webnovel

Eksekusi Mati

"Selir Njoo, katakan sejujurnya apa motif anda membunuh permaisuri?"

Selir Njoo hanya diam dan tidak bicara. Sejak ia berada di penjara bawah tanah, ia tak banyak bicara dan diam. Pakaian putih berlumur darah yang ia pakai pun tidak diganti.

"Jika kau bicara, mungkin kami bisa membantumu." bujuk seseorang pria degan pakakain lengkap.

Alih-alih menjawab, selir Njoo hanya diam dan tak bergeming sedikit pun. Jauh di dalam hatainya, ia tahu bahwa apa pun yang akan ia katakana, hukuman mati pasti telah menantinya.

Dalam keheningan, putri Siane tiba-tiba muncul. Ia menggunakan pakaian lengkap layaknya seorang ksatria wanita. Walau pun ia bukan putri mahkota, tapi Siane Yang adalah pemimpin utama dari semua pasukan wanita di kerjaan tersebut.

"Tuan Putri" , kepala penjara istana memberi salam hormat.

"Aku sudah mendengar semuanya, keluarkan wanita itu dari sana", semua yang hadir di ruangan itu terkejut.

"Tapi, kaisar mengingankan agar wanita ini tetap berada di sini."

Siane melihat lurus ke orang yang mendebatnya. "Bukankah dia telah banyak membunuh pelayan dan pengawal, tidak ada gunanya lagi ia di kurung di tempat ini. Bawa ia ke halaman istana."

Selesai mengucapkan perintah tersebut, putri yang terkenal karena kehebatannya dalam membunuh itu meninggalkan istana. Ia memerintahkan Jenderal Huo untuk mengumpulakn beberpa orang di halaman istana.

"Putri Sian, Jangan katakan kau ingin mengeksekusi Selir Njoo di hadapan kami semua."

Pertakaan kaisar terdengar mental begitu saja di telingan putri pertamanya. "Benar putriku, ku mohon jangan bunuh Selir Njoo, dengarkan ibumu ini."

Siane berhenti dan menoleh ke arah permaisuri. Ia berpakaian emas dengan rambut di atur ke atas.

"Putriku, aku tak ingin kau menjadi pembunuh. Tolong dengarkan ayahmu."

Melihat permaisuri merengek, putri Sian sama sekali tak bergeming. Diam-diam ia mengamat-amati wanita itu dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Bukankah ia membunuh banyak pelayan dan kasim? Aku akan membuatnya membayar kepada mereka semua."

Permaisuri menyerah dan dua orang pelayan di sininya mencoba menenangkannya. Kaisar berdiri dengan gagah ingin melihat apa yang putrinya ingin lakukan.

Tak berapa lama, sekelompok orang membawa seorang tawanan wanita berparas cantik dengan pakian putih kecoklatan. Mereka membawa wanita itu ke hadapan Kaisar dan putri Sian.

"Putri kau tak bisa membunuh tanpa bukti" kata Kaisar memperingatkan.

Seolah tak mendengar, putri Sian mengambil pedang dari tangan Jendral Huo. Ia mengarahkan pedang itu kepada Selir Njoo. Ia duduk bersila dan tak bergeming sedikit pun.

"Kau membunuh banyak pelayan, kasim dan pengawal. Bagimana perasaanmu?" tanya putri Sian mengawali pembicaraan mereka.

Diam, Permaisuri Njoo diam dan menunduk.

"Tolong, aku ingin muntah. Kepalaku pusing" rengek permaisuri. Dua pelayananya segera membantunya untuk duduk. Salah satu mengipas-kipaskan sarung tangan. Melihat hal ini, Putri Siane merasa sedikit jijik. Ia tak pernah tahu bahawa ibunya menjadi orang yang berlebihan.

Kembali ke Selir Njoo yang diam. Karena ia tak bergeming sedikit pun, Siane mengayukan pedang panjangnya dan menebas ke arah Njoo.

Semua orang beretriak. Para selir dan pelayan perempuan menutup mata mereka. diam-diam permasuri tertawa sangat tipis.

"Apa yang kau lakukan?" tanya wanita berbaju putih itu. Ia berdiri dan berusaha menutup aliran darah yang mengalir dari tangan putri.

"Tabib, Huo cepat panggil tabib!" katanya dengan sangat panik.

Melihat reaksi selir, kaisar menjadi bingung. Mungkinah seorang yang membunuh permaisuri menghawatirkan orang lain?

Melihat reaksi selir, permaisuri berlari menghampirinya. "Sian, apa kau baik-baik saja?"

"Cepat kalian berdua, tolong putri Siane."

Berbeda dengan reaksinya terhadap selir Njoo, Putri Sian mengarahkan pedang ke leher permaisuri.

"Jika kau masih ingin hidup, pergi dan menjauhlah dariku."

Semua yang hadir terbelalak melihat reaksi sang putri. Dia pasti sudah gila. Ia mengancam ibunya sendiri.

Tak peduli dengan apa yang terjadi, Putri Siane meminta pelayan menyingkirkan permasuri dan membawanya pergi dari hadapannya. Permaisuri terlihat takut dan sangt terpukul dari luar. Ia berlari menjuju istananya di iringi dua pelayan dan dua pengawal kerajaan. Dari dalam, ia diam-diam menyesal karena tak membunuh Putri Sian terlebih dahulu.

Ke khawatiran mulai timbul di dalam hatinya. Apakah putri Sian tidk terpengaruh sihir rupa yang taruh kepada permaisuri. Tentu tidak, tidak ada yang menyadari hal ini selain aku.

Berusaha tetap tenang dan percaya diri permaisuri diam-diam memanggil seorang anak buahnya.

"Katakan, apakah ada saksi selain kau saat aku berada di kolam teratai?"

Mendengar perntanyaan Sang Pemaisuri, pelayan setianya berdiri gemetar. Ia tahu benar jika sampai ada yang mendapati apa yang terjadi di kolam teratai maka nyawanya akan terancam.

"Tidak ada Yang Mulia, hanya saya satu-satunya saksi. Hamba yang memanggil semua orang untuk meminta bantuan. Hamba tibak berani berkhianat kepada Yang Mulia Selir"

Next chapter