webnovel

TIE

"CARI KE SELURUH LINGKUNGAN SEKOLAH INI SEMUA!" Perintah Inspektur Johan pada seluruh perwira sekitar dengan walkie talkie. "Pembunuh itu ternyata masih disekitar sini." Gumam Johan yang ia juga ikut mencari keberadaan Ben.

----~{ Molly Jiminik's POV }~----

"Kakak !! Jangan sakiti dia.. Sudah kak!" Lirihku meminta kakak tertua menghentikan aksinya. Sudah cukup aku melihat kematian yang ditarik. Sudah cukup aku melihat tubuh yang telah tak bernyawa. Ini waktunya aku harus mengeluarkan isi hatiku. "Ku mohon kak... Lepaskan dia..." Aku meraih tangannya yang sangat bergetar. Ia menepis tanganku dengan kuat.

"Hei bocah !!" Bentaknya membuatku ketakutan sekarang, kak Winter marah. "Kenapa kau disini !?"

"Kak.... Kumohon kak.. Jangan lakukan lagi..." Aku merengek minta belas kasihan pada kak Winter yang tak akan melepaskan mangsanya. "Ayo kak..." Aku kembali memohon dengan kembali memegang tangannya. "Kau ingin kubunuh juga!" Ancam kak Winter.

"Pulanglah!" Ia mendorongku ke sudut ruangan yang gelap. Aku takut.

Terpaksa aku pergi meninggalkan pria itu dengan kak Winter. Kuharap ia akan baik-baik saja.

-------------

"Bocah penganggu!" Gumamnya, ia kembali memperhatikan pria yang terbaring dilantai dengan ikatan kuat. Walau pria itu tidak melihat sorotan mata orang tersebut. Tapi ia merasa orang itu menatapnya dengan sangat ingin membunuhnya. Kedua matanya ditutup oleh kain merah. Walaupun seharusnya ditutup pun pria itu tetap tak bisa melihat orang tersebut. Ruangan gelap yang sudah tidak digunakan lagi menjadi tempat tahanan Detektif Ben sekarang.

Ia hanya bisa mendengar derap langkah kaki dan juga suara orang tersebut. Ben berspekulasi jika, terdapat satu orang dengan hewan peliharaan?

"Luk, don't hurt him. I like him. He's perfect become our friend." ( Luk, jangan sakiti dia. Aku menyukainya. Dia bagus untuk menjadi teman kita. )

"What ? You heard footstep's, sure ?" ( Apa ? Kamu mendengar langkah kaki, yakin ? )

"Getting closer ?" ( Semakin dekat ? )

Ben mendengar suara tawa, sebelum orang itu berbisik. "I tie you, sweet."

"BEN !!" Jerit para teman-teman Ben yang sudah sangat dekat dengan ruangan sekitarnya. Ben diam dengan bibir bergetar, menangis dan mimpi buruknya semakin nyata bersamanya walau tidak dalam keadaan tidur.

-------★-------

---[ Bennett Yunior Rabenberg's POV ]----

Mimpi buruk ini, bagiku menjadi bayangan di balik cahaya terang.

Ia bukanlah lagi bayangan hitam tanpa suara dan keheningan bagiku.

Ia sekarang menjadi bagian dalam hidupku.

Aku terduduk sudut ranjang rumah sakit. Aku takut melihat ke arah gelap dibelakang punggungku. Karena kurasakan setiap gerak, setiap nafas dan setiap sesuatu ku pikirkan. Ia seperti mengetahuinya..

"Ceklek~"

Pintu bilik ruang rawatku terdengar seperti ada yang membuka. Tapi, aku tidak berniat untuk melihat siapa yang masuk. Aku takut.

Aku benar-benar takut...

"Ben." Aku tidak membalikkan tubuh untuk menjawab inspektur Johan.

Kenapa ia harus berdiri disana ?

"I--iya inspektur." Balasku tergagap di saat mataku tidak sengaja mengarah gelapnya sudut ruang rawatku. "Apa kau baik-baik saja ?" Aku mengangguk ringan agar inspektur tidak mengkhawatirkanku dan bertanya kejadian tadi pagi.

