webnovel

Ryan

~POV Ryan~

Hah.... pagi, tapi tak ada bedanya bagiku dengan malam kemarin. Kedua kakiku masih seperti ini, tak bergerak! aku kembali melihat jam dinding, kenapa lama sekali seseorang datang ke kamarku? Ini sudah subuh!

"oh, maaf Yan... Abang tadi kelamaan di kamar mandi, mules," ujar Abangku setelah membuka pintu dengan tergesa-gesa.

"hmmm," jawabku.

Bang Dodi membantuku untuk pindah ke kursi roda yang baru kemarin kunaiki, dia menggendongku hingga terduduk di kursi roda elektrik ini.

"kateter kamu mana? Taroh sini saja," ia memindahkan kateterku ke samping kursi roda dan menyelipkannya di dekat roda belakang.

Apalah aku sekarang ini? tak bisa melakukan hal-hal sepele seperti dulu lagi! Aku bahkan sekarang memiliki dua lubang di perutku, kateter dan kolostomi.

Dia dengan cekatan melepaskan kedua kaos kaki yang telah menjadi atribut penting sejak aku lumpuh, kakiku benar-benar mudah kedinginan dan itu membuatku merasakan ngilu secara terus-menerus.

Kemudian dia melepaskan penyangga pergelangan tanganku dengan hati-hati.

"ayo berwudhu," ajaknya sambil tersenyum.

Aku sekarang benar-benar seperti anak bayi yang tak bisa melakukan apapun untuk diriku sendiri, aku benar-benar malu seperti ini! kenapa Tuhan tak membiarkanku mati saja waktu itu? kenapa Tuhan?

"Yan? Ayo..." ajak Bang Dodi lagi.

Aku menghembuskan nafas dengan kasar dan mengangguk padanya.

***

"Bang tinggal ya Yan..." kata Bang Dodi setelah membentangkan sajadah untukku.

"makasih Bang," kataku.

Dia mengangguk dan berlalu sambil menutup pintu.

Bang Dodi seperti biasanya, dia akan sholat subuh berjamaah di mesjid, aku juga begitu dulu, tapi tidak lagi sekarang. Untuk sholat saja aku hanya berdiam di kursi roda atau di atas ranjang, karena aku tidak bisa duduk tanpa bersandar. Jadi duduk meleseh di lantai ataupun duduk dikursi kecil yang biasa dipakai orang-orang di mesjid itu aku tak sanggup untuk saat ini.

Selesai sholat, hatiku merasa sedikit tenang. Sekarang waktunya mandi, dan aku harus menunggu seseorang datang ke kamarku lagi, hmmm ini sungguh melelahkan, semoga tanganku yang patah ini segera sembuh.

"mandi lagi Nak!" Papa mendekatiku setelah membuka pintu.

"papa punya bayi sekarang," ujarku menghina diri.

"oh ya? Tapi bayi Papa akan segera bisa mandi sendiri nanti, tak usah khawatir," Papa menepuk lembut bahuku.

Tapi harusnya aku bersyukur terlahir di keluarga yang baik seperti ini, tak bisa kubayangkan jika aku tak memiliki siapapun, dan aku harus hidup cacat.

***

"Mama pergi dulu ya sayang, kamu baik-baik di rumah ya.... kalo ada apa-apa telfon Mama langsung!" ujar Mama sambil menekuk sedikit lututnya agar dapat melihatku dengan jelas, ia membelai lembut pipiku.

"Vani ntar cepet pulangnya kok... Bang Yan gak akan kesepian..." Vani menggenggam tanganku sambil tersenyum.

Aku mengangguk pada kedua bidadari syurga itu, harusnya akulah yang menjaga mereka, tapi aku sudah tak bisa apa-apa sekarang.

***

Sudah sejak tadi aku memandangi diri di cermin ini, kulit pucat, kursi roda dan ini... selimut! sesuatu yang tak pernah kubayangkan akan kutaruh dipangkuanku seperti ini, tapi aku membutuhkannya sekarang demi kaki yang tak akan pernah bergerak lagi.

"Mas Ryan... tamunya sudah datang," ujar Mbak Asih, asisten rumah tangga kami.

"iya Mbak," jawabku.

Aku segera keluar kamar, tapi mengendalikan kursi roda ini masih terasa aneh bagiku, aku kikuk melakukannya.

"Ryan, ini Pak Boby yang aku ceritakan itu," ujar Kenzo sambil melirik seorang pria paruh Baya.

Pak Boby segera berdiri sambil bertopang pada tongkatnya dan menyalamiku yang berada di dekat Kenzo.

Aku melihat seorang gadis, mungkin ini pacar Kenzo itu, dia memiliki wajah yang mirip dengan Ibunya, hanya saja dia tak berjilbab, tak sama seperti Bu Hartanti.

"ini pasti anak Ibu Hartanti itu ya?" tanyaku

"iya Bang, aku Dita," jawabnya sambil menyalamiku.

"sorry sepi, Mama lagi di sekolah adek gue, ada rapat wali murid, yang lainnya pada kerja, tinggal pengangguran gak berguna di rumah," kataku.

"ndak boleh ngomong begitu pada diri sendiri Nak, kamu di rumah karena masih sakit," ujar Pak Boby.

"hah... sakit? kalo sakit itu ada sembuhnya Pak, kalo gue gak! Gue akan begini selamanya!" kataku meratapi diri sendiri.

