webnovel

part 19

Qiandra terus diam di dalam mobilnya. Ia baru saja kembali dari persidangan. Hal yang membuatnya diam adalah fakta bahwa Albert dinyatakan tidak bersalah karena semua bukti yang dikumpulkan oleh para pengacaranya. Ia berpikir sidang pertama pasti tak akan semudah ini. Dalam otaknya terlintas pemikiran bahwa Ezell pasti membiarkan ini, ia yakin jika Ezell benar-benar ingin Albert dipenjara maka ia pasti akan melakukan banyak hal.

Mobil Qiandra berhenti di parkiran sebuah gedung mewah, ia keluar dari mobilnya dan melangkah menuju ke pintu masuk gedung itu.

"Robert!" Qiandra mempercepat langkahnya menuju ke pria yang berdiri dengan kepala menghadap ke arahnya. "Dimana kakakku?"

"Tuan berada di ruangannya."

"Dia tidak sedang memiliki tamu, kan?"

"Tidak."

"Baiklah. Aku akan menemuinya kalau begitu."

"Jangan memanggil Tuan dengan sebutan kakak. Dia tak pernah mengharapkan anda jadi adiknya. Terlalu banyak resiko jika anda memanggilnya dengan panggilan itu." Robert mengingatkan Qiandra untuk kebaikan Qiandra sendiri. Ezell bisa saja meledakan kemarahannya, yang Robert pikirkan adalah Qiandra harus mencari aman. Jangan memancing kemarahan Ezell.

"Aku mengerti." Qiandra tersenyum kecil.

"Lantai 16."

"Terimakasih." Qiandra melangkah menuju ke lift. Menekan tombol angka dan lift mulai membawanya naik.

Pintu lift terbuka.

"Nona Qiandra?" Seorang wanita berpakaian rapi dengan rok selutut bertanya setelah Qiandra keluar dari lift.

"Ya."

"Mari saya antar ke ruangan Pak Ezell."

Qiandra menebak jika wanita ini sudah dihubungi oleh Robert terlebih dahulu.

Qiandra melangkah bersama dengan wanita itu, langkahnya berhenti ketika wanita tadi berhenti di depan sebuah pintu.

"Ini ruangannya, Nona."

"Ah, ya, terimakasih." Qiandra memberikan senyuman ramah.

Wanita itu membalas senyuman Qiandra, ia tak tahu siapa Qiandra tapi jika Robert sudah bicara maka jelas wanita ini cukup penting. Sejauh ini sekretaris Ezell hanya menerima Celinna sebagai tamu Ezell yang bukan dari rekan bisnis, dan sekarang ditambah dengan Qiandra. Otaknya mulai berpikir, jika mungkin saja Qiandra adalah wanita seperti Celinna. Ah, beruntung sekali, wanita ini merasa iri. Sudah sekian tahun ia bekerja dengan Ezell tapi ia tak dilirik oleh Ezell sama sekali. Ezell begitu profesional terhadapnya, bahkan untuk senyumpun pria itu sangat jarang.

Qiandra memegang handle pintu, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Matanya menemukan Ezell sedang memeriksa berkas. Kacamata baca terlihat bertengger di wajah tegas Ezell. Serius seperti biasanya.

Sadar ada yang datang, Ezell menegakan kepalanya, "Apa yang kau lakukan disini?"

Qiandra mendekat ke Ezell, tak ada ketakutan sama sekali di matanya, "Terimakasih untuk tidak memenjarakan Daddy."

Ezell mendengus, "Jangan berterimakasih. Niatku bukan membebaskannya tapi untuk membuatnya dan Deane menangis darah." Ezell tak ada niat membebaskan Albert, sudah ia katakan Albert akan bebas jika ia tidak bersalah. Ezell hanya memberikan efek takut pada Deane, ia memberikan sedikit demi sedikit tekanan pada Deanne. Dia hanya ingin Deanne menderita. Dan karena itulah Ezell tak menerima kata terimakasih dari Qiandra.

"Jika kau memang mau melakukan itu, kau pasti akan memenjarakannya."

"Hukumannya bukan dipenjara, Qiandra. Dia tidak melakukan kejahatan yang melanggar hukum mengenai bisnisnya. Dia akan mendapatkan hukuman yang lebih menyakitkan dari penjara."

Qiandra memandangi Ezell seksama, pria ini serius dengan kata-katanya, tapi seperti ia yang telah salah menyangka Ezell akan melakukan segala cara untuk memenjarakan Albert, ia juga berharap bahwa yang ia pikirkan juga akan salah. Qiandra berharap, semoga masih tersisa sedikit kasih sayang di hati Ezell.

"Aku percaya kau masih punya hati, Ezell."

Ezell tertawa kecil, "Seingatku kau begitu membenciku, dan dari semua kebencian itu kau tak pernah menganggap aku punya hati."

"Kau hanya seorang anak yang mencintai ibunya. Kau masih punya hati karena kau sangat mencintai ibumu." Qiandra bersuara lembut. Senyuman terlihat di wajahnya, untuk pertama kalinya ia benar-benar tersenyum tulus pada Ezell. Sebuah senyuman yang tak pernah ia tunjukan sebelumnya.

