Ezell selesai dengan tubuh Qiandra, ia mengancingkan kembali celananya. Matanya menatap Qiandra yang tergolek di atas sofa dengan pakaian yang sudah terkoyak.
"Kau mengatakan kematian Mommyku adalah takdir, kan?" Ezell berjongkok di depan Qiandra. Saat ini ia seperti seorang psikopat, membelai rambut Qiandra dengan pelan, "Maka yang sedang terjadi saat ini adalah takdirmu. JIka bukan takdirmu maka kau tak akan mengalami ini. Jika ada yang ingin kau salahkan maka salahkan saja tadkir. Takdir yang membuatmu menjadi anak dari pelacur itu. Nikmati takdirmu, Qiandra, nikmati pahit hidup ini hingga kau tak merasakan pahit itu lagi."
"Bukan takdir yang salah, Ezell. Tapi pilihanmu yang salah." Qiandra menjawab tanpa nada, "Jika kau memilih berdamai maka aku tak akan berakhir seperti ini. Kau hanya terlalu takut berdamai dengan keadaan. Kau tidak bisa menerima kematian Mommymu. Kau hanya pengecut yang mendendam. Kau tak akan pernah bahagia selama hidupmu karena hatimu yang tak bisa memaafkan itu."
Ezell tersenyum kecil, "Aku tak pernah merasa pilihanku salah, Qiandra. Ada jenis kesalahan yang bisa dimaafkan dan yang tak bisa dimaafkan. Aku memang telah kehilangan kebahagiaanku, Qiandra. Penyebab kehilangan itu kau tahu sendiri." Mata Ezell menunjukan bahwa tak ada lagi sinar kebahagiaan di hidupnya. Semua telah tiada, semua telah pergi bersama dengan tewasnya sang ibu.
"Persiapkan dirimu. Akan ada banyak masalah yang harus kau selesaikan dari sekarang. Aku tak akan berhenti dari jalanku dan aku tak akan menghalangi jalanmu. Kita lihat sejauh mana kau bisa bertahan." Ezell bangkit dari posisi jongkoknya. "Tapi ingatlah ini, jangan lupakan bahwa kau milikku. Tak ada yang boleh menyentuh tubuhmu dan kau tak boleh tidak pulang ke rumah ini."
"Terus saja siksa aku, Ezell. Siksa aku sampai kau benar-benar puas."
Ezell mendengar nada putus asa itu, ia tak menjawab ucapan Qiandra, ia meraih ponselnya dan melangkah meninggalkan Qiandra.
Terpuruk sendirian, kenapa semua ini harus terjadi padanya? Qiandra mulai mempertanyakan hal ini. Pada siapa ia harus meluapkan kemarahannya?
"Aku tidak bisa menyerah sekarang. Aku tidak bisa."
♥♥
Qiandra sibuk, ia benar-benar sibuk hari ini. Para pemegang saham mengadakan rapat dadakan, sebagai wakil ayahnya tentu dirinya yang maju menghadapi semua permasalahan perusahaan. Kepalanya ingin pecah tapi ia bertahan, mengatakan janjji-janji yang ia pikir bisa menenangkan para pemegang saham tapi menenangkan pemegang saham yang takut kehilangan uang mereka bukanlah hal yang mudah. Terbukti Qiandra tak bisa berpikir lagi sekarang. Ia terduduk di ruang rapat dengan Aysha di belakangnya.
Kerugian yang ditanggung perusahaannya amat besar, client yang bekerja sama dengan perusahaannya sudah bersiap untuk beralih ke perusahaan lain.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Aysha?"
"Kita membutuhkan banyak uang, Bu. Kita bisa menyewa tempat produksi lain tapi saat ini yang jadi masalah adalah dana kita sudah menipis."
Belum satu minggu perusahaan ini berada dalam masalah tapi uang sudah menipis dengan cepat.
"Kita juga tidak bisa mengajukan pinjaman pada bank karena perusahaan kita sedang bermasalah."
Qiandra bisa mendapatkan uang, ia bisa menggunakan keahliannya dalam komputer dan jaringan untuk mendapatkannya tapi menggunakan cara itu bukanlah hal yang benar. Pinjaman, ia butuh pinjaman, tapi pada siapa ia meminjam. Beverly? Ketuanya memiliki cukup uang tapi itu tak akan cukup untuk menutupi krisis perusahaannya saat ini. Dealova? Dealova juga sama, Bryssa? Bahkan Bryssa telah mengalami hal yang tengah terjadi padanya saat ini.
"Aku tidak bisa menerima semua ini, Aysha. Aku tidak bisa terima." Qiandra mengurut keningnya yang berdenyut pening. Ia benar-benar tak tahu harus melalui jalan mana sekarang. Masalah yang Ezell timbulkan membuatnya tak bisa berkutik lagi, dari berbagai arah Ezell menekannya. Membuatnya stress dan nyaris putus asa. Jika saja ia bisa menyerah maka ia akan menyerah tapi ia harus berusaha untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya.
