18 TRITIK

Klaten,

"Mbak Rei, ayo sarapan."

Wajah imut Rintis muncul dari balik pintu yang terbuka 1/4.

Rei meninggalkan meja rias tempatnya bersolek. Semalam Rintis jemput Rei di Angkringan Lek Man. Sekalian minum kopi arang bareng Dahan.

Agenda keliling Yogyakarta bagi Rei sudah tuntas. Kopi arang jadi traktiran sekaligus rasa terima kasih Rei untuk Dahan yang menampungnya selama beberapa hari di kosan. Sekarang Rei pindah kamar. Menginap sebentar di rumah Rintis karena ada rencana ke Solo.

Bisa saja menginap di Solo, tapi Rei tidak punya kerabat dekat. Ada rumah Bapaknya Sin sebenarnya. Tapi kan tidak enak menumpang di sana tanpa Sin. Lagipula Rintis janji mau temani Rei ke Laweyan dan Kauman, Solo.

Pagi-pagi Rintis mengingatkan untuk cepat pergi. Takut kesiangan katanya. Jarak Klaten-Solo ya lumayan juga. Untuk ke Laweyan harus menyambung angkot dari Terminal.

Keluar pintu kamar, si lucu Risti yang berusia 4 tahun sedang main dengan Mbak Rilis—kakaknya Rintis yang lebih tua dua tahun. Di sebelahnya ada Riski dan Riska, adik Rintis yang siap-siap berangkat sekolah.

"Iih.... Risti kok hidungnya hilang?" Goda Riska yang sedang pakai kaus kaki. Hidung Risti memang pesek.

"Nanti kalau ada yang tanya begitu, Risti jawabnya begini: waktu pembagian hidung di surga, Risti datangnya telat, jadi gak kebagian."

Tak ayal lagi, kata-kata Mbak Rilis membuat Rei tertawa terbahak-bahak. Pagi-pagi sudah dihibur sampai garis senyum bikin retak bedak yang dipoles beberapa saat lalu.

Biar perut tak makin terkocok mendengar mereka, Rei beranjak ke dapur dan mengintip Bu Rustini, ibunya Rintis yang sedang masak di dapur.

"Ini namanya bayam goreng. Belum pernah lihat kan? Adanya ya di sini. Di Klaten. Pilih bayamnya yang besar. Terus masukkan ke tepung cair dan goreng. Dicoba, Mbak, enak loh ini."

Mengikuti anjuran Bu Rustini, Rei mencoba bayam goreng. Benar-benar enak. Satu toples bayam goreng yang masih panas Rei bawa ke meja makan. Ada Rintis yang sudah menyiapkan nasi dan merapikan bekas makan adik-adiknya.

Sarapan yang lumayan berat. Nasi, bayam goreng, ayam goreng dan sayur sop. Rintis bilang Rei harus makan banyak biar punya tenaga untuk menyusuri Laweyan. Gangnya agak panjang.

"Tis, ini ayamnya sebelum digoreng disuruh fitnes dulu ya?"

"Kenapa Mbak?"

"Lihat tuh! Berotot gini. Gak bisa dikunyah."

Rintis mendekatkan mulutnya ke telinga Rei seakan berbisik.

"Mbak, hidup ayam di sini keras."

Hampir Rei tersedak mendengar jawaban ngaco Rintis. Ya, ayam goreng ini memang peliharaan Bapaknya Rintis yang dipotong dan digoreng Bu Rustini Subuh tadi.

Tak sanggup perang dengan daging ayam kampung, Rei menyerah. Dia dan Rintis meninggalkan rumah sebelum jam 9 pagi. Hanya jalan sebentar dan pasang mata-telinga menyeberangi jalan lintas kota. Dari situ naik bus menuju terminal. Sambung angkot dan sampailah di Kampung Batik Laweyan.

Satu gapura besar mengundang senyum lebar Rei. Tempat yang jadi impiannya. Mungkin bisa dibilang ini kampung batik paling tua. Kiprah Laweyan sudah diretas sejak jaman Kerajaan Panjang pada abad ke-16.

Lawe dalam bahasa Jawa berarti bahan sandang. Awalnya kampung ini memang dikenal sebagai pemasok kain, lalu berkembang menjadi kampung batik. Ada yang bilang kemahiran membatik diajarkan Ki Ageng Henis—yang berdakwah di Laweyan bersama Sunan Kalijaga.

Produksi batik di Kampung Batik Laweyan semakin meningkat semenjak ditemukannya teknologi batik cap. Penggunaan cap membuat proses produksi lebih cepat dan efesien, hanya saja hasilnya memang tidak sedetail batik tulis.

Ada banyak pendapat mengenai kapan ditemukannya teknologi cap untuk membatik. Ada yang mengatakan bahwa cap mulai digunakan kurang lebih tahun 1840, yang jelas sekitar tahun 1920-an, orang-orang telah mengetahui cara menggunakan cap untuk membatik.

Teknologi cap untuk membatik sangat membantu pengusaha batik dalam hal melayani pesanan dalam jumlah besar. Proses pembuatannya pun lebih cepat dan tidak terlalu banyak menggunakan tenaga manusia. Kehadiran batik cap menggeser pekerja perempuan—yang biasa mengerjakan batik tulis halus—dan digantikan pekerja lelaki yang lebih mahir menggunakan alat.

Lonjakan produksi batik dengan proses yang lebih singkat membuat lahir kelas sosial baru bernama saudagar batik. Kisah para saudagar batik ini pertama kali Rei baca dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

Seperti yang Arswendo tulis di novelnya, perempuan yang berkedudukan sebagai Mbok Mase (juragan perempuan) memegang peranan penting dalam produksi batik, sekaligus pemasaran di Pasar Klewer. Sedang Mas Nganten (juragan laki-laki) tetap berperan dalam mempertahankan status sosial dan negosiasi bisnis.

Dan, dari lorong-lorong inilah para saudagar batik Jawa bersatu membentuk Sarekat Dagang Islam (SDI). Didirikan oleh H. Samanhoedi (saudagar batik Laweyan), SDI mendapat dukungan penuh dari RM. Tirtoadisorjo—yang kiprahnya diabadikan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru Bumi Manusia.

Perkembangan SDI semakin pesat dengan bergabungnya HOS Tjokroaminoto—sang Raja Jawa tanpa mahkota yang juga saudagar batik. Ada yang bilang, kelahiran SDI dipicu adanya monopoli pedagang Cina dalam industri batik.

Sayang, kisah SDI yang berjuang memotong monopoli Eropa dan Cina mungkin hanya tersimpan dalam Richard Robinson di bukunya yang berjudul The Rise Of Capital.

Buku yang dilarang terbit pada masa Orde Baru ini dengan gamblang menuturkan kondisi perdagangan di Indonesia pada era kolonial. Menurutnya, sampai 1930-an, umumnya barang-barang manufaktur diimpor dari luar negeri atau dihasilkan di Indonesia berdasarkan produksi kecil di rumahan.

Pembuatan tenun, pintal, batik, mebel dan rokok kretek dilakukan dalam rumah tangga yang mendapatkan bahan baku dari saudagar dan hasilnya disetorkan kembali. Kain katun untuk membatik juga berasal dari pabrik di Eropa—yang menggeser kain tenun tradisional—dan sampai ke tangan para pembatik melalui perantara orang Cina.

Ketika terjadi peralihan dari pewarna alam ke pewarna sintetis, bahan pewarna juga didapatkan dari orang Cina. Sehingga ketika itu, dominasi keturunan Tionghoa dalam industri batik sangat besar.

Dengan sistem ini, kontrol terhadap industri tidak ditangan ribuan produsen rumah tangga yang bekerja berdasarkan pesanan, tetapi di tangan para pedagang yang mengimpor dan menyediakan bahan baku. Para pedagang ini menerima 50-70% pendapatan.

Para saudagar pribumi, terutama dalam industri batik di Jawa Tengah berhasil membentuk koperasi perdagangan yang menyingkirkan perantara orang Cina pada tahun 1920-an dan 1930-an dengan membeli langsung dari para importir.

Siapa mengira? Di balik keindahan kain yang sering diabaikan, batik pernah menjadi simbol perlawanan ekonomi rakyat. Semakin Rei selami, semakin gambar kapas di Sila Kedua Pancasila menari di benaknya.

Sungguh bukan tanpa maksud, para pendiri negeri ini menyematkan simbol kedaulatan sandang di dalam Dasar Negara Republik Indonesia. Ah, semakin jauh rasa ingin tahu menuntun langkah Rei. Menelisik cerita sehelai kain batik.

"Mbak, kita mau ke mana?"

Suara Rintis menyadarkan Rei yang sesaat terjebak pada beberapa tahun silam saat Laweyan menjadi pusat pergerakan SDI.

Rei hanya mengikuti langkah kakinya saja. Tanpa rencana dan informasi apapun. Masuk ke satu rumah yang menjual beragam kain batik. Tak banyak yang ditemukan di sini. Hanya beberapa batik cap yang sudah dipola untuk kemeja pria.

Masuk lagi ke rumah lain. Ada galeri kecil, tapi Rei belum menemukan yang dicari. Keluar lagi dan tampaklah satu bangunan yang sangat menarik hatinya. Rumah loji.

Saudagar batik Laweyan yang berjaya di awal abad 20 ikut mempercantik bangunan di kampung batik ini. Interaksi dengan Belanda membuat bangunan di Laweyan kala itu terpengaruh dengan gaya art deco.

Sebelum ditemukan teknologi cap, juragan batik memasok bahan dasar dan pembatik tulis membuat batik di rumah masing-masing, lalu mengumpulkan kembali hasilnya pada juragan untuk dijual.

Setelah kehadiran batik cap dan lahirnya saudagar batik, tempat produksi dibuat dekat dengan rumah saudagar. Sengaja rumah dibuat besar dengan tembok tinggi—yang dari luar tampak seperti benteng. Rumah ini selain jadi tempat tinggal berfungsi juga sebagai tempat membuat batik dan galeri untuk pemasaran.

Tampak beberapa orang perempuan tengah membuat batik tulis di ruang semi terbuka yang ada di lingkungan rumah loji. Sementara galeri untuk menjual batik ada beberapa meter di dekatnya.

Sejenak Rei mengagumi arsitektur rumah yang bergaya Eropa tapi juga dipenuhi furnitur khas Jawa. Satu orang pramuniaga meladeni Rei yang banyak tanya. Ada banyak kain yang menarik, seperti Sekar jagad.

Motifnya bermacam-macam. Ada yang bilang, Sekar berarti bunga, jadi ya bunga sejagad atau kumpulan banyak bunga. Ada yang bilang juga asalnya dari kata "kar" yang berarti peta. Bentuknya memang seperti pulau-pulau di peta dunia. Setiap "pulau" diisi motif klasik seperti truntum, parang, nitik atau kawung.

Tidak banyak berbeda dengan yang ada di Giriloyo. Paling menarik perhatian Rei tentu kain berwarna-warni yang biasa digunakan untuk kemben saat upacara siraman.

"Orang-orang bilang kain tritik atau jumputan Solo," ujar si pramuniaga.

Rei menatap kain jumputan warna-warni yang dibuat dengan teknik ikat celup. Istilah keren sekarang tie dye.

Sebelum istilah tie dye populer, jumputan dikenal di India dengan nama bandhana, di Jepang disebut shibori, Afrika mengenalnya dengan adire. Sedang di Indonesia, namanya bisa beda-beda. Di Sumatera disebut plangi, di Jawa dibilang tritik dan di Kalimantan dikenal dengan sasirangan.

Kain batik ataupun jumputan sama-sama melewati proses pencelupan warna untuk mendapat motif yang diinginkan. Bedanya, batik menggunakan perintang warna lilin malam untuk menutupi sebagian kain saat dicelup dalam warna tertentu. Jumputan mengandalkan teknik lipat dan ikat. Di Jawa, kain juga dijahit untuk mendapat motif garis dan titik. Teknik inilah yang disebut tritik.

Sentuhan lembut Rintis menyadarkan kalau sudah waktunya makan siang. Rei terlalu asik mengagumi kain dipajang di salah satu rumah loji. Ya, sayang sekali, tidak banyak rumah loji di Laweyan yang terawat dengan baik. Kejayaan saudagar batik Laweyan cukup lama redup.

Orde Baru dengan 1001 gagasan pembangunannya bukan hanya mengubah pakaian formal dari batik jadi safari, tapi juga mengizinkan peredaran batik printing/cetak. Keberadaan batik printing—yang lebih murah, cepat dan diproduksi secara masal—dengan mudah menggusur batik tulis dan cap.

Rumah loji kehilangan sinarnya. Sebab para saudagar batik lebih memilih keturunannya jadi pegawai saja. Usaha batik tulis dan cap tak lagi menjanjikan.

Kehadiran batik printing juga memindahkan produksi batik dari rumah loji ke pabrik—yang lebih banyak menggunakan mesin. Maka terciptalah satu golongan baru dalam industri batik: buruh pabrik.

Di rumah loji Kampung Batik Laweyan yang bersejarah, Rei merasa diseret-seret waktu bagai per yang lentur. Bentangan kain membebat pikirannya melintas dulu dan kini. Perjalanan masa lalu yang dihentikan gaung Adzan Zhuhur.

Dua pasang kaki meninggalkan Laweyan dan semua kisah yang melekat di tiap dinding rumah loji. Yang jatuh dari tiap tetes canting pembatik. Selamat tinggal istana para saudagar, tapak masih harus dipijak menuju kampung batik legendaris yang satunya lagi: Kauman. (Bersambung)

avataravatar
Next chapter