Bi Ningsih merasa terkejut dengan kedatangan para pegawai pemerintah yang berseragam dinas tersebut secara mendadak. Pagi itu ia sedang membersihkan halaman seperti biasa setelah menyiapkan sarapan untuk ibu. Sementara, untuk sore ini, ibu dijadwalkan untuk bertemu dengan Dokter Eko lagi untuk mendiskusikan pengobatan terbaik untuk masalah ginjalnya.
"Selamat pagi, Bu. Apa Bu Lintang ada di rumah?" tanya Pak Lukman ramah sambil tersenyum. Sayang, senyum tersebut tak sampai ke matanya.
Bi Ningsih mengangguk dan mempersilakan para tamu tersebut untuk duduk di teras sementara ia lalu masuk dan memanggil Tante Lintang ke dalam rumah. Tak lama, datanglah Tante Lintang sambil setengah digandeng oleh Bi Ningsih dan beliau pun lalu menempati salah satu kursi kosong yang ada di teras depan. Wajahnya sedikit pucat dan dahinya mengerenyit. Pertanda kalau Tante Lintang tengah menahan rasa sakit yang amat perih di area pinggangnya. Tapi ia berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tampak tetap datar dan tegar di hdapan para tamunya ini.
Melihat kondisi Tante Lintang, Pak Lukman hanya bisa menghela nafas berat. Ia tak menyangka kalau saat ini Tante Lintang sedang berada dalam kondisi yang tidak baik. Ia pun sebenarnya agak malas untuk mengurus masalah Pasar Dukuh karena masih banyak pekerjaan lain di kantornya yang belum selesai. Hanya tekanan masyarakat yang sangat besarlah yang memaksanya untuk datang ke rumah ini.
"Maaf, mengganggu ibu pagi-pagi," kata Pak Lukman sopan.
Tante Lintang mengangguk singkat dengan senyum datar sambil bertanya, "Tidak apa-apa. Ada masalah apa ya, pak?"
Pertanyaan Tante Lintang sangat lugas dan tepat sasaran. Ia sama sekali bukan orang yang suka berbasa basi.
"Ada anggota masyarakat yang mengirim video ini kepada saya beberapa hari yang lalu. Saya hanya ingin mengkonfirmasi saja, apakah benar ini ibu yang melakukan hal ini?"
Pak Lukman lalu memutar video viral seputar kejadian di Pasar Dukuh saat Tante Lintang sedang mengusir Pak Said dan bagaimana suara memelasnya Pak Said saat itu. Saat menonton video tersebut, ekspresi Tante Lintang tetap datar dan tenang. Sama sekali tidak terbaca perasaannya oleh Pak Lukman yang sibuk mengamati raut wajah Tante Lintang.
Lalu, setelah beberapa menit, video tersebut pun berakhir.
Tante Lintang hanya berkomentar singkat, "Ya, itu aku."
Dalam sepersekian detik, suasana teras pun berubah. Udara terasa lebih berat dan menekan sekarang. Dibanding Pak Lukman, raut muka para ajudannya terlihat lebih gelap. Ekspresi jijik dan benci terlihat jelas di wajah mereka. Tapi mereka tidak berani mengatakan apapun pada Tante Lintang di hadapan Pak Lukman.
Pak Lukman menghela nafas berat sekali lagi. Dibandingkan dengan para pengelola pasar tradisional yang lain, kalau boleh jujur, Tante Lintang adalah favoritnya. Ia adalah orang yang jujur dan adil. Bahkan pendapatan bulanan yang disetorkan Tante Lintang kepadanya berjumlah dua kali lipat jika dibandingkan dengan pendapatan pasar-pasar yang lain. Ia merasa serba salah dan kikuk saat menghadapi situasi ini. Kalau boleh memilih, Pak Lukman ingin menutup matanya atas kasus ini. Apalagi keluarga Tante Lintang sudah bertanggung jawab untuk mengelola Pasar Dukuh selama puluhan tahun. Sayangnya, ia tidak punya pilihan tersebut kali ini.
"Saya harap peristiwa ini tidak terjadi lagi, Bu. Dinding pun punya mata dan telinga untuk melaporkan semua yang terjadi di dalam pasar. Kalau hal yang sama terulang kembali, saya terpaksa akan mencari orang untuk menggantikan posisi ibu di Pasar Dukuh…"
Tante Lintang hanya diam membisu saat mendengar kata-kata Pak Lukman. Ekspresi wajahnya tetap sama dan tak berubah. Sulit bagi Pak Lukman untuk menebak bagaimana perasaan Tante Lintang sekarang. Tapi ia merasa kalau kata-katanya sendiri sudah merupakan peringatan yang cukup keras. Para ajudannya pun sudah mendengarnya secara langsung. Itu sudah cukup, pikirnya. Tanpa banyak bicara lagi, setelah menenggak minuman teh manis hangat yang disajikan oleh Bu Ningsih, rombongan kecil itu pun pulang kembali.
Sepeninggal Pak Lukman dan teman-temannya, Tante Lintang bangkit berdiri dan beringsut pelan kembali masuk ke dalam kamarnya dibantu oleh Bu Ningsih.
...........................….
Sore itu, ibu memberitahuku kalau ia akan berjaga di rumah sakit dan menunggui Tante Lintang. Aku bersikap tak peduli dan hanya memasang earphone untuk pura-pura tidak mendengar suara ibu. Ibu hanya menghela nafas berat saat melihat sikapku tapi pada akhirnya beliau tetap berangkat juga ke rumah sakit.