"Aku butuh udara segar. Aku pergi, Aysha." Qiandra bangkit dari tempat duduknya. Ia meraih tas dan kunci mobilnya. Di saat seperti ini ia tak oleh tertekan. Ia harus mencari udara segar agar bisa berpikir dengan jernih.
Sampai di sebuah taman, Qiandra duduk. Ia menatap luasnya danau buatan di depannya. Menarik nafas dalam lalu menghembuskannya pelan, ia lakukan berulang-ulang agar sesak di dadanya menghilang.
"Mencari pencerahan di tempat ini, Qian?"
Nyaris saja Qiandra meloncat dari tempat duduknya. Ia menghela nafasnya, bagaimana bisa ada Ezell di tempat ini. Dari sekian luasnya tempat ini kenapa harus ada Ezell di tempat ini. Apa tidak cukup ia melihat Ezell di kediaman Ezell saja. Kepalanya sedang pusing sekarang, dan Ezell datang pasti ingin menambah sakit kepalanya. Ezell memang luar biasa dalam membuat hancur suasana hati Qiandra yang saat ini sudah hancur.
"Kau mengikutiku?!"
Ezell tersenyum tipis, "Aku hanya ingin melihat lebih dekat wajah menderitamu, Qiandra." Ia sudah benar-benar seperti orang sakit jiwa.
"Kau sudah melakukannya, Ezell. Kau bisa melihatnya lagi nanti saat aku pulang." Qiandra sudah kehabisan tenaga berdebat dengan Ezell. Pada akhirnya dia juga yang kalah. Ezell tahu benar cara menyiksanya.
"Aku perlu mengingatkanmu, Qian. Saat ini bukan saatnya kau bersantai. Perusahaanmu sedang berada di ujung tanduk. Kau harusnya bertindak bukan menghirup udara segar disini sementara ayahmu sedang berada di dalam rumah sakit dan ibumu yang tak bisa apa-apa itu hanya menemani Daddymu."
"Kau adalah dalangnya, Ezell. Kau yang membuat semua jadi seperti ini. Jangan bersikap seolah kau tak bersalah sama sekali!"
"Aku melakukan apa yang pernah kalian lakukan padaku. Bersikap seakan kalian tak salah sama sekali." Ezell menyunggingkan senyuman sinisnya, "Pergilah keliling dunia untuk mencari bantuan, aku akan menutup kemungkinan untuk kau meminta bantuan. Berusahalah lebih keras, Qian. Dan akan menyenangkan melihatmu hancur karena usaha kerasmu tak bisa menghasilkan apapun."
Darah Qiandra mendidih, ia selalu dituntut untuk sabar ketika berhadapan dengan Ezell. Jika ia meledak maka Ezell akan menghancurkan segalanya. Kunci dari menghadapi Ezell adalah dengan sabar dan jangan lemah. Hanya itu.
"Aku harap suatu hari nanti kau tak akan menyesal telah melakukan ini, Ezell."
"Tak akan menyesal, Qian. Aku tak akan pernah menyesal. Aku akan menyesal jika aku tidak melakukan ini pada kalian."
Qiandra berdiri dari duduknya, ia tak menemukan udara segar disini, yang ada hatinya semakin panas saja.
"Sudah mendapatkan ide, hm?" Ezell menghentikan Qian yang hendak melangkah. "Aku bisa membantumu mengenai dana, jika kau mau, Qian."
Dan Qiandra tahu bantuan itu tak akan menyenangkan. Ezell tak akan sebaik itu mau membantunya.
"Aku memiliki beberapa kolega pemilik banyak uang. Jika kau mau melayani mereka semua maka aku akan memberikanmu dana yang kau butuhkan." See, bantuan dari Ezell luar biasa membantu.
"Aku bukan pelacur, Ezell."
"Tapi kau putri pelacur."
"Ibuku bukan seorang pelacur."
"Ah, bukan. Dia hanya perusak rumah tangga orang, perebut suami orang, dia lebih rendah dari pelacur, kan?"
"Hentikan, Ezell!" Akhirnya Qiandra terpancing juga.
"Kenapa? Apa aku salah?"
Qiandra memilih mengabaikan Ezell, biarlah ia memendam kesal dalam dadanya. Ia melangkah pergi meninggalkan Ezell.
Ezell yang tadi tersenyum mengejek kini memasang wajah tenangnya, ia memandangi danau di depannya. Mata itu terlihat sangat tenang namun tak terbaca sama sekali. Entah apa yang dipikirkan olehnya saat ini.
♥♥
Qiandra mengunjungi rumah sakit. Sudah hampir seminggu ia menghadapi permasalahan perusahaan yang tak kunjung usai.
"Pagi, Dad." Qiandra menyapa ayahnya.
"Pagi, Nak." Albert membalas sapaan Qiandra, "Menyerahlah saja, Nak."
"Apa maksud Daddy?"
"Ezell, dia keras kepala, dia tidak akan berhenti sebelum perusahaan benar-benar hancur. Usahamu tak akan membuahkan hasil, koneksi yang Ezell miliki melebihi koneksi yang kita milikki."
"Tapi, Dad."
