webnovel

Catherine Jane Adamma

"Cat, laporkan keadaan!" suara nyaring terus berbunyi di telinga wanita yang kini tengah berada di dalam sebuah bangunan yang hampir hancur. Ia terjebak di antara peperangan dua kelompok mafia yang sedari tadi sedang melakukan aksi baku tembak. "Catty, bagaimana keadaan di sana!"

Wanita itu masih terduduk lemah. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai bercucuran dari keningnya. Dengan sekuat tenaga ia menahan luka tembak di bagian paha kiri yang terus saja menguras darahnya sedikit demi sedikit.

Seragam berlogokan S.W.A.T yang tadinya berwarna hitam kini perlahan berubah menjadi kemerahan. Ia menekan bulatan kecil di sebelah kiri gangang pistol berjenis Beretta 92 FS yang ia genggam untuk mengeluarkan kotak amunisinya. "Sial, tersisa tiga peluru." keluhnya sembari memukul keras tembok di belakangnya dengan siku.

"Catty, jawab aku!"

Catherine Jane Adamma, wanita yang sedari tadi diteriakki dengan sebutan Catty itu menekan alat komunikasi pada lubang telinga kanannya menggunakan jari telunjuk, "Ya, Capt. Aku tertembak, peluruku tersisa tiga butir. Dan kini aku berada di tengah-tengah medan peperangan."

Bummm...

Suara ledakan yang sepertinya berada tepat di balik tembok tempat ia bersandar menggetarkan seluruh pondasi bangunan kecil itu. Langit-langitnya mulai keropos, dinding di sekitarnya juga sudah retak.

"Aku tidak bisa berlama-lama di sini.". Dengan terus menahan rasa sakit pada paha kirinya, Catty berjongkok, mencoba mengintip sedikit keadaan di luar bangunan itu dari retakan-retakan kecil di tembok. Dengan teliti ia mencoba menghitung berapa banyak orang di luar sana. "Satu, dua, tiga ... Enam belas? Kenapa masih sebanyak ini? Apa yang mafia-mafia bodoh itu lakukan? Mereka sedang berperang, atau hanya pamer bunyi senjata?!"

Catty berjalan ke arah satu-satunya pintu yang berada di bangunan kecil itu. Baru saja membukanya, pintu kayu itu telah hancur karena hujanan peluru yang datang dari berbagai arah, membuat Catty mengurungkan niatnya untuk keluar dari bangunan itu.

Catty kembali bersandar pada dinding yang sudah hampir runtuh di belakangnya. Ia kembali menekan alat komunikasi di telinganya. "Capt, aku benar-benar terjebak di sini. Apa kau tidak memiliki niat sedikitpun untuk membantuku?"

"Tunggulah, bala bantuan akan segera datang dalam tiga menit. Kita juga harus memprioritaskan misi untuk menangkap Hendrick Brasco dan seluruh komplotannya."

Catty tertawa pelan. "Haha, dan saat kalian tiba, aku sudah berada di dalam loker Davy Jones."

"Tegakkan dadamu, prajurit! Kita pasti akan berhasil."

"Terserah." balas Catty dengan nada tanpa harapan. Ia menutup matanya, menarik napas sedalam mungkin untuk membantunya menahan rasa sakit akibat lesatan peluru di tubuhnya yang terus berusaha membunuhnya secara perlahan. Namun suara yang sudah sangat familiar di telinganya memaksanya untuk kembali membuka mata.

Tuk ... Tuk ... Tuk ...

Sebuah bola besi berukuran genggaman tangan orang dewasa menggelinding masuk dari arah pintu, dan berhenti tepat beberapa senti di depannya.

"Oh sial!"

Catty terpaksa berlari keluar dari ruangan itu, mempertaruhkan nyawa dengan keberuntungannya dalam menghindari hujan peluru dari belasan senjata berjenis Assault Rifle yang datang dari berbagai arah itu.

Sedetik kemudian, bola besi berwarna hijau tua yang menggelinding tadi pun meledak, mengubah bangunan tempat Catty berlindung sebelumnya menjadi puing-puing yang hampir rata dengan tanah.

Catty terjerembab. Punggungnya bersandar pada sebuah peti kayu kosong dalam posisi terbaring. Pistol yang ia genggam sebelumnya terlempar cukup jauh dari posisinya sekarang. Beruntungnya, ia tidak terkena hujanan peluru saat mencoba kabur dari ledakan granat tadi.

Namun belum berhenti sampai di situ. Peti kayu tempat Catty berlindung kini terus menerus dikikis oleh berondongan peluru.

Catty menghembuskan nafas berat. "Sudahlah, lagipula kalau aku selamat dari tempat sialan ini, belum tentu juga ada yang mau menikahiku."

Belum selesai Catty meratapi nasibnya yang sungguh sial itu, satu dari belasan orang yang menembakinya jatuh tepat beberapa meter di depannya, dengan kondisi di kepalanya terdapat sebuah lubang peluru.