Dalam diam, air mataku mulai menetes lagi. Api cemburu dan sakit hati berkobar di dalam dadaku. Dari dulu aku terbiasa untuk dimanjakan dan mendapat limpahan kasih sayang dari semua orang. Bahkan Kak Yanto selalu mengalah padaku, tapi kini posisiku di hati ibu sudah berubah. Ada Tante Lintang di sana. Merebut tahtaku yang sudah bertahun-tahun bertengger di posisi pertama. Aku merasa sangat kecewa saat itu.
Aku benci Tante Lintang!
..........................
TANTE LINTANG & IBU DWI ( RUMAH SAKIT)
"Dwi, kamu ga pulang aja? Kasihan Rika kamu tinggal-tinggal terus di rumah?" tanya Lintang khawatir padaku.
Aku menggeleng. "Rika sudah besar. Ia harus belajar untuk mengerti kalau ada saatnya aku tidak bisa selalu di sisinya. Kamu yang lebih perlu bantuanku sekarang." kataku tulus. Dari hasil diagnose terakhir, satu ginjal Lintang harus diangkat dan dokter juga harus melakukan beberapa tindakan lanjutan untuk mengambil batu dari kantung kemihnya.
Lintang dari dulu paling takut dengan rumah sakit. Bau obat-obatannya selalui menghantui dirinya saat ia terpaksa menunggui ayahnya yang menderita kanker prostat. Sampai kemudian ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya, Lintang ada di sana. Berteriak-teriak pilu memanggil nama ayahnya yang takkan pernah kembali lagi.
Ibunya pun menyusul ayahnya ke alam baka 10 tahun kemudian. Saat itu, Lintang baru saja lulus kuliah dan menikah dengan Sutanto, salah satu teman kampusnya dulu di Universitas Dwisakti. Dari hasil pernikahan mereka, Lintang memiliki seorang anak tunggal bernama Erik. Usianya sebaya dengan putra sulungku, Yanto.
"Aku takut, Dwi…" katanya sambil meremas tangan kananku yang senantiasa menggandengnya. Sementara matanya memandang langit-langit rumah sakit yang berwarna putih. Bau obat tercium sengit di sana,
Aku tersenyum dan mencoba menenangkannya. Persahabatan kami sudah teruji lama oleh Sang Waktu dan kini ikatan batin diantara kami hanya terasa semakin kuat setiap harinya. Dimulai dari kesedihanku saat ayah meninggalkan ibuku, Lintang ada di sana dan menguatkanku untuk tetap terus menopang ibu. Juga saat kedua orangtua Lintang meninggal, aku ada di sana. Juga saat kami menikah dengan pasangan masing-masing dan ketika pada akhirnya pasangan kami meninggalkan kami berdua karena dera penyakit, aku dan Lintang tetap saling menjaga satu sama lain. Ini adalah sebuah ikatan komitmen yang takkan pernah putus diantara kami.
"Janji ya? Nanti kalau kamu punya anak perempuan, kamu harus kasih nama Erika, trus kalau aku punya anak laki-laki, aku akan kasih nama Erik." kata Lintang dulu saat aku menjadi bridesmaidnya.
Aku hanya tertawa saja saat itu mendengar ide konyolnya. Begitu juga sebaliknya, kalau anak Lintang perempuan, namanya adalah Erika tapi kalau anakku laki-laki, namanya adalah Erik. Dan akhirnya itulah yang terjadi ketika Lintang melahirkan anak laki-laki semata tunggalnya, Erik, delapan belas tahun yang lalu.
Empat tahun kemudian, Erika lahir dari rahimku.
........................…..
Malam itu, aku pulang dengan tubuh letih. Anak-anak sudah tidur semua saat aku mengecek kamar mereka tapi Rika masih tidak mau bicara padaku. Biarlah…
Dokter Eko tadi mengatakan kalau operasi Lintang sudah berjalan dengan sukses. Saat itu ia masih tertidur di bawah pengaruh obat bius.
Aku akan menemuinya lagi besok pagi. Lagipula, kurasa besok adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya pada Rika. Tentang aku. Tentang Lintang. Tentang persahabatan kami. Rika harus tahu semuanya.
Aku tidur pulas malam itu dengan senyum di wajahku. Dalam pikiran naifku, aku berpikir kalau semuanya akan baik-baik saja besok.
........................
Dini hari, pukul 1 malam
Gemerisik langkah sekelompok orang yang mengendap-ngendap di area Pasar Dukuh tampak tidak kentara di tengah gelapnya malam. Wajah mereka tidak terlalu kelihatan jelas karena kurangnya penerangan lampu di area Pasar Dukuh. Satu hal yang pasti, tawa mereka terdengar seperti suara iblis dari neraka ketika sebagian dari orang-orang tak dikenal tersebut mulai menyiramkan minyak tanah secara merata ke area pasar dari jerigen –jerigen yang mereka bawa sebelumnya.
Lalu, setelah beberapa saat, salah satu dari mereka mulai mematik api dan menyalakan rokoknya. Warna api yang samar dan asap rokok perlahan menerangi wajah tua yang familiar tersebut. Itu adalah wajah yang sama saat mengaduh dan mengiba pada juragan Pasar Dukuh sebulan setengah sebelumnya. Itu adalah wajah sang korban dari keganasan Tante Lintang saat video tersebut tengah viral dan ditonton oleh banyak orang.
Sekarang, wajah yang sama menyeringai dengan penuh kemenangan saat jarinya dengan ringan melemparkan puntung rokoknya ke arah tumpahan minyak tanah. Dalam waktu yang sangat singkat, lidah api menyala merah dengan liarnya dan semakin lama semakin besar.
Sekelompok orang tersebut pun kembali mengendap-ngendap. Berlari pulang ke sarang mereka dalam senyapnya malam sementara nyala api terus bertambah besar seiring waktu