Dan aku juga tidak ingin ia bertanya akan perubahan ku. Iya.. Aku sadar diriku berubah.

"Apa sang pembunuh itu yang menculik mu?"

"..." Aku terdiam dengan kedua tanganku meremas seprai ranjang rumah sakit.

"Apa sang pembunuh itu mengancam mu?" Tanyanya lagi, "Inspektur..."

"Ada apa Ben? Kau membutuhkan sesuatu?" Tanyanya seperti mengkhawatirkanku, "Bi...bisa kau tinggalkan aku sendiri."

Aku takut sendiri....

Dengan raut wajah kecewa, inspektur mengangguk kepalanya mengerti. Saat aku melihatnya dengan sudut mataku. "Baiklah, mungkin kejadian tadi membuatmu shock berat. Tapi... saya berharap, kau mau membantu kasus kami."

Aku mengangguk mengerti, "Di luar ada 2 perwira yang akan menjagamu."

Setelah itu aku sendirian diruang rawat mengerikan ini.

Senja gelap dengan gerimis membasahi setengah bumi ini. Membuat nuansa ruang rawatku tambah begitu amat mengerikan. Aku menyembunyikan diriku di dalam selimut rumah sakit ini. Dengan kedua mataku pejamkan. Tapi... Itu semakin mengerikan bagiku.

Aura hitam, bayangan hitam menghantuiku. Mereka seperti menyentuh tubuhku, pucuk kepala ku, berbisik di sekitarku dengan tawa dan kalimat yang tidak jelas.

Aku takut....

"AAARGGGHHHHH!!!! HENTIKAN INI!!! AAHHHKKKK!!!"

Aku menjerit tidak kuasa menahan ini semua. Aku mohon siapapun ambil seluruh bayangan gelap ini. Ambil semua! AMBIL SEMUA!!

"AARGGHH!" Aku terus berteriak, tanpa sadar membuat beberapa bruder sudah menggenggam ku dengan erat. Mereka menyuntikkan sesuatu di saraf leherku yang membuatku perlahan-lahan menjadi lemah.

"Tidurlah, Ben." Samar-samar, aku menangkap suara inspektur Johan dengan mataku yang sudah rabun.

•••

Itu seperti kejadian sesungguhnya, aku menyentuh tangan mungilnya.

Mendengar suara tawanya.

Memanggil ayah dengan lantangnya.

Memelukku dengan penuh kasih sayang.

Menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang belum teratur.

Aku masih merekam itu semua di otakku.

Hingga kejadian itu merenggut seluruh kebahagian kecilku.

Putraku, telah terkapar tak berdaya di aspal dingin jalanan dengan tergenang darahnya sendiri.

Kenapa ?

Kenapa harus kau anakku ??!!!!

Aku berjanji pada diriku. Agar menemukan siapa yang membuatmu seperti ini.

Papa berjanji sayang, papa bersumpah akan membuatnya membusuk dipenjara.

Bantu papa mu, Eros.

•••

Kubuka mataku yang kudapati adalah, tubuhku tidak bisa bergerak. Keringat dingin bercucuran deras di pelipisku. Ada apa ini?

Apa ini karena obat yang mereka suntikkan padaku?

"Detektif Ben." Aku berusaha menggerakkan kepalaku ke asal suara. Tetapi itu hanya sia-sia, tubuhku masih terdapat dosis obat penenang. "Kau tidak perlu melihat ke arahku."

"Biarkan aku melihat kearah mu." Tanpa kulihat, aku bisa merasakan ia tersenyum. "Aku hanya ingin membuatmu merasa tenang, bukan tegang seperti ini." Aku terus mencoba menggerakkan seluruh jariku.

"Aku hanya ingin mengatakan, jangan berusaha terbang dengan sayap yang telah patah." Mencoba menggerakkan kepala ku, walau masih sangat kaku.

"Terimalah aku, dan kau bisa terbang dengan sempurna." Aku sedikit bisa menggerakkan kepala ku, walau hanya perlahan. "Jika kau terima, maka kau tak akan tersiksa seperti ini." Aku mencari asal suara itu dengan berusaha. Tetapi yang kudapati hanyalah.

Sudut ruangan gelap yang ku takuti.

-----T.B.C----

Next chapter