Selang tiga detik, ada satu lagi yang tumbang.

Lagi.

Lagi.

Lagi.

Para mafia itu terus saja tumbang satu persatu. Dari luka tembak yang mereka derita, bisa dipastikan lubang peluru di kepala mereka disebabkan oleh senjata berjenis senapan runduk.

Catty melihat arloji di pergelangan tangan kirinya, "Ini bahkan belum satu menit. Jika bukan si-Capt, lalu siapa?"

Suara tembakan sudah tidak lagi terdengar. Belasan mafia yang menghujaninya dengan peluru itu sudah tidak lagi memiliki nyawa, hanya seonggok daging tak berguna yang tergeletak di tanah. Dengan cepat Catty mengambil kembali pistolnya yang tersisa tiga peluru itu. Berusaha menenangkan detak jantungnya, mencoba mendengar bunyi apapun yang terjadi di sekitarnya.

Suara langkah kaki menarik indera pendengaran Catty. Semakin dekat. Hingga pada saat ia yakin bahwa si pemilik suara langkah kaki sudah berada dekat dengan tempatnya berlindung saat ini, tanpa pikir panjang Catty berdiri, mengarahkan laras pistolnya tepat ke jantung dan melesatkan peluru yang dengan telak mengenai dada kiri seorang pria yang sedang memegang koper berisikan sniper berjenis CheyTac Intervention.408.

Rahang bawah Catty seakan terlepas dari sendinya. Wanita itu tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Seorang lelaki. Bukan. Baginya, orang itu bagaikan titisan dari surga yang datang ke bumi untuk menjadi objek pemujaan bagi seluruh kaum hawa. Entah berapa lama ia ternganga seperti itu.

Suara helikopter membuyarkan lamunan Catty akan keindahan visual yang disajikan oleh lelaki di depannya. Bahkan fakta bahwa Lelaki itu telah tertembak di bagian dada sampai teralihkan.

"Periksa semuanya!" teriakan yang sangan lantang dan tegas itu terdengar lumayan nyaring di udara. "Aku tidak ingin ada satupun yang lolos!"

Seorang anggota S.W.A.T berlari menghadap sang kapten. "Lapor, pak. Semuanya telah tewas."

"Apa?!" bentak sang kapten. Kumis lebat berbentuk hampir seperti bulan sabit itu bergetar. "Catty! Bisa kau jelaskan apa yang sedang terjadi? Tadi kau bilang keadaanmu sangat terpojok?"

"Maaf, pak." sela salah satu anggota S.W.A.T sembari memeriksa keadaan lelaki yang tertembak di bagian dada kiri tepat di depan Catty. "Ada yang masih memiliki denyut nadi."

Sang kapten berjalan menghampiri, "Bagaimana keadaannya?"

"Terdapat luka tembak di bagian dada kiri. Seharusnya dia sudah mati, tapi jalur pelurunya sedikit berbelok. Jika ingin dia tetap hidup, minimal kita harus melakukan operasi darurat di sini sekarang juga."

"Kalau begitu berpencar, buat tiga barikade dan awasi keadaan sekitar dari arah empat mata angin berbeda. Dan kau, tekan lukanya sementara Catty memberikan napas buatan. Kita butuh orang itu tetap bernapas hingga tim medis tiba." titah sang kapten yang langsung medapat hormat singkat dari seluruh anggotanya--termasuk Catty--sebelum mereka bubar dan melakukan apa yang diperintahkan.

Catty tidak bisa bergerak. Tubuhnya benar-benar kaku saat wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter di depan wajah lelaki yang tidak diketahui namanya itu. Sepasang alis yang terpasang rapih di atas kedua bola mata yang sedang tertutup rapat. Hidungn mancung yang memancing untuk ia gigit dengan manja. Garis rahang tegas dan lekukan tengkuk yang seakan meminta Catty untuk menyesap bulir-bulir keringat di bagian paling menggoda itu. Tidak lupa dengan rona bibir pucat yang seakan siap untuk dilumat.

"Apa yang kau lakukan? Denyut nadinya semakin melemah!" teriak orang yang sedari tadi menekan luka tembak di dada kiri lelaki itu. "Jika kau tidak mau melakukannya--"

"Tidak!"

Semua orang yang mendengar teriakan kini menoleh kepadanya.

"Eh ... Maksudku, ini tugas yang diberikan kepadaku, jadi aku harus melakukannya dengan penuh tanggung jawab."

Catty kembali memandang ke arah bibir pucat itu. Menelan ludah untuk sekedar menenangkan sedikit rasa gugupnya. Dengan perlahan ia mendekatkan bibirnya ke arah lelaki itu. Semakin dekat, hingga akhirnya sesuatu yang tidak pernah diduga oleh semua orang membuat Catty gagal mendaratkan bibirnya pada lelaki itu.

Karena sekarang lelaki itu sudah berada tepat di belakang Catty, dengan satu tangan yang melingkar di lehernya, dan satu lagi menodongkan pistol Beretta 92 FS yang mungkin hanya tersisa dua peluru, menempelkan ujung larasnya pada kepala wanita itu.