"iya Nak, maksud Bapak tangganmu masih sakit, setelah itu sembuh kamu bisa melakukan banyak hal lagi, percayalah..." Pak Boby menatapku dengan tenang.

"gak Pak, gak! Orang cacat itu gak bisa melakukan semua hal!" ujarku sambil menggeleng-geleng.

"Kita emang gak bisa manjat pohon buat ngambil balon yang tersangkut, tapi apa waktu kamu masih bisa jalan dulu, itu pernah kamu lakukan? Gak kan? buat apa kita harus bisa melakukan 'semua' hal?" jelas Kenzo santai.

Aku heran, bagaimana orang semuda Kenzo ini, ia bahkan lebih muda dariku satu tahun, bisa bersikap seperti ini. Nyatanya ia juga cacat sama sepertiku, tapi dia tampak menghadapi hidup ini dengan santai, melihatnya aku justru malu dengan diri sendiri.

"kamu gak sendiri Ryan, liatlah aku...! kita bisa mengusahakan cara terbaik untuk keterbatasan kita, mana yang gak memungkinkan... jangan dipaksakan, pasti ada cara lain yang bisa kita lakukan." Kenzo tersenyum.

Kenzo bisa datang ke rumahku, bahkan membawa dua orang bersamanya, dia benar-benar mandiri, tapi dia berbeda, dia tak lumpuh sepertiku ini.

"tapi lo lebih beruntung Ken, lo bisa bawa mobil sendiri untuk keluar rumah, gue bener-bener gak bisa menggerakkan kaki gue," kataku sambil tersenyum pahit padanya.

"eh gak usah khawatir Bang... aku pernah liat ada mobil yang settingan tangan gitu, gak perlu pake kaki," ujar pacar Kenzo.

"masa?" tanyanku tak percaya.

"pacar Kenzo ini memang tahu banyak ya? Salut Bapak," puji Pak Boby.

Mbak Asih datang membawakan teh hangat dan beberapa toples cookies.

Aku melirik pacar Kenzo, oh siapa namanya tadi? Dita! Iya Dita. Aku melirik Dita, ia memancarkan tatapan bahagia pada Kenzo, mereka benar-benar jatuh cinta satu sama lain.

"lo juga beruntung punya pacar seperti dia," kataku pada Kenzo.

"Bang... boleh nanya gak?" tiba-tiba Dita bertanya.

"apa?" tanyaku.

"Bang Ryan jomblo kan?" apa maksud pertanyaannya itu?

"hah... mana ada cewek yang mau dengan orang cacat seperti gue, lo salah nanya!" ujarku ketus.

"kalo aku kenalin sama temen aku, mau gak?" tanyanya tanpa basa-basi.

Cewek? Hah... siapa yang mau dengan orang sepertiku? Siapa?

"pasti ceweknya kurang waras!" kataku.

"oh... jadi Bang Ryan kira temen aku gila?" Dita tiba-tiba marah.

Apa yang baru saja kukatakan? Ryan tolol!

"Dita..." Kenzo mencoba menenangkan pacarnya.

"gak Bang, enak aja dia bilang Arumi kurang waras!" Dita membentakku.

"Arumi?" tanya Kenzo terkejut.

"iya!" jawab Dita.

"kok bisa Dit?" tanya Kenzo penasaran.

"Aru udah putus!" Dita masih menatapku dengan kesal.

"trus kenapa kamu mau comblangin dia sama Ryan?" Kenzo masih terlihat heran.

"waktu itu Aru bilang dia mau punya cowok yang disabilitas kayak Babang juga, makanya aku nanya tadi, tapi kalo kayak gini gak usah deh! Sayang aja sahabat aku yang baik kayak gitu dibilang gila sama dia!" Dita membuang muka.

"sorry Dita... gue salah tadi..." ujarku.

Dita tak menjawab.

"Dit..." bujuk Kenzo.

Dita kemudian menoleh padaku.

"lain kali mulut itu dijaga!" bentaknya.

"udah Dit... udah..." Kenzo mencoba menenangkan pacarnya.

"gue minta maaf Dita... tapi lo gak usah nyombaling gue sama temen lo itu, dia pasti nyesel kenal gue nanti." Kataku.

"ah... jadi tentang komunitas ini gimana?" Pak Boby tiba-tiba mengalihkan pembicaraan kami.

"oh iya, kapan Ryan mampir ke sana? Biar ntar aku jemput ke sini," kata Kenzo.

"mungkin besok, gue kabari lo ntar," kataku.

"silahkan diminum," tawarku pada mereka. Aku bahkan lupa melakukan ini tadi.

"gimana perkembangan kasus itu Ryan?" tanya Kenzo.

Kemudian kami melanjutkan perbincangan tentang kasus yang membuatku harus menjadi cacat seperti ini. Tanpa disangka Dita ternyata juga ikut terseret dalam kasus ini, aku harap dia tak mendapatkan masalah apapun, jangan sampai dia menjadi sepertiku ini.

***

Penjelasan:

- Kolostomi: pembukaan di usus besar, atau prosedur pembedahan yang menciptakan lubang. Pembukaan dibentuk dengan menarik ujung usus besar yang sehat melalui sayatan di dinding anterior abdomen dan menjahitnya ke tempatnya.

Next chapter