webnovel

7

Sore harinya, Hinata baru menyadari dia telah ketiduran di perpustakaan, seseorang membangunkannya, anak kelas dua yang mendapatkan jadwal untuk menjaga perpustakaan. Hinata harus melewatkan pelajaran setelah istirahat jam makan siang, karena badannya lelah, dia tidak bisa berpikir dengan jernih, perutnya pun merasa begitu teraduk karena cemas menyerang bertubi-tubi.

Hari ini dia libur bekerja, dia tidak perlu khawatir untuk pergi ke luar, ketegangan masih merayap di punggungnya, mungkin dia terlihat baik-baik saja, tapi sebenarnya merasa begitu takut akan ketahuan, tersangka pembunuhan masih berkeliaran bebas.

Namun ketika sore hari, saat dia kembali membuka situs berita yang menampilkan pembunuhan atau tindak kriminal, tidak ada apa pun, bahkan saat dia mencari di mesin pencarian, kasus pembunuh selalu dibahas paling utama jika menyangkut distrik merah, tetapi Hinata tidak menemukannya.

Tidak ada, tidak ada, di mana pun tidak ada.

Hinata merasakan keganjalan, atau mungkin pria itu tidak mati? Pria itu masih hidup. Naruto Uzumaki saja yang salah memeriksa, jika pria itu sudah meninggal.

Mungkinkah, laki-laki itu masih ada di sekolah?

Hinata keluar dari perpustakaan dengan berlari. Kalau perpustakaan padat dan dipenuhi orang-orang untuk membaca buku, dengan pasti dia tidak bakal berani melakukannya.

Gadis itu menyusuri lorong dengan napas yang cepat membuatnya sesak. Pasokan oksigen menghilang, keringat pun bercucuran. Sore menjelang, matahari telah membias membentuk bayangannya di setiap lantai koridor.

Di mana laki-laki itu? Apakah tidak masuk?

Naruto sering kali tidak masuk, lebih tepatnya suka membolos. Tapi tak masalah, kalau saat kelas satu saja, laki-laki itu telah menjadi donatur tetap. Kekayaannya melimpah, anak-anak lain dibuat takjub. Belum lagi tahun ini, mereka akan pergi ke Hokkaido untuk liburan bersama di musim dingin, dan Naruto yang bakal mengakomodasi, satu kabin pesawat bakal dikuasai oleh anak-anak SMA dari sekolah ini, juga beberapa bus, seragam olahraga, tempat menginap, dan mungkin dengan seluruh apa yang dibutuhkan mereka semua.

Hinata mencari laki-laki itu di kelas mereka dulu, dan yang benar saja, Naruto sudah duduk di meja guru memandangi sore hari dengan sinar yang semakin meredup, langit pun makin berubah menjadi keungu-unguan.

Mengatur napas, Hinata masuk ke kelas, menutupi apa tujuannya, ia lebih senang jika pemuda itu berpikir jika Hinata kelelahan karena ketiduran dan anak-anak lain sudah pulang. Namun baru empat langkah, Naru mengeluarkan suaranya. "Kau menemukan berita laki-laki itu?"

Dingin menjalar ke punggungnya sampai ke kepalanya, membuat Hinata hampir diserang pusing. Padahal sikapnya tadi malam hingga pagi tidak terkuasai oleh ketakutan, tapi ketika Naru berbicara, itu artinya ada saksi mata, dan dia tidak bisa tenang-tenang saja.

Hinata membalikkan badan, berusaha bersikap dingin dan apa adanya seperti biasa, tapi itu semua sangat sulit, beberapa detik kemudian dia diserang apa saja yang membuatnya ingin jatuh.

Naru kemudian turun dari meja guru, mendekati Hinata yang juga melangkah maju. "Anggap apa yang aku lakukan sebagai ucapan terima kasih karena kau menolongku saat hari hujan itu."

"Kau melakukan sesuatu padanya?"

"Tidak mudah sebenarnya, tapi kami berhasil membuang mayat tersebut ke tempat semestinya."

Hinata sedikit dibuat lega, berarti tidak akan ada media yang bakal meliput dirinya, ibunya tidak akan menangis karena telah menyesali apa yang terjadi pada anak-anaknya. "Tapi apakah benar itu setimpal?" Hinata menelan ludah. "Tugas itu tidak mudah untuk anak SMA seukuran kita."

"Kau punya uang."

"Aku punya segalanya," Naru seolah membeberkan kenyataan. "Aku ingin kau mendengarkan apa yang aku inginkan darimu."

"Aku tidak punya apa-apa."

"Kau memilikinya."

"Aku tidak mengerti."

"Kau harusnya mengerti," pemuda itu melangkah semakin mendekat, tangan Hinata mengepal, tapi dia tidak akan membuat keributan. Keamanan sekolah sebentar lagi akan berpatroli, memastikan anak-anak di sekolah ini sudah pulang ke rumah masing-masing. "Kau bisa menjadi milikku—ya, aku tidak akan memaksamu. Kau bisa memikirkannya sedikit demi sedikit apakah itu tawaran terbaik atau bukan. Aku bakal berikan alamatku kepadamu, datanglah padaku kapan pun, barangkali aku menjadi satu-satunya orang yang dapat menolongmu dari kehidupan yang tidak pernah adil menurutmu."

"Benar," kata Hinata, sembari menunduk dia meredakan emosinya. "Itu memang benar."