webnovel

Chapter 16

"Kurang dari 3 minggu lagi, kau akan bertunangan dengan Vian," gumam Ares, menoleh ke arah perempuan yang kini berada dalam pelukannya.

Matahari di Minggu ini sudah hampir berada di pucuk tertinggi, tetapi mereka masih bergelung di atas tempat tidur kingsize milik Briena. Hari libur seperti ini selalu membuat semua orang enggan untuk beranjak dari kasur yang posesive. Menikmati waktu yang berharga dengan selimut yang membelit tubuh mereka.

"Aku bahkan tidak sadar kalau 3 minggu lagi kami akan bertunangan. Kenapa kau lebih tahu daripada aku?" gumam Briena terkesan tidak peduli.

Sejak makan malam dengan presiden Peru minggu lalu, Briena memang tidak pernah bertemu Vian lagi. Selain karena mereka sama-sama sibuk, mereka memilih untuk tidak berkomunikasi karena memang tidak ada hal penting yang perlu di diskusikan lewat pertemuan.

"Apapun yang berkaitan dengan Vian sepertinya kau tidak pernah perduli," cibir Ares seraya menggusap-usap pelipis Briena dengan lembut.

"Aku memang peduli dengan pernikahan ini, tapi bukan berarti aku harus peduli dengan pria itu," oceh Briena semakin merapatkan pelukannya pada Ares.

"Baiklah." Ares mengangguk. Aku jadi ingat dengan pertemuan kita dulu, gumamnya tiba-tiba.

"Pertemuan kita dulu?" tanya Briena mendongak ke atas.

"Hehm." Ares menunduk menatap wajah Briena. "Menurutmu, pertemuan kita dulu takdir atau kebetulan?" tanyanya kemudian.

"Aku tidak percaya dengan yang namanya kebetulan, tapi aku tahu kalau pertemuan kita bukan takdir. Jadi aku rasa, kita hanya bertemu di waktu yang tepat," jawab Briena.

"Bukankah itu artinya kita ditakdirkan untuk bertemu," ujar Ares.

"Takdir akan membuat kita terus bersama, Res. Nyatanya kita tidak berada pada waktu yang sama selamanya. Pertemuan kita memiliki masa berlakunya."

"Waktu yang tepat, tapi bukan takdir yang tepat."

"Kau benar." Briena mengangguk setuju. "Waktu itu kita sama-sama tertarik untuk menjalin hubungan karena persamaan prinsip." Fikiran perempuan itu melayang menuju masa dimana pertemuan pertamanya dulu dengan Ares.

Briena dan Ares duduk saling berhadap-hadapan. Terdapat beberapa tumbukan file di atas meja, dua buah cangkir coffee yang belum tersentuh, juga tablet persegi yang berwarna abu-abu. Briena sibuk menggeser layar pada ponselnya, membaca sekali lagi kontrak kerjasamanya klien. Sedangkan Ares sibuk dengan tablet di tangannya.

Suasanan kafe tempat mereka bertemu sangat sepi, hanya meja mereka yang terdapat penghuninya, juga meja di belakang kursi yang diduduki Briena. Sepasang pria dan wanita yang sepertinya tengah membahas suatu masalah.

"Apa kita akan seperti ini terus? Aku lelah terus-terusan bertengkar dengan orangtuaku," keluh sang perempuan kepada kekasihnya, wajahnya menyiratkan kelelahan dan juga rasa frustasi.

"Aku juga, tapi kita bisa apa, Sayang. Orangtuamu tidak menyetujui hubungan kita karena keluargaku tidak sekaya dirimu," sahut sang pacar menggenggam tangannya erat.

"Lalu bagaimana? Apa kita kabur saja dari rumah? Kita bisa hidup dengan uang tabungan kita," usul sang perempuan akhirnya

"Kabur?"

"Iya, kabur. Kalau perlu kita tinggalkan Indonesia, kita tinggal saja di luar negeri. Bagaimana? Kau setuju, kan?"

"Hehm ... Baiklah, aku setuju," sahut sang pria menerima ajakan sang wanita.

"Heh, tolol," gumam Briena yang tidak sengaja mendengar percakapan sepasang kekasih tadi. Membuat pria yang sekarang berada di hadapannya mengerutkan dahinya heran.