Semua anggota S.W.A.T mengarahkan bidikan senjata api mereka ke arah Catty.

"Turunkan senjata kalian!" teriak sang kapten, dan semua menurutinya. "Hey, bocah. Apa yang ingin kau lakukan?"

"A-aku ... Aku--"

"Bukan kau, Cat. Tapi lelaki di belakangmu." potong sang kapten menanggapi kegugupan Catty. "Apa kau pikir bisa lolos dengan mudah setelah semua ini?"

Lelaki itu tetap diam. Sang kapten melihat ke tanah tempat lelaki itu dan Catty berpijak, bercak kemerahan dari tetesan darah yang terus mengalir itu semakin memperburuk keadaan baginya. "Dengan luka seperti itu, kusarankan kau menyerah saja."

Catty pun berbicara dengan sangat pelan--setengah berbisik--kepada lelaki yang kini sedang menyanderanya itu. "Aku tidak tahu kau siapa, namun aku tahu setelah melihat isi dalam kopermu, kau adalah orang yang menyelamatkanku dari para mafia itu. Terlebih peluru yang sekarang berada di dalam dadamu juga salahku. Jika kau memang tidak ada sangkut pautnya dengan para mafia itu, lebih baik kau menyerah saja. Aku yang akan menjamin keselamatanmu."

Tanpa aba-aba sedikitpun lelaki itu berjalan mundur secara perlahan, sambil terus menyandera Catty.

"Ayolah, kau juga tahu bahwa kita berdua sama-sama tertembak, walaupun kondisimu lebih parah. Dari caramu menghabisi para mafia itu, aku yakin kau semacam pembunuh bayaran. Tenang saja, korps kami sering menyewa orang-orang sepertimu. Jadi jangan takut, kau tidak akan kehilangan pekerjaan."

Lelaki itu sedikit mendekatkan wajahnya pada telinga Catty. "Siapa namamu."

Catty membulatkan matanya dengan sempurna. Ia tidak pernah menyangka suara si lelaki yang sedang menyanderanya itu terdengar sangat seksi di saat sedang sekarat.

"Catherine Jane Adamma. Kau bisa memanggilku Catty." ucap Catty dengan nada yang menyenangkan. "Dan kau?"

"Senang berkenalan denganmu. Bisa minta tolong sesuatu?"

"Apa itu."

"Tahan napas selama mungkin."

"Untuk?'

Si penyandera menendang plakat besi penutup saluran pembuangan yang mengalir di bawah tanah, menarik Catty hingga mereka berdua terjun dan terbawa arus saluran pembuangan yang terhubung di seluruh kota.

"Cari mereka! Jangan biarkan dia lolos!" teriak sang kapten dengan sangat frustasi.

Selama hampir tujuh menit terombang-ambing dalam arus air saluran pembuangan yang bercampur dengan berbagai macam limbah rumah tangga, Catty dan lelaki itu mendarat tepat di atas sebuah speedboat karet berukuran kecil. Mereka berdua dibawa entah kemana oleh sang pengemudi speedboat hingga tiba di tempat yang mirip dermaga terbengkalai.

Terlihat gerombolan orang dengan setelan jas hitam seragam sedang berkumpul di pinggir dermaga. Seseorang di antara mereka maju dan menyambut tangan si lelaki yang beberapa saat lalu terombang-ambing dalam saluran pembuangan bersama Catty.

"Bagaimana David, apa kau berhasil membunuh Kapten Deckard?"

David Stockholm, pria yang membantai habis dua gerombolan mafia yang sedang berperang dengan sebuah sniper itu menyisir rambut basahnya ke belakang dengan jarinya. "Belum. Bajingan itu belum kehabisan keberuntungannya."

"Lalu, siapa wanita yang berada di kapal."

David melangkah pergi. "Salah satu anjing peliharaannya Deckard. Dia yang melubangi dada kiriku. Jika bukan karena suntikan obat bius, aku mungkin sudah dibawa ke markas mereka. Jadi, terserah mau kalian apakan wanita itu. Bukan urusanku."

Catty yang mendengar hal itu pun membulatkan matanya. Si pengemudi kapal mengeluarkan sebuah alat dan menyetrum leher Catty sampai pingsan. Dan setelah sadar, dirinnya terbangun di dalam tong sampah. Yang ia rasakan hanyalah nyeri yang teramat perih pada bagian yang berhimpit di antara kedua pangkal pahanya, bibirnya yang robek dan lebam di sekujur tubuhnya.

Catty tersenyum dengan sangat lebar. Ia mulai tertawa lepas. Kesuciannya telah direnggut oleh mafia-mafia biadab. Batinnya sudah benar-benar mati rasa. Yang tersisa hanyalah rasa dendam kepada seseorang bernama David.

Sampai kapanpun, ia akan mengingat wajah dan nama itu.

Next chapter