Setelah 4 hari Tante Lintang tidak muncul di Pasar Dukuh, suasana pasar masih terlihat normal dan lebih santai malah. Aku pribadi lebih suka suasana seperti ini. Tenang dan damai. Hanya disibukkan oleh aktivitas jual beli antar pedagang dan konsumen mereka saja. Tapi kemudian, setelah seminggu berikutnya, beberapa keanehan di dalam Pasar Dukuh mulai terjadi.
Beberapa los terlihat lebih kosong dan entah kenapa, menurut pandanganku, di bagian los sayuran dan daging, mulai terlihat lebih kotor dan kumuh. Belum lagi karena sekarang sering hujan besar, selokan di depan pasar mulai sering tergenang air. Memang belum sampai banjir dan memasuki area pasar, tapi kalau dibiarkan terus, bukan tidak mungkin kalau air selokan yang kotor dan bau tersebut akan segera memasuki dan membanjiri pasar. Kalau sudah begini, citra Pasar Dukuh sebagai salah satu pasar tradisional yang terkenal bersih dan nyaman pelan-pelan pasti akan mulai terkikis.
Ajudan Tante Lintang masih melakukan tugasnya seperti biasa yaitu menagih setoran harian kepada para pedagang sementara Tante Lintang sendiri dikabarkan masih belum sehat dan harus beristirahat di rumah. Ibuku mulai merasa cemas. Melihat keadaan pasar, melihat keadaan selokan depan, dan melihat perubahan pasar yang sedikit demi sedikit mulai terjadi ke arah yang buruk tapi beliau tidak bisa melakukan apa-apa. Sementara aku, hanya bisa berpikir positif saja, mudah-mudahan keadaan ini hanya berlangsung sementara dan tidak terjadi apapun yang akan mengakibatkan kerugian apapun bagi kami. Para pedagang.
Sayangnya, aku salah besar.
Sudah hampir dua minggu Tante Lintang absen dari kegiatan operasional pasar dan seperti riak air, masalah-masalah yang terjadi di dalam Pasar Dukuh, bukannya semakin mengecil tapi semakin lama semakin bertambah besar.
Sampah makin banyak dan menumpuk di dalam pasar maupun di selokan besar. Tukang sampah yang seharusnya bertugas dengan baik untuk menjaga kebersihan pasar suka tiba-tiba menghilang entah ke mana. Aroma Pasar Dukuh mulai terasa tidak sedap dan bau. Sementara entah dari mana, ada gerombolan preman liar yang suka tiba-tiba datang di siang hari serta mengutip bayaran seenaknya dari para pedagang di Pasar Dukuh. Preman-preman ini seringkali berselisih paham dengan para preman di bawah asuhan Tante Lintang tapi untungnya tidak sampai ribut besar.
Pamor Tante Lintang masih bersinar di area Pasar Dukuh. Tapi mungkin tidak berlangsung lama. Perlahan, aku yang tadinya cuek-cuek saja juga mulai merasa cemas dan kuatir. Ibuku apalagi. Beliau malah sibuk berdoa siang malam agar Tante Lintang cepat diberikan kesembuhan dan datang kembali ke pasar seperti biasa untuk membereskan semua kekacauan ini.
Sorenya, kami lalu membahas masalah ini dengan kakak di rumah. Kata Kak Yanto, Pasar Dukuh itu memang terkenal sebagai salah satu pasar tradisional yang omzet hariannya paling besar diantara pasar-pasar tradisional di kota kami. Itulah yang menarik para preman liar di kota kami untuk datang dan mengutip bayaran seenaknya. Dulu, mereka sama sekali tidak berani datang karena mereka sangat takut pada Tante Lintang. Tapi sekarang, karena Tante Lintang tidak ada, mereka mulai berani menampakkan dirinya.
Ibuku hanya terdiam saja saat mendengar semua penjelasan kakak. Tak lama, ibu lalu berkata padaku, "Ka, besok tolong antar ibu ke rumah Tante Lintang ya?"
Ishhhh…. Entah kenapa badanu langsung kaku saat mendengar permintaan ibu. Tapi, karena itu permintaan ibuku, aku tak kuasa menolak dan hanya sanggup untuk mengangguk pelan.
Keesokkan harinya, los kami tutup setengah hari.
Lalu sambil berboncengan dengan sepedaku, aku dan ibu pergi ke rumah Tante Lintang sekali lagi. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di rumah besar tersebut. Bi Ningsih masih ada di sana dan sedang menyapu halaman rumah yang tertutup oleh dedaunan kering. Rumah itu tampak sepi tapi teduh seperti biasa.
Ibuku lalu menghampiri Bi Ningsih dan bertanya, "Ibunya ada, Bi?"
Segurat kesedihan lalu muncul di wajah tua Bi Ningsih, "Ibu lagi ke rumah sakit, Bu Dwi. Sudah dua minggu ini badannya tidak sehat. Makannya juga sedikit sekali. Sama bibi juga dipaksa makan tapi kata ibu, mulutnya pahit. Duh, bibi jadi takut ada apa-apa sama ibu…"
Mata Bi Ningsih tampak berkaca-kaca saat mengucapkan kata-kata tersebut. Ibuku hanya terdiam sambil kemudian memeluk Bi Ningsih untuk menenangkan beliau.
"Sudah tidak apa-apa, Bi. Mungkin hanya check up biasa saja."
Aku tahu, jauh di dalam hatinya, ibu pun merasakan kekhawatiran yang sama tapi rasa itu dipendamnya juga.
Tak lama, ibu lalu mengajakku pulang ke pasar. Di sepanjang perjalanan menuju pasar, aku hanya bisa termenung saja. Memang keberadaan Tante Lintang menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi kami. Para pedagang. Tapi setidaknya dibawah rasa ketakutan tersebut, anehnya, kami juga merasa aman dan terlindungi.
Kami tidak pernah merasa tiba-tiba harus takut atas berbagai pungutan liar yang tak jelas atau pusing memikirkan keadaan los kami yang suka mendadak banjir seperti pasar-pasar tradisional lainnya. Kehadiran Tante Lintang yang dominan seakan memberikan jaminan kalau semuanya pasti akan baik-baik saja. Perlahan, walaupun kadang aku masih bingung antara perasaan kesalku terhadap beliau, aku sedikit-sedikit mulai memahami akan pentingnya atas peranan beliau di Pasar Dukuh. Beliau adalah predator dan penyeimbang Pasar Dukuh.
Beberapa hari kemudian, keadaan pasar bukannya makin membaik tapi tambah parah. Lalat hijau dan hitam mulai bermunculan di mana-mana. Tumpukan sampah semakin menggunung dan beberapa los mulai terkena genangan banjir air selokan besar di depan. Para pengunjung yang datang mulai berkurang sedikit demi sedikit karena keadaan Pasar Dukuh yang terasa sama dengan pasar-pasar lain. Kumuh dan bau. Suasana pasar tak lagi hidup dan menyenangkan seperti semula. Para pedagang mulai mengeluh. Aku juga. Omzet jualan kami mulai menurun secara bertahap.
Lebih parahnya lagi, gerombolan preman yang datang sekarang-sekarang ini semakin banyak. Tidak hanya satu atau dua kelompok, malah bisa sampai tiga atau empat kelompok. Dan kelompok-kelompok preman ini sudah mulai berani menggencet kelompok preman yang berada dalam asuhan Tante Lintang. Mereka jelas kalah jumlah.
Tapi kelompok preman Bang Dirman, Solihin dan Bajo tidak mau menyerah begitu saja. Tepat pada waktu siang hari, ketika kelompok preman asing itu kembali untuk mengambil pungutan liar dan dihadang oleh kelompok preman Pak Solihin di dalam pasar, kami semua sudah pasang ekspresi ngeri dan beberapa pedagang malah sudah membereskan los-los dagangan mereka cepat-cepat.
Suasana semakin panas dan kelihatannya, dalam waktu beberapa menit lagi, pasti akan ada perkelahian besar di tengah pasar. Aku dan ibu juga sudah bersiap-siap untuk menutup lapak kami pada saat itu ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan nyaring dari arah pintu masuk pasar!!
Serentak, kami semua lupa akan rasa takut kami.
Itu suara Tante Lintang!!!
Seperti melihat setan, saat melihat kehadiran Tante Lintang, gerombolan preman asing itu langsung bergegas membubarkan diri dan kabur ke arah pintu keluar. Para tukang sampah juga tiba-tiba langsung ingat pada kewajiban mereka dan cepat-cepat membereskan timbunan sampah yang menggunung di dalam pasar dan selokan. Dalam sekejab, semua masalah yang menumpuk dalam waktu 2 minggu langsung selesai dengan kehadiran sosok beliau!!
Aku lalu menoleh ke arah ibu yang sedang menatap ke arah sosok Tante Lintang seperti menatap kehadiran Dewa Penyelamat. Begitu kuat, dominan, dan mempesona….
Sayangnya, hal tersebut tidak berlangsung lama.
Tante Lintang lalu memasuki Pasar Dukuh tapi kemudian badannya limbung ke samping. Untungnya, Bang Solihin dan Bang Bajo langsung refleks menangkap tubuh Tante Lintang sebelum benar –benar jatuh ke lantai.
Tatapan mata beliau masih sama seperti sebelumnya. Tajam dan menusuk. Tapi ada rasa sakit yang mendera di sana. Keningnya berkerut untuk menahan rasa sakit yang menyiksa serta ada butiran-butiran keringat sebesar biji jagung yang berjatuhan tanpa henti dari kening beliau. Tubuh gempalnya tampak lemas dan tak bertenaga seperti biasanya.
Melihat keadaannya, ibu langsung bergerak cepat untuk memanggil becak dan menyerahkan lapak kepadaku. Sementara aku hanya bisa mengangguk dan memberikan isyarat "Ok" dengan tanganku.
Dalam waktu sesingkat mungkin, ibu, Tante Lintang, Bang Solihin dan Bang Bajo sudah menghilang dari pasar. Hanya Bang Dirman yang masih bersiaga di dalam pasar untuk memantau keadaan.
Aku lalu menghembuskan nafas yang sedari tadi kutahan. Adegan hari ini terlalu menegangkan sampai aku lupa bernafas. Pyuhh…
Aku hanya bisa berdoa dalam hati…. semoga keadaan Tante Lintang baik-baik saja…