"Apanya yang tolol?" tanya pria tersebut, memandang Briena heran.

"Drama yang barusan Anda dengar, Sir, sepasang manusia bodoh yang duduk di belakang saya," sahut Briena.

Siang ini, perempuan itu sedang ada jadwal pertemuan penting dengan klien yang berasal dari Negeri Singa Putih, Singapura. Seorang pengusaha muda yang bergerak dibidang kuliner, pria tampan yang masih berusia 25 tahun namun sudah memiliki cabang restaurant hampir di seluruh Asia.

"Maksud Anda pasangan yang memilih untuk kabur karena tidak mendapat restu dari orangtua sang gadis?" tanya pria itu.

"Begitulah. Oh, ya, kita belum berkenalan secara resmi, saya Kalebriena, panggil saja saya Briena," ujar Briena memperkenalkan diri.

"I'm Kenares, you can call me Ares. Satu lagi, aku lebih suka menggunakan kosa kata 'Aku-Kau' daripada 'Saya-Anda', jadi bisakah kita tinggalkan panggilan membosankan itu?" tawar Ares bersikap lebih santai.

"OK, Mr. Ares. Jadi konsep seperti apa yang kau inginkan untuk restaurantmu yang ada di Indonesia? Sekretarisku sudah mengirimkan file konsepnya padamu, 'kan?" ucap Briena bersikap serius, dia hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat tapi tanpa celah.

"Aku sudah mengirimkan konsep yang kuinginkan ke emailmu. Kau bisa mengeceknya sekarang," jawab Ares menunjuk I-Pad Briena dengan dagunya.

Briena pun langsung mengecek notification emailnya, lalu membuka email dengan Id. @Ken.ARES. Melihat secara keseluruhan konsep apa yang diinginkan oleh pengusaha muda itu, sesekali mengangguk lalu terdiam memahami keinginan sang klien yang tertuang di konsep tersebut.

"Bagaimana denganmu?" tanya Ares tiba-tiba, memecah sedikit konsentrasi Briena yang tengah serius melihat konsep di I-Padnya.

"Aku suka dengan desain yang kau pilih. Konsep ini akan membuat restaurantmu menjadi lebih segar dengan nuan-."

"Maksudku bukan konsepnya, Nona Virendra," potong Ares dengan intonasi tenang. "Tapi sikap yang akan kau ambil kalau kau menghadapi masalah seperti pasangan yang tadi. Apa yang seorang Briena lakukan, kalau menghadapi masalah seperti itu?" lanjut Ares seraya melipat kedua tangannya di atas meja, menumpu dagunya di kedua tangan yang saling terkait. Sepasang mata itu menatap tajam sepasang mata yang lain, mencoba untuk mengintimidasi pemilik mata coklat itu. Namun sayangnya si pemilik mata coklat itu samasekali tidak terpengaruh oleh tatapan tajam itu.

"Maa'f, tapi aku rasa topic yang kau tanyakan barusan sudah keluar dari pembahasan kita. Kita sedang membahas masalah pekerjaan dan tiba-tiba saja kau menanyakan topic yang lain. Aku tidak punya alasan untuk menjawab pertanyaanmu, Tuan Ares," sahut Briena tajam.

"Tapi kau juga tidak punya alasan untuk tidak menjawab pertanyaanku. Ayolah Briena... aku tahu kalau kita ini adalah jenis orang yang sama. Kita paling tidak suka menyimpan pertanyaan yang sebenarnya bisa kita utarakan. Berhubung pertanyaanku tadi sedikit menggangguku, makanya aku bertanya langsung padamu. Jadi apa jawabanmu?" ujar Ares dengan tenang, pria itu mempunyai aura yang sama seperti Briena. Tegas tak terbantahkan dan Briena mulai tertarik dengan pria bernama Ares itu. Briena memutuskan untuk menjawab pertanyaan dari pria itu, walaupun sebenarnya dia paling tidak suka membahas masalah di luar bisnis dengan seorang klien.

Briena melipat kedua tangannya ke atas meja lalu memajukan sedikit tubuhnya ke arah Ares. "Aku akan putus dengan kekasihku," jawab Briena menatap balik sepasang mata sayu namun tajam itu.

