webnovel

34

Hinata terengah-engah, dan seolah dipaksa bangun dari tidurnya, karena tiba-tiba seseorang meninju perutnya cepat. Ia tidak punya pilihan untuk terbangun tepat pada pukul satu dini hari, sementara wajah Ino masih menghiasi setiap ingatannya. Mimpi itu terasa amat nyata. Ino terluka, wajahnya lebam, dan sangat begitu putus asa. Gadis itu tidak memiliki tujuan, sampai akhirnya melompat dari jembatan, bahkan jembatan itu tidak begitu asing bagi Hinata.

"Mungkinkah?" ia sama sekali tidak tahu apa ini salah satu teka-teki baru yang harus dipecahkan olehnya. Rumit sekali menghadapi masalah baru. Gadis itu melewati pagar jembatan dan sebentar lagi akan terjun bebas menuju deras dan dinginnya air sungai yang jernih. "Tidak mungkin."

Karena mimpinya kadang menjadi nyata, Hinata tidak banyak waktu untuk memikirkan apakah itu benar atau tidaknya, lantaran yang harus dilakukan olehnya segera turun dari kasur nyamannya, lalu bergegas pergi menuju ke jembatan yang berada di depan kompleks apartemennya. "Oh sial, tidak mungkin, gadis gila itu mencoba bunuh diri."

Neji masih nyaman tidur di atas kasur, mengunci kamarnya, mendengarkan musik klasik pengantar tidur. Ia tidak tahu kalau adiknya keluar dari kamarnya—lebih tepatnya keluar dari apartemen—sementara pendamping dan sopir pribadi tidur di unit apartemen sebelah mereka, dan keduanya tentu tidak pernah menyangka kalau mereka kehilangan tuan putri kecil mereka tepat dini hari ini.

Udara dingin menusuk pipi Hinata, yang akhirnya memerah. Matanya sembab karena embusan angin malam yang membuat kedua bola matanya seolah dijatuhi balok-balok es. Ia hanya mengenakan mantel kulit, kaus kaki tidur, lalu selop rumah, dan itu sangat tipis, bahkan kerikil kadang menancap pada sol tipis selop tersebut. Tidak terlalu sakit, Hinata mampu menahannya sedikit lagi untuk sampai ke jembatan di mana seharusnya Ino berada—di dalam mimpinya.

Kurang sepuluh meter lagi Hinata akan sampai di jembatan itu, dan dari tempatnya saat dirinya berhenti hanya untuk mengatur napas, Hinata menjumpai seorang gadis berambut pirang panjang memandang penuh harap pada sungai yang mengalir deras di bawahnya.

Ino yang selalu mengikat rambutnya rapi berbentuk ponytail, dengan pita berwarna merah kini menggerai rambutnya, piama titik-titik polka sangat lucu ketika dikenakan oleh gadis itu, warna pastel yang sangat manis, tapi bukan saatnya untuk memuji, apalagi meneliti penampilan Ino yang berbeda seperti saat berada di sekolah.

"Ino, apa yang kaulakukan?" selesai mengatur keadaannya yang serba bingung bahkan ketakutan, Hinata kembali mendekati Ino yang terdiam, seolah tidak ada yang menarik di sekitarnya selain sungai yang deras di bawahnya itu.

Udara entah mengapa mencekam, tidak ada orang lalu-lalang, bahkan kalau dipikir-pikir mengapa jam segini seseorang akan keluar rumah? Bukankah berada di dalam rumah mereka jauh lebih nyaman daripada berkeliaran entah ke mana. Toko kelontong yang biasanya buka 24 jam justru tutup karena kebijakan pemerintahan daerah setempat. Tidak ada orang yang dapat mencegah Ino, atau membantu Hinata untuk mengingatkan Ino betapa bahayanya sungai malam ini. Jujur saja, tenaga Hinata tidak banyak. Ia amat kelelahan malam ini.

Berhenti di tempat yang sekiranya tidak memancing emosi Ino—ya, dan semua orang tahu, semakin didekati atau mencegah dalam radius yang berbahaya, orang-orang yang berencana bunuh diri akan semakin memiliki ketertarikan untuk mati. Hinata tahu, dia harus berhenti di tempat yang sekiranya tidak memancing keinginan Ino mengakhiri hidupnya, dan dengan percaya pada dirinya sendiri, Hinata berbicara kembali. "Berhenti Ino, kau bisa ceritakan sesuatu seperti tadi sore, aku siap mendengarkanmu, kukira kafe yang kita datangi semua menunya sangat enak, aku berpikir akan ke sana lagi seusai pulang sekolah, tentu saja bersama denganmu."

"Tidak ada yang mendengarkan aku," Ino berbicara, suaranya seolah menaburi desis angin yang menusuk kulit wajah mereka. "Aku ingin seseorang mendengarkan betapa menderitanya diriku, tapi rasanya… aku… justru tidak ingin membuat mereka malah menanggung rasa sakitku."

"Aku sama-sekali tidak keberatan kalau kau menceritakan semuanya padaku," dengan gerakan yang terasa kaku karena sudah berada di sana hampir satu jam, Ino sulit memandang Hinata dengan jelas, tapi dia sangat senang kalau murid baru itu melihatnya penuh khawatir, bahkan ini pertama kalinya bagi Ino memiliki seorang teman seperti Hinata, yang terlihat benar-benar peduli padanya.

"Tidak akan ada yang berani melukaiku," kata Hinata sekali lagi. "Jadi ceritakan apa masalahmu. Apa kau ingin aku turun peringkat? Apa kau ingin aku pindah kelas saja?" Ino menggeleng, justru membuat Ino merasa bersalah dan tidak enak, tapi gadis pirang itu masih tersenyum. "Ino, kau tidak pernah memilih hal ini. Padahal yang kutahu, kau gigih, dan kau bilang kau tidak ingin menyerah pada rasa sakitmu, jadi kau tidak harus melakukan hal seperti sekarang, Ino."

Wajah Ino lebam, dan Hinata tahu bahwa Ino mendapatkan pukulan dari ayahnya soal peringkat, mungkin saja, atau karena masalah lain Hinata akan mencari tahu. "Ino, apa kau ingin tinggal bersamaku? Aku akan menyembunyikan dirimu dari ayahmu, agar orang itu tahu betapa menderitanya kehilangan anak satu-satunya. Aku bisa melakukannya untukmu," Ino justru menggelengkan kepala, air matanya mengalir deras seperti air sungai, lalu kembali memandang ke bawah, terjun ke sana lebih menarik pikirnya. "Ino, katakan sesuatu."

"Aku ingin mati, dan ingin membuat ayahku menyesal seumur hidupnya."

"Tidak!" Hinata berteriak lantang, menggema. "Kau tidak pantas memilih hal itu, sebaliknya kau lebih pantas hidup, kau gadis baik, kau bilang ingin setidaknya punya toko bunga sendiri, atau kau pergi ke Milan untuk menjadi desainer terbaik dari Jepang. Kau bisa melakukan hal itu Ino, kau berharga! Kau bisa melakukan apa yang kau inginkan!" satu langkah, dua langkah, Hinata mengambil langkah tersebut secara hati-hati dan berharap Ino tidak menyadari itu.

"Kemari Ino, ayo kita pergi ke rumahku, kau bisa membaca novel percintaan yang bagus di sana dan tidur satu ranjang denganku," tawar Hinata, meski dirinya amatlah tegang. "Dengar Ino, kita sudah berteman, kita sudah berbagi tawa tadi sore, dan menikmati setidaknya perjalanan kita sepulang sekolah."

Ino tiba-tiba berbalik, sepertinya akan menaiki pagar jembatan, dan Hinata merasa lega, tapi yang dilakukan gadis itu justru berucap, "Terima kasih, Hinata," kemudian menjatuhkan diri ke sungai di bawahnya.

Hinata berlari semampunya untuk meraih tangan Ino. Namun ia hanya mampu menggenggam jari telunjuk Ino, dan kekuatannya yang terkuras karena berlari tadi, tidak mampu menahan gadis itu untuk tidak benar-benar terjun. "Ino!" Ino menghilang, tertelan air sungai, dan mungkin terbawa arus dengan cepat.

Keamanan yang suka berpatroli terlambat datang. "Apa yang terjadi?" petugas mendatangi Hinata yang terduduk lemas dengan mata melotot karena kaget. "Hei, nak, kau tidak apa-apa?" dengan gerakan cepat, petugas tersebut menarik walkie talkie dan menghubungi pos penjagaan. "Ada seorang gadis terjun ke sungai deras, panggil bantuan segera, cepat!"

Petugas tersebut kembali mengarahkan perhatian ke Hinata yang masih lemas, dan membantu gadis itu untuk pindah tempat duduk. "Nak, kemari, kau duduk di sini, ayo tenangkan dirimu, kami akan menemukan temanmu."

"Ino, mengapa… mengapa kaulakukan hal ini," Hinata berlutut, lalu tersungkur dengan rasa sedih yang tidak dapat dibendung, dan kembali mengingatkannya pada sang paman beberapa tahun silam, telah mengorbankan dirinya sendiri demi sang Dewa Rubah.

Mengapa, ia harus menyaksikan kembali sesuatu yang tragis seperti ini. Dirinya yang tidak mampu melakukan apa pun demi menyelamatkan nyawa seseorang, dan kali ini adalah temannya. Hinata bahkan semakin berkeinginan untuk mengakhiri semua penderitaannya pula, seperti Ino yang melepaskan bebannya malam ini.

Next chapter