webnovel

12

Di lantai dua puluh empat di Peninsula, keluarga bangsawan itu sedang menikmati steik dan anggur tanpa alkohol, keduanya asyik saling bertukar cerita, walau lebih antusias si wanita berambut merah, ibu dari Naruto. "Suatu saat, aku pasti akan menjambak rambutnya, kalau aturan kerajaan tidak melarang itu, takutnya akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri."

Wanita itu menggerutu, kadang merasa senang, perasaannya pun nyaris seperti kereta yang dipacu dengan kecepatan tinggi.

Sepertinya sang ibu sedang berada dalam perasaan tak menentu. Naruto beranggapan dia tidak harusnya berada di sini. Mungkin setengah jam lagi dia bisa meninggalkan ayah dan ibunya, agar keduanya dapat bermalam bersama, agar perasaan ibunya lebih tenang. Mungkin saja, keduanya malu untuk mengumbar kemesrahan, karena situasi di mana anak mereka berada di satu meja.

Memikirkan cara agar bisa pulang terlebih dahulu, Naruto mulai merangkai kebohongan selagi dia melirik ke arah sang sopir, kini sedang menikmati air putih, juga kopi, mengaku telah makan malam terlebih dahulu tadi sebelum mengantar keluarga bangsawan itu ke Peninsula.

"Ibu, ayah, apakah aku boleh aku pulang duluan?"

Kushina melirik putranya, tampak terkejut. "Memang apa yang akan kaulakukan sesampainya di rumah? Kita jarang pergi makan malam bersama, setidaknya tetap berada di sini bersama kami sampai beberapa jam ke depan. Ibu bahkan belum mendengarkan permainan pianomu."

"Sebenarnya aku mengerti kondisinya," sang ibu memberengut, mengapa putranya malah keburu pergi, saat dirinya amat rindu kebersamaan mereka di meja makan? "Bisakah kalian malam ini bermalam saja di Peninsula? Kukira kalian berdua harus lebih intim untuk sesekali."

"Sayang, apa-apaan itu, kami selalu intim setiap saat."

"Maksudku, ya, kalian tahu, apa yang aku maksud, 'kan?"

"Apakah kau ingin seorang adik?" Kushina memandangi suaminya, memelotot kemudian. "Maksudnya, kau berpikir kami harus—" pria itu memandangi sang istri dan juga sang putra secara bergantian. "Kau tahu apa yang terjadi pada ibumu."

"Aku sama-sekali tidak meminta adik," sanggah Naruto, dia tidak mau dituduh meminta hal yang tidak-tidak, ia cukup senang menjadi anak tunggal. "Aku hanya ingin kalian bermalam di sini saja, seperti kebanyakan pengantin baru."

"Iya, kami tahu apa yang kau maksud," kata ibunya. "Kami harap makan malam kali ini tidak membuatmu jenuh, Sayangku."

"Tidak kok, bu. Ini menarik. Aku merindukan kalian."

"Lalu? Mengapa kau seolah menghindar dan memberikan alasan bahwa kami perlu berdua?"

"Ini sudah jam malam, bukankah tempat ini tutup pada pukul sepuluh?"

"Omong kosong," Kushina seolah mengumpat. "Kita bahkan bisa membuat tempat ini buka sampai pagi."

"Oke, baiklah," Naru berkata pasrah, dia harusnya jujur. "Aku perlu pergi ke suatu tempat, rasanya ini penting sekali."

"Oh, apakah ini sehubungan dengan tugas sekolahmu?"

"Ya, kurasa begitu."

Kushina melirik suaminya yang mengangguk untuk menyetujui, mereka tidak harus mencegah putra mereka untuk melakukan tugas-tugasnya, bukan? Lagi pula, putra kesayangan mereka tidak suka dimanja, dia sudah jadi laki-laki dewasa kini.

"Tenang, jangan berpikir buruk, aku tidak menganggap makan malam ini mengganggu, toh kita sudah merencanakan sejak dua minggu lalu, saat kalian mengabari bakal pulang ke Jepang, dan tidak akan menunda-nunda lagi."

Ayahnya menepuk punggung tangannya. "Pergilah, ajak Sakumo selalu bersamamu, oke?"

"Jangan khawatirkan apa pun, dia selalu berada di sisiku."

Akhirnya, dia bisa keluar dari Peninsula, tentu saja disetujui oleh kedua orangtuanya, dia pergi dan ditemani oleh asisten pribadinya yang selalu menyopiri kendaraannya, serta menjadi penjaga untuknya sejak masa kanak-kanak.

"Ke mana hari ini?" tanya pria tua berambut putih itu.

Sesudah duduk di kursinya dan mengencangkan sabuk pengaman, Naru menjawab, "Seperti biasa," meski penasaran, Sakumo tidak mencari tahu apa yang terjadi pada anak itu, mengapa setiap malam selalu ingin diantarkan ke Shibamata—bagi Tokyo, tempat itu deretan kota tua yang sangat menarik perhatian wisatawan, tidak menutup kemungkinan bagi orang lokal. Deretan rumah-rumah kayu, pertokoan, tempat-tempat barang antik memenuhi tempat tujuan mereka, yang terkenal dengan adanya patung Torajiro Kuruma, atau yang bisa disebut sebagai patung Futen no Tora.

Dalam perjalanan setengah jam itu Sakumo diserang rasa penasaran habis-habisan, tapi mungkin dia akan melupakan begitu saja keinginan dirinya untuk tahu tempat tujuan mereka, karena sesuatu yang bahkan kembali tak dipahami olehnya sendiri.

Mobil berhenti di tempat pemberhentian biasanya. Karena larangan untuk mengendarai mobil masuk ke gang pertokoan unik dan berkelok-kelok itu, tentu saja Sakumo terpaksa berada di pinggir jalan. Seperti kebiasaannya untuk datang mengantar ke tempat ini, dia tetap tidak diizinkan untuk pergi bersama.

"Sakumo, kau tunggu di sini saja," Sakumo buru-buru keluar, dan sebelum dapat menyela perkataan—meminta ikut misalnya, dan kali ini tidak ingin melewatkan itu, tiba-tiba mata Sakumo berubah menghitam, gelap, kosong, dan dingin, Sakumo kembali ke dalam mobil tanpa perlawanan dan duduk dengan nyaman di kursi kemudi. "Aku pergi dulu, hanya sebentar."

Next chapter