencuriKiai Bangkalan berkata akan memberikan
pelajaran ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia
sendiri, bukan dari bukunya. Jangan mengada-ada,
orang gila!"
Wiro Sableng menjadi penasaran sekali.
Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi: "Karenanya kau lak
usah teruskan perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja.
Kau akan sia-sia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi
hakmu!"
"Apakah menjadi hakmu melarang aku?!" tukas Wiro.
Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang.
"Perjalananku semata-mata bukan cuma untuk mencari
buku itu. Tapi juga sekaligus mencari manusia yang telah
membunuh Kiai Bangkalan!"
"Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas!
Kau dengar orang gila?!"
"Tapi aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang
budi itu tak akan lunas sebelum aku berhasil membekuk si
pencuri dan si pembunuh!"
"Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai
Bangkalan...?" ejek Tua Gila. '
"Kalau keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya
dia yakin bahwa dia kelak betul-betul akan membunuh
manusia itu.
"Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu
hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!"
Wiro sunggingkan senyum sinis dan. menjawab:
"Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milik-
mu?!"
Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. "Kau
meskipun gila nyatanya pintar bicara! Sekarang kau
kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi
muak melihat tampangmu!"
Wiro mehggerendeng.
Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali,
satu aliran angin aneh menjalar di benang yang mengikat
lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat!
Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh
Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok!