Cerita seorang nyonya bos sebuah pasar tradisional di kota besar yang sangat disegani dan dibenci oleh para penyewa los-nya karena sikap diktator dan karakternya yang sangat menyebalkan. Akan tetapi, ternyata hasil akhirnya tidak seperti yang disangka sebelumnya. Nyonya bos itu ternyata adalah...
"Erikaaaaa….bangunnnn!!!"
Suara ibu terdengar cukup menggelegar bagiku pagi itu. Sontak aku langsung bangun dan mengucek-ngucek mata sebentar karena masih mengantuk. Semalam, aku keasyikan main Mobile Legend sampai pukul 3 pagi dan lupa kalau hari ini aku harus menemani ibu berdagang di pasar karena sekolah sudah mulai libur.
"Ughhhhh…"
Dengan malas aku berusaha untuk menyeret tubuhku sendiri ke kamar mandi. Mataku masih terasa berat sekali tapi karena aku satu-satunya anak yang ada di rumah, jadi mau tidak mau aku terpaksa harus membantu ibu berdagang hari ini di pasar dan mengumpulkan helaian rupiah demi kelangsungan tungku dapur rumah kami.
Oia, maaf… aku lupa mempernalkan diri. Namaku Erika Savitri. Saat ini aku duduk di kelas delapan dan sudah berusia 14 tahun. Hobiku sama seperti anak-anak lainnya yaitu bermain online games bahkan sampai lupa waktu…haha! Dan biasanya kalau sudah begitu ibuku akan langsung marah-marah sambil mengancam untuk menyita telepon genggamku kalau aku tidak mau membantunya mengerjakan pekerjaan rumah atau jualan di pasar. Hiyyyy… serammm…
Nah, kalau kakakku, Kak Yanto, usianya sudah 18 tahun dan ia baru saja lulus dari SMK tahun ini. Ia juga sekarang membuka bengkel kecil-kecilan bersama dengan temannya di area dekat sekolahnya dulu. Saat ini, pelanggannya memang belum banyak tapi kakak, ibu dan aku optimis kalau kita mau berusaha, Tuhan pasti akan membukakan jalan yang terbaik untuk kita!
Wah, sudah jam 8 pagi!
Aku cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh tubuh sekenanya dengan air dingin. Byurrr…. Dinginnya air langsung membuat mataku yang tadinya mengantuk langsung terjaga secara instan! Pantas kalau mau ke sekolah, kita wajib mandi dulu, kalau tidak, kayaknya ruangan kelas akan berubah jadi tempat tidur kedua untukku. Hehe…
............…..
Pukul 09.00.
Suasana Pasar Dukuh sudah ramai oleh transaksi jual beli. Semua pedagang sudah bersiaga di posnya masing-masing sementara ibuku dan aku juga sudah siap di los kami. Sejak ayah meninggal karena kanker paru-paru lima tahun yang lalu, otomatis ibu langsung berubah menjadi tulang punggung keluarga. Beruntungnya, ibu memiliki kenalan yang bisa membantunya mendapatkan lapak untuk berjualan bumbu-bumbu dapur di sini dan sejak itu, tungku dapur kembali bisa mengepul dan kami berdua bisa tetap bersekolah.
Pasar Dukuh sendiri merupakan salah satu pasar tertua di kota kami. Tapi dibandingkan dengan pasar-pasar tradisional lainnya yang kumuh dan bau, Pasar Dukuh sangat bersih, rapih, dan nyaman sehingga intensitas konsumen yang berbelanja di Pasar Dukuh jumlahnya selalu meningkat setiap bulannya. Omzet los kami pun cukup bagus dan stabil. Memang ada juga beberapa lapak lain yang berjualan bumbu dapur seperti los kami, tapi untungnya, ibu sudah memiliki beberapa langganan tetap. Beberapa malah pelanggan besar yang memiliki usaha catering dan restoran sehingga kami tidak pernah mengalami rugi malah untung yang cukup besar setiap harinya.
Sebenarnya aku sama sekali tidak pernah mengeluh tentang kondisi keluarga kami yang tidak sebaik saat dulu ayah belum meninggal. Malah kami bertiga selalu merasa bersyukur akan situasi kami sekarang. Hanya saja…..
GUNGGG!! GUNGGGG!!! GUNGGG!!
Bunyi sebuah gong kecil yang dipukul tiga kali keras-keras segera menyadarkan kami. Aku yang sedang memegang lembar daftar bahan-bahan bumbu yang dijual segera membalikkan badan sementara ibu yang sedang melayani konsumen, langsung menegang.
Di arah pintu masuk, berdiri beberapa sosok yang sudah sangat familiar bagi kami. Para pedagang Pasar Dukuh. Itu Bu Lintang dan para anak buahnya. Bang Dirman, Bang Solihin, dan Bang Bajo. Ketiganya adalah pegawal setia sekaligus ajudan Bu Lintang yang terkenal sebagai bos mafia preman Pasar Dukuh.
Sosoknya sendiri bisa dibilang sama sekali tidak menyenangkan. Alih-alih bersikap ramah, ia berwajah galak dengan tubuh gempalnya. Mulutnya sama sekali tidak pernah tersenyum dan matanya yang tajam seringkali mengawasi kami dengan waspada. Seakan-akan kami semua adalah hewan buruan dan bukan penyewa lapaknya. Auranya sangat dominan dan menekan. Ia rajin sekali datang ke Pasar Dukuh. Sehari dua kali. Pagi dan sore. Tujuannya?
Tentu saja untuk mengutip komisi harian dari para penyewa los Pasar Dukuh sebanyak 20% dari omzet harian. Jika para penyewa tidak membayar di hari itu, besok paginya ia akan menagih jatah hari kemarin sementara untuk sorenya, ia akan menagih komisi penjualan di hari itu.
Aku memiliki julukan khusus untuknya. Peri Jahat.
Kakakku malah memberi julukan lebih parah lagi. Raja Setan.
"Koq raja, kak?" protesku ketika kami sibuk membicarakan tentang Tante Lintang di suatu sore.
"Raja kan untuk laki-laki?"
"Iya, Tante Lintang itu ga ada cantik-cantiknya. Jadi raja aja. Kalau ratu kan biar setan masih ada manis-manisnya gitu. Inget sinetron Si Manis Jembatan Ancol ga? Biar dia setan, masih enak dilihat kan?" balas kakakku dengan jahil. Sedetik berikutnya, sebuah sandal jepit mendarat di kepalanya dengan sukses dari belakang. Wah, rupanya ibu kami yang melempar sandal itu!
"Ngomongin orang tua… ga sopan tau? Kualat kalian nanti…!!" omel ibuku gusar sambil memasak makan malam sementara kami berdua tertawa terpingkal-pingkal.
Tapi serius deh. Aku benar-benar benci dengan Tante Lintang!!
Sikapnya selalu judes dan tak ramah padahal kami kan sumber penghasilan beliau. Ughhh…
Seperti pagi ini, begitu kedatangannya, semua penyewa langsung berdiri tegak. Termasuk ibuku. Lalu kami semua harus setengah menundukkan tubuh sebagai tanda hormat kepada beliau sementara beliau berkeliling pasar untuk inspeksi kebersihan dan mengambil jatah setoran hariannya. Tidak ada seorang pun yang berani melawan atau protes kepada beliau. Bahkan ibuku yang terkenal cerewet saja, sangat sungkan pada Tante Lintang.
Astaga! Efek magis apa yang dimiliki oleh tante satu ini? Mengapa semua orang begitu tunduk dan hormat padanya walaupun sebenarnya kami merasa diperlakukan tak adil olehnya?
Mungkin ilmu ini yang harus aku pelajari dari beliau.
Tante Lintang lalu mulai berjalan menyusuri lorong demi lorong dan mengamati setiap los dengan sangat teliti. Setiap los yang terlihat tidak bersih dan rapi langsung dimarahi di tempat dan biasanya yang bernasib seperti itu adalah los-los bagian sayuran dan daging. Sementara los kami, untungnya, selalu lolos dari cercaan beliau.
Yah, untuk masalah kebersihan, ibuku memang jagoannya. Ia paling bawel untuk masalah ini!
Ada sekitar 300 los di Pasar Dukuh yang diinspeksi setiap hari oleh Tante Lintang dan kelihatannya hari itu, jumlah setoran yang sudah diambil oleh beliau cukup banyak. Terbukti dari raut wajahnya yang cerah saat menerima gepokan berlembar-lembar uang dari para pedagang dan langsung memasukkannya ke dalam tas pinggangnya yang sudah lusuh.
Setelah kurang lebih 2 jam, Tante Lintang selesai inspeksi seluruh area pasar dan meninggalkan lokasi Pasar Dukuh dengan para pengawalnya.
Sepeninggalnya, suasana pasar kembali normal. Para pedagang dan pembeli kembali sibuk dengan transaksinya masing seperti tidak terjadi apapun. Ibu kembali melayani pembali dan aku kembali mengecek sisa stok bumbu dari hasil penjualan kemarin. Tapi, siapa yang menyangka kalau esok harinya terjadi sebuah kehebohan besar?