"Kenapa?"

"Pertama. Dia bukan makhluk pria terakhir yang hidup di bumi. Kedua. Bagiku 'kekasih' tak cukup berharga, hingga aku harus membela dia mati-matian. Ketiga. Aku tidak suka hal-hal konyol, seperti kabur dari rumah. Terlalu ribet dan membuang-buang waktu," jawab Briena apa adanya.

"Jadi kau akan merelakan seseorang yang kau cintai?"

"Sebenarnya... alasan utamaku, kalau pun aku memutuskan untuk menjali sebuah hubungan, itu bukan cinta."

Lalu apa?

"Eehhmm... butuh mungkin. Ya... hal-hal semacam itu. Aku butuh dia dan dia... entahlah, itu tidak penting," sahut Briena sekenanya. "Saat aku sudah tak membutuhkannya, untuk apa aku mempertahankannya? Terlebih lagi, keluargaku tidak merestui hubungan kami."

Heh, menarik, fikir Ares.

"Lalu bagaimana kalau kau terlanjur jatuh cinta pada kekasihmu itu? Kemungkinan kau jatuh cinta dan tidak jatuh cinta itu 50:50. Lagipula, kata orang manusia tidak bisa mengontrol perasaan yang bernama cinta. Mungkin prinsipmu tidak ingin menggunakan cinta, tapi seiring berjalannya waktu, kau bisa saja terjebak dan jatuh di hati pasanganmu."

Briena menyipitkan matanya ke arah Ares. Bagiku cinta tidak rasional, jadi aku tidak mungkin terjebak ke dalam perasaan itu. Aku punya pengendalian diri yang bagus.

"Ini hanya perumpamaan, Briena. Kau hanya perlu menjawab apa yang aku tanyakan padamu. Kata kuncinya adalah cinta itu rasional."

"Kalau begitu aku akan tetap bersamanya."

"Masalah orangtuanmu?"

"Aku akan membuat mereka setuju."

"Kau bilang tadi tidak suka hal-hal yang ribet? Kau mau membuang waktumu, hanya untuk membuktikan pada orangtuamu. Bahwasannya, kekasihmu itu worth it untuk menjadi seorang menantu dari keluarga Viendra."

"Ini berbeda. Kata kuncinya, cinta itu rasional. Jadi, dalam kasusku anggap saja restu orangtuaku adalah rintangannya. Aku tidak bisa tinggal diam dan menerima kekalahan. Lebih tepatnya, aku selalu mendapatkan apaupun yang ku inginkan. Apapun rintangan yang aku hadapi untuk mewujudkan keinginanku itu, akan selalu sepadan dengan apa yang akan aku dapatkan nanti. Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak menguntungkanku, walaupun perbandingannya hanya berbeda 0.1 %. Itu bukan seorang Briena," sahut Briena dengan percaya dirinya.

"Jadi, kau akan mempertahankan hubunganmu karena tidak ingin kalah?"

"Begitulah. Se-rasional cinta bagiku, egoku tetap nomor satu. Kalau aku bisa mendapatkan dua-duanya, kenapa aku harus melepas yang lain. Aku yakin bisa mendapatkan restu dari orangtuaku. Lagipula, aku akan memilih calon kekasih yang bisa membuktikan kalimatku tadi."

Cih, luar biasa sekali jawabanya, fikir Ares.

"Bagaimana kalau pria yang kau cintai tidak mencintaimu?"

"Aku akan melakukan segala cara agar dia bisa menjadi milikku. Masalah cinta itu tidak penting, yang terpenting dia menjadi milikku."

"Maksudmu, kau akan berusaha untuk mengejarnya. Sekalipun harus bertindak agresif. Huh. Bukankah gengsi perempuan itu terlalu tinggi untuk mengejar-ngejar seorang pria, kau mau menurunkan gengsimu untuk makhluk berjenis kelamin pria?" tanya pria itu menatap tajam perempuan di hadapannya.

"Tentu saja," sahut sang perempuan dengan mantap.

"Ku beritahu kau satu hal, Nona Virendra. Sebagian pria lebih senang jika menjadi pemburu dan bukannya menjadi mangsa. Dan aku termasuk pria kategori pertama," ujar pria itu tersenyum miring, dari nadanya terdengar sinis.