"Tidak apa-apa. Tak ada yang bisa kita lakukan lagi. Menyelamatkan perusahaan itu sudah tidak mungkin lagi."
"Apa yang mau Daddy lakukan setelah ini?"
"Entahlah. Daddy juga bingung. Harga yang harus Daddy bayar untuk kesalahan Daddy di masalalu adalah ini. Dihancurkan oleh putra Daddy sendiri." Albert tersenyum pahit. Ia tak pernah membayangkan dalam hidupnya jika ia akan hancur karena putranya sendiri. Dan kini Albert menyadari jika ia telah melakukan kesalahan, tapi ketika ia sadar ia sudah tidak bisa lagi memperbaiki kesalahannya. Kebencian Ezell sudah mendarah daging, mungkin meski ia mati, Ezell pasti akan tetap membencinya. Albert tahu itu bukan salah Ezell karena membencinya, ini adalah salahnya, salahnya yang menduakan cinta sang istri. Salahnya yang membawa wanita lain ke dalam kehidupan pernikahan mereka.
Andai saja dulu ia tak melakukan kesalahan maka ia tak akan pernah berakhir seperti ini. Ia bisa bersama dengan Elizabeth dan putranya. Jangan tanya Albert menyesal atau tidak, dari matanyapun semua orang akan tahu jika ia menyesali pilihannya. Ia telah membuat Elizabeth bunuh diri, wanita lembut yang hatinya seputih salju itu memang sangat sempurna. Setelah kematian Elizabeth, Albert sangat menyadari jika ia telah kehilangan separuh jiwanya. Harus ia akui, ia pincang tanpa Elizabeth tapi ia harus tetap kuat karena ia memiliki wanita lain yang harus ia jaga agar tak berakhir seperti Elizabeth. Cinta Albert pada Elizabeth tak bisa digantikan oleh wanita manapun. Nyatanya ia mencintai Elizabeth lebih besar dari istrinya yang sekarang. Dulu ia terlalu buta, buta untuk melihat siapa sebenarnya yang sangat ia cintai. Tapi sekarang tak ada gunanya lagi menyesal, ia hanya akan menyakiti hati seorang wanita lagi. Ia sudah melakukan kesalahan dulu dan ia tak ingin melakukan kesalahan lagi. Ia sudah kehilangan satu wanita dan ia tak ingin kehilangan wanita lainnya meski kenyataannya adalah wanita ini tidak terlalu membekas dihatinya.
Sejujurnya tak perlu Ezell menyiksa Albert, saat ini ia sudah tersiksa sendiri karena penyesalan yang menggerogoti jiwanya hingga ia mengidap penyakit serius. Albert tak memikirkan dirinya sendiri karena memikirkan kenapa ia bisa melakukan kesalahan yang begitu besar. Jika tak memikirkan Ezell mungkin dia akan mengakhiri hidupnya, menyusul sang cinta yang telah ia sakiti. Tapi, sekali lagi, ia tak mungkin membuat Ezell menderita dua kali, ia tak mungkin menanamkan kesedihan yang mendalam, menciptakan sebuah kenangan buruk kedua orangtua mati bunuh diri pada kenangan hidup Ezell.
Albert lebih memilih dibenci daripada harus menambah pedih hati putranya. Hanya saja ia sudah tak tahan lagi. Ia tak bisa memperhatikan anaknya dari jauh lagi. Dulu ia selalu mendekap tubuh Ezell ketika putranya hendak tidur tapi karena kesalahannya, jangankan untuk mendekap, melihat dari jarak dekat saja ia sudah tak diizinkan oleh Ezell.
"Harusnya kita tidak berada dalam posisi seperti ini, kan, Dad?" Qiandra bertanya pelan.
"Semua salah Daddy, Qiandra. Jika Daddy memegang teguh kesetian Daddy pada Mommy Eliza maka hasilnya tak akan seperti ini. Kau tidak akan menderita, Ezell tak akan menderita dan Daddy tak akan kehilangan Mommy Eliza." Albert bersuara putus asa.
"Daddy masih mencintai Mommy Eliza?"
"Cinta itu masih ada sampai sekarang, Qian." Rasa sesak itu terasa lagi. Penderitaan yang Albert rasakan karena kesalahannya sendiri benar-benar menyiksa. Air matanya memang tak mengalir, tapi percayalah siksaan itu lebih dari sekedar sakit. "Sudahlah, jangan membahas ini lagi. Mommymu akan terluka jika ia mendengar apa yang kita katakan. Daddy tak ingin melukai hati Mommymu."
Terkadang orang bisa salah memilih jalan, dan Qiandra melihat contoh nyatanya. Inilah hukum sebab dan akibat, menanam kepedihan maka akan menuai kepedihan yang lebih dari apa yang ia tanam.
Qiandra berhenti membahas masalah Elizabeth. Ia juga berhenti membahas masalah perusahaan. Jika ayahnya sudah merelakan maka ia tak bisa apa-apa lagi. Ia harus berhenti sekarang. Menyelamatkan perusahaan tidak mungkin baginya.
tbc