Ezell tak tahu apa yang salah dengan Qiandra hari ini, tapi senyuman itu akan secepatnya memudar ketika Qiandra melihat apa yang akan ia lakukan pada Albert dan Deanne. Jelas saja apa yang dia lakukan akan digolongkan dalam kata-kata tak punya hati. Ezell bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju ke Qiandra yang berdiri dengan jarak 2 meter dari meja kerjanya.

"Dan kepercayaanmu itu akan hancur berkeping-keping. Tak akan ada yang berhenti ketika Deanne masih dengan tak tahu malunya hidup bahagia setelah kematian Mommy." Bisikan itu terdengar begitu menyeramkan. Sebuah janji yang pasti akan ditepati oleh Ezell.

Qiandra memiringkan wajahnya, tersenyum lagi pada Ezell, "Aku tak pernah salah mempercayai orang."

Ezell benci keyakinan Qiandra, apakah seperti ini sosok asli seorang Qiandra? Begitu mudahkah melupakan penyiksaan yang telah ia berikan selama ini? Bagaimana bisa ia tersenyum dan memberikan kepercayaan, entahlah, Ezell tak begitu mengerti. Atau mungkin tekanan yang ia berikan pada Qiandra membuat wanita ini jadi seperti ini? Tidak mungkin, ia yakin Qiandra tak selemah itu.

Ezell menarik tangan Qiandra, menyeret wanita itu ke sofa. Sudah jelas apa yang akan terjadi setelahnya. Tak peduli itu dimana, Ezell bisa melampiaskan nafsunya dimanapun.

"Pegang kata-katamu dan aku akan dengan senang hati menunjukan bahwa kau telah salah."

Qiandra tak punya alasan kenapa ia percaya, hanya saja ia ingin mempercayai bahwa Ezell masih memiliki hati.

♥♥

Qiandra mendatangi makam Elizabeth. Ini pertama kalinya ia mendatangi makam itu. Qiandra merasa tak pantas berada disana tapi ia ingin mengunjungi makam wanita yang telah terluka karena ibunya. Bukan untuk mengolok kematian Elizabeth, tapi untuk meminta maaf. Ia tahu bahwa meminta maaf sampai menangis darahpun tak akan mengembalikan Elizabeth, tapi ia ingin menyampaikan penyesalan, penyesalan karena membela ibunya yang telah salah. Terlepas Deane ibunya, ia adalah seorang wanita. Ia mengerti tak dibenarkan seorang wanita merebut milik orang lain dan bahagia diatas kematian orang lain.

Mata Qiandra menatap makam Elizabeth, sosok wanita yang tak pernah ia temui dikala hidup. Ia hanya melihat Elizabeth dari video yang waktu itu ia lihat. Sosok wanita hangat, lembut dan cantik. Senyuman Elizabeth di video itu bahkan masih Qiandra ingat. Begitu cantik dan menenangkan. Namun kala itu ia menangis, ia menangis karena senyuman itu membuat dadanya diremas keras. Seperti saat ini misalnya, dadanya kembali diremas kuat. Membuat matanya ingin mengalirkan air mata.

"Maaf bila kedatanganku tak anda harapkan, Bibi." Qiandra menelan pahit ludahnya sendiri, "Aku tidak akan mewakili ibuku untuk meminta maaf pada anda. Aku datang kesini untuk meminta maaf atas diriku sendiri. Maaf karena aku menikmati hidupku setelah kematianmu. Maaf karena bahagia di atas penderitaan putramu. Maaf karena tak tahu diri menginginkan kasih sayang seorang ayah dan membuat seorang anak menjadi jauh dengan ayahnya. Maafkan aku, Bibi. Maafkan aku." Air matanya tak bisa ditahan lagi. Benar-benar terjatuh ketika ia begitu menyadari bahwa kebahagiaan yang ia rasakan dulu ia dapatkan dari merusak kebahagiaan orang lain.

"Aku tahu penyesalanku terlambat, Bibi. Aku benar-benar menyadari bahwa aku seorang yang sangat egois. Aku bahkan membela ibuku yang sama egoisnya denganku. Dan sekarang aku juga tidak bisa meminta ibuku berpisah dengan Daddy. Aku tak bisa melakukannya meski aku sadar itu salah, Bibi." Qiandra tak berdaya jika itu masalah hati Deane dan Albert. Qiandra tahu, satu-satunya cara meredakan kemarahan Ezell adalah perpisahan dua orang itu. Tapi itu tidak mungkin terjadi karena baik Albert maupun Deane tak mau berpisah.

"Bibi dilangit pasti melihat, di dunia ini yang lebih dicintai oleh Daddy adalah Bibi. Semuanya memang terlambat disadari oleh Daddy. Ketika bibi tiada, dia hanya hidup dengan tujuan tak ingin Ibu berakhir seperti Bibi. Apapun yang Daddy lakukan memang salah, tapi ketahuilah bahwa dia menyesal dan menderita karena kehilangan Bibi. Dia mati di dalam karena penyesalan." Qiandra merasa bahwa yang terjadi pada Albert perlu ia ceritakan pada Elizabeth. Meskipun penyesalan itu terlambat tapi tetap saja Albert menyesal. Ia sadar telah melakukan kesalahan dan menerima akibatnya sendiri.

"Mulai saat ini aku akan sering mengunjungi Bibi. Aku akan datang agar bibi tidak kesepian disini. Bantu aku mengurangi rasa bersalahku, Bibi." Mata Qiandra terlihat tersiksa. Jelas ia benar-benar merasa bersalah saat ini.

tbc

Next chapter