"Kau juga harus tahu Mr. Ares. Sebagian perempuan lebih suka memburu daripada diburu. Mereka lebih pintar dengan bertindak selangkah lebih maju, ketimbang jadi perempuan tolol yang hanya diam menunggu. Dan aku termasuk perempuan kategori pertama," sahut Briena tak kalah sinis.

Selama sepersekian detik mereka saling melemparkan tatapan tajam keduanya. Saling menilai arti tatapan tersebut, mencoba mencari celah karakter masing-masing. Hingga akhirnya Ares, berdehem sejenak lalu mengucapka kalimat yang membuat Briena sedikit kaget. Gadis itu tidak menyangka kalau pria dihadapannya bisa semenarik itu.

"Kalau begitu bagaimana denganku. Apa aku cukup menarik untuk bisa bersanding denganmu? Oh, jangan sama artikan pertanyaanku dengan cassanova yang merayumu diluaran sana. Aku hanya sedikit penasaran saja, lagipula kita ini satu prinsip. Aku juga tidak suka relationship yang membosankan."

"Huh. Ku akui, kau orang yang cukup menarik, Tuan Ares. Tapi sayangnya, kau tidak semenarik itu hingga aku tergiur untuk menggodamu." Briena tersenyum sinis saat mengucapkan kalimat pedasnya. Jawaban dari Briena lagi-lagi membuat Ares terkagum-kagum, perempuan itu lagi-lagi berhasil membuat Ares terpesona dengan mulut tajamnya. Apalagi saat Briena melanjutkan kalimatnya. "Tapi aku tidak akan menolak kalau kau memintaku untuk menjadi kekasihmu," ucap Briena tenang.

"Kau tidak tertarik kepadaku, tapi kau tertarik untuk menjadi kekasihku. Cukup menarik," komentar Ares.

"Hubungan yang akan kita jalani tentu saja bukan seperti pasangan kebanyakan. Anggap saja dasar dari hubungan kita ini adalah 'simbiosis mutualisme' dan kau tenang saja, aku bukan kekasih kolot yang akan menguasaimu 24 jam. Kau boleh menjalin hubungan dengan orang lain karena aku nantinya juga akan begitu. Kau tahu 'kan kalau pada akhirnya nanti, kita memang harus mengakhiri hubungan kita, jadi jangan sekali-kali membawa perasaan pada hubungan ini," jelas Briena panjang lebar.

"Call."

At the first time.

At the first place.

Mereka resmi menjadi sepasang 'kekasih'. Dua orang yang mempunyai prinsip hidup yang sama. Dua orang dengan jenis pemikiran yang sama. Dua orang yang tidak pernah mempercayai sesuatu yang konyol seperti 'jatuh cinta'. Dua orang yang mempercayai bahwa hubungan itu ada karena saling butuh dan bukannya saling cinta. Mereka berdua hanya mengikat status diantara keduanya dan bukannya tubuh apalagi hati mereka.

"Aku harus pergi," ujar Briena begitu tersadar dari lamunannya. Beringsut sedikit untuk bisa keluar dari kungkungan Ares. Perempuan itu harus bersiap-siap untuk menghadiri pertemuan keluarganya dengan keluarga Vian. Ares pun hanya mengamati kegiatan Briena yang sedang berbenah tanpa menginterupsinya. "Aku pergi dulu," ujar Briena, langsung melangkah menuju pintu keluar kamarnya tanpa menoleh ke arah Ares lagi. Meninggalkan pria itu yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

Makasih kalian semua sudah dukung cerita ini. Maaf jarang menyapa kalian, tapi plis dukung anak-anak saya ya.

Please, give me a power stone .

Jangan lupa juga kasih bintang dan review cerita saya yang lain, supaya anak-anak saya terkenal dan banyak yang baca.

Semoga Mas Vian dan Mbak Briena bisa naik rangking. Dukung mereka dengan memberi komen, like, atau power stone.

Thank you semua, ayam flu(ΰΉ‘β™‘βŒ“β™‘ΰΉ‘)

PYE! PYE!

seinseinaacreators' thoughts
Next chapter