Siapa yang bersuara?!
Tidak mungkin itu Jimin. Tidak!
Saat aku berbalik, apa yang di hadapan membuatku tercengang. Dia, Susi?! Eh, maksudku, Suga?!
"Lama tidak berjumpa, Sayang." Pria itu mengedipkan sebelah matanya, aku bergidik, menjijikkan sekali!
"Karena kau sudah mengetahuinya, mari kita tuntaskan sekarang," seringai mengerikan ada di wajah putih mulusnya, tangannya yang bahkan terlihat lebih halus dari pantat bayi terulur, menjangkau pundakku, tapi sebelum itu tangan lain menarikku menjauh, membuatku berada di posisi belakang punggung nan kokoh.
/Untuk kali ini saja, biarkan dia jadi milikku, Kak./
Walau rasa mual masih menggelayut akibat ruangan penuh darah tadi, tapi desir hangat saat Jimin mengisyaratkan bahwa aku miliknya membuat kupu-kupu terbang di perutku.
Tunggu ....
"Kak?!"
Di seberang sana, Suga makin menaikkan sudut bibirnya, terlihat puas dengan keterkejutanku. "Kupikir idiot ini sudah membicarakan itu denganmu," tawa jahanamnya menggema di lorong, "Oh, aku lupa dia tidak bisa bicara," makin lebar bahaknya.
Tidak bisa diterima! Tidak ada yang boleh menghina Jiminku!
"Kalau punya mulut tuh dijaga, jangan dilepasin kalau masih liar aja omongannya." Ups! Cara bicaraku yang lama muncul, maklum sedang kesal.
Wajah pria itu memerah menahan marah. Aku tidak takut! Aku sudah biasa menghadapi amarah ayahku saat kaos kaki beliau kusembunyikan, ia tidak akan melebihi seramnya ayahku yang kolot sekali itu, kan?
Namun benteng pertahananku langsung runtuh saat melihat tubuh pria yang kusayang terhempas ke dinding. "Jimin!" Bahkan sebelum aku bergerak, Suga telah mendapatkan rambutku, menjabaknya tanpa ampun, dan membuatku terseret bersamanya ke ruangan yang dibanjiri anyir tersebut. Tidak! Jangan bilang ....
Gemerisik besi berkarat dari alat-alat jagal tidak layak pakai terdengar saat ragaku dilempar biadab ke tembok. Suga dan langkah mengintimidasinya mendekat, mataku segera bergerak liar mencari pertahanan. Baik, gunakan saja pisau kekuningan itu.
"Hyat!" Sedikit oleng awalnya, tapi aku berhasil berdiri tegak. Dan kurasa murkanya malah makin menggelegak.
"Hentikan tindakanmu ini, atau kau akan mendapat kesakitan yang lebih dari seharusnya!"
Kami beradu pandang, sama-sama tajam, satu penuh ancaman, yang lain sarat perlawanan. "Coba saja hentikan aku."
Tak!
Aw!
Kuusap pergelangan tangan yang baru saja ditendangnya, membuat satu-satunya perlindunganku terlempar jauh ke sisi lain ruangan. Sial!
"Jangan mendekat!"
Pria itu menghiraukan peringatanku Jarak kami makin terkikis karena langkahnya, bibir merah muda tersebut melengkung menantang. "Coba saja hentikan aku."
Ctar!
Tubuhku langsung terkesiap, Suga memecut dinding tepat di sampingku dengan cambuk dari belakang tubuhnya. Apa ia membawa cambuk itu dimana-mana?!
"Aku tidak main-main, Sayang. Menurut, dan hal ini tidak akan terlalu sakit." Tawa gilanya membahana. "Mungkin hanya memgeluarkan sedikit organmu untuk keuntunganku, kemudian wajah cantikmu akan terpajang indah di sini. Bayangkan, indah bukan?"
Tidak akan! "Mimpi saja kau!"
Kegarangannya kembali. Cambuk besarnya terangkat tinggi, berefek pada jantungku yang berdebar tanpa henti. Detik berikutnya tangan putih itu terayun kuat.
Tidak!
Ctar!
Rintihan keluar dari mulut. Perlahan kubuka mataku yang tertutup, napas hangat menerpa wajah, dekat sekali. Hal pertama yang kulihat adalah raut kesakitan Jimin.
Panik! Buru-buru kuperiksa belakang tubuhnya, robek lebar menganga pada kemeja, kulitnya kemerahan dengan titik-titik darah. Tidak!
"Hentikan!"
"Hal itu pantas untuk pengkhianat sepertinya. Aku menculikmu bukan untuk djadikan mainan oleh idiot ini." Nada dinginnya bahkan membekukan pergerakanku.
Diculik olehnya? Kupikir ....
Air mata menggenang di manik bening favoritku. Entah kenapa aku bisa merasakan rasa perih itu sendiri di punggungku, dengan tambahan sesak di dada. "Ssst, tenang," apa aku bisa mengatakan hal seperti itu jika aku sendiri bergetar melihatnya? Kuelus perlahan pipinya.
Ctar!
Kuat dan lemah secara bersamaan saat tangannya mengenggam telapakku, mencari kekuatan. Tidak ....
"Kubilang hentikan!"
Berhasil! Suga membuang cambuk laknatnya.Namun apa yang kusaksikan malah memperuruk keadaan. Pisau sebeaar lengan ada di genggaman.
"Kau gila!?" Aku memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Jimin untuk menghentikan ketidakwarasan Suga. Namun dekapannya makin erat padaku.
Peristiwa selanjutnya bergerak begitu cepat.
Parang itu teracung-acung tinggi dengan mengancam, aku masih berusaha bebas, dan saat pisau besar tersebut terayun, tubuhku yang telah merdeka berjuang menerjang lawan, tapi tangan lain menyingkirkanku dari lintasan kematian. Dug! Pusing hebat menyerang saat benturan kepalaku dengan meja jagal itu terjadi. Pandangan seketika buram. Titik-titik gelap mulai menyeretku ke dalam ketidaksadaran. Darah yang terciprat adalah hal terakhir yang kurasakan sebelum hitam mutlak membawaku pingsan.
***
Tik! Tik! Tik!
Aduh, sakit!
Rintik-rintik hujan kurang ajar mengganggu tidurku. Eh, tunggu ... hujan?
Sakit kepala yang luar biasa mendera saat tiba-tiba aku terlonjak bangun. Butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa aku tertidur di tengah hutan. Loh, hutan?!
Apa yang terjadi? Bagaimana bisa aku di sini? Dan kenapa tubuhku penuh lumuran darah?!
Jdar!
Petir menyambar ganas. Derasnya rinai seketika membuat kuyup bajuku yang ternoda merah. Gelap, kebingungan, dan basah di tengah hutan bukanlah hal yang kuinginkan.
Kemudian atensiku teralih pada kertas yang terselip di tanganku. Saat kubuka, isinya adalah tulisan cakar ayam dari pena yang semakin luntur karena hujan.
"Aku membunuh kakakku. Dan aku tau kamu tidak akan menyukai pembunuh. Maaf untuk membiarkanmu terluka. Seharusnya kamu kabur saja sewaktu kuperbolehkan jalan-jalan. Maaf aku mencium pipimu saat tidak sadar, jika kamu hamil karena itu, tolong lahirkan dia dengan selamat walaupun kamu nanti membencinya, aku yang akan merawatnya.Dan jika dia perempuan akan kuberi nama dengan namamu.
Aku tidak akan mengganggumu lagi. Sepertinya kamu tidak mau menjadi teman bermainku, kan?
Jimin."
Apa maksudnya surat ini? Juga ... siapa Jimin?
Tamat.