webnovel

Chapter 12

Pagi pertama di bulan April, suasana kota Jakarta tetap saja seperti pagi hari di bulan-bulan sebelumnya. Suara gemuruh kendaraan yang memenuhi jalanan ibu kota, hilir mudik para manusia di pinggir jalan, juga bunyi klakson kendaraan yang seakan-akan menjadi lagu pengiring suasana pagi hari ini.

Suasana serta rutinitas yang terjadi hampir di setiap harinya di Jakarta, oh, sebenarnya bukan hanya Jakarta, tapi seluruh kota yang ada di dunia. Para makhluk di bumi siap memulai skenario dengan jalan cerita yang berbeda-beda, layaknya aktor dan aktris dalam rangkaian film dokumenter tentang kehidupan. Memulai apa yang menjadi rutinitas sehari-hari, bangun pagi, mandi, dandan, sarapan, bekerja, makan siang, pulang, makan malam, tidur. Begitulah siklus hidup orang-orang ber-title carrier man or woman.

Bandara Internasional Ngurah Rai Bali, Indonesia.

Briena melenggang penuh percaya diri menuju pintu keluar bagian B bersama Ave sekertarisnya. Gaun selutut berwarna peach melekat erat di tubuh proporsional miliknya, memperlihatkan betapa jenjangnya kaki milik pewaris Virendra Grup itu. Rambutnya yang di biarkan terurai menambah kesan elegan di diri Briena, ditambah lagi dengan kacamata yang tersemat di hidung mancungnya, membuat dia terlihat semakin fashionable. Sebuah tas Gucci berwarna senada menggantung indah di tangan kirinya, serta ponsel canggih di tangan kanannya. Penampilannya yang selalu memukau membuat Briena pantas menyandang gelar Best Fashion Airport hari ini. Briena masuk ke dalam mobil Van warna putih yang sudah di persiapkan oleh sekertarisnya. Mobil mewah itu yang akan membawa mereka ke rumah klien penting perusahaannya di kota pariwisata ini. Kurang lebih selama 44 menit Briena dan Ave berkutat di jalan raya kota Bali, mobil yang mereka naiki melaju pelan melewati area persawahan yang asri dengan jalanan berbatu dan beberapa pohon besar menjulang di pinggir-pinggir jalan.

Suasana khas pedesaan kota Bali, tenang, asri dan damai. Suasana yang jarang di jumpai hampir di seluruh kota besar yang ada di Indonesia. Waktu menunjukan pukul 09.00 Wita saat mobil Van putih itu memasuki kawasan jalan pribadi yang akan menuju ke sebuah bangunan mewah di ujung jalan. Dengan sangat jelas Briena dapat mendengar suara deburan ombak pantai karena memang 2 Km di bawah bukit ini terdapat pantai pribadi keluarga Garindra―nama belakang dari calon klien Briena―.Mobil Van itu berhenti tepat di sebuah bangunan ala Roma dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi dan terlihat sangat kokoh berwarna krem. Bagunan ini begitu megah, mewah dan juga elegan, hal yang sama juga akan terlihat saat mereka memasuki area dalam bangunan klasik tersebut.

Ave yang melihat ruang tamu keluarga Garindra, nyaris berteriak histeris saat melihat betapa indahnya desain bangunan ini. Begitupun juga dengan Briena yang menikmati pesona rumah ini dengan mata berbinar-binar. Mata indah Briena mengamati bangunan tersebut dengan dahi berkerut. Bukankah ini bangunan yang akan menjadi projeknya kali ini, tapi dia tidak melihat adanya sesuatu yang perlu diubah di sini. Bangunan ini sudah sempurna, bahkan sangat sempurna.

Lalu kenapa Bu Dista ingin merenovasi tempat ini? pikir Briena heran.

"Nona Virendra!" panggil sebuah suara membuat pemikiran Briena buyar. Seorang wanita tua yang duduk di kursi roda datang dari sisi kanan Briena. Perempuan tua itu datang bersama perempuan paruh baya yang diyakini Briena sebagai perawatnya dilihat dari baju yang dia kenakan.

"Anda, Nyonya Wayan Dista?" tanya Briena basa-basi, sebenarnya sekali lihat saja dia sudah tahu kalau wanita tua itu adalah kliennya.

"Panggil saja, Nyonya Dista. Saya tidak suka berbasa-basi, jadi kita langsung saja ke inti pertemuan kita hari ini. Saya tahu kalau Anda orang yang sibuk, jadi saya tidak ingin membuang waktu berharga Anda, ujar Nyonya Dista tenang.

Briena hanya tersenyum.

"Mari ikuti saya." Karena Briena juga satu pemikiran dengan Nyonya Dista, jadi tanpa basa basi dia langsung menyetujui hal tersebut dan langsung mengikuti kemana arah kliennya itu pergi.

Walaupun usianya sudah tua, namun ketegasan dan juga wajah ayu khas wanita-wanita Bali masih bisa Briena lihat pada sosok kliennya itu. Briena yakin kalau semasa mudanya dulu, Nyonya Dista mempunyai watak seperti dirinya, gadis tangguh yang penuh ambisi. Briena tersenyum penuh arti saat membayangkan akan bekerjasama dengan orang yang sejenis dirinya. Rupanya Nyonya Dista membawa Briena ke arah gazebo khas Jawa yang berada di halaman yang luas dan menghadap langsung ke arah samudera pantai di bawah bukit ini. Keindahan pemandangan ini semakin menambah nilai plus untuk property milik keluarga Garindra ini.

"Tidak keberatan 'kan, kalau kita berbicara hanya berdua," ujar Nyonya Dista kemudian.

"Tentu saja." Briena yang paham langsung menyuruh Ave untuk kembali ke dalam rumah, begitu juga dengan Nyonya Dista yang juga menyuruh perawatnya untuk pergi.

Selepas kepergian 2 orang itu, Nyonya Dista meminta Briena untuk membantunya duduk di gazebo lalu kemudian menyuruh Briena duduk di sampingnya. "Nona Virendra, menurutmu apa yang perlu di ubah dari bangunan rumahku ini?" tanya Nyonya Dista menatap tajam mata Briena.

"Sejujurnya semenjak saya menginjakkan kaki saya di rumah ini, saya juga bertanya-tanya, bagian mana dari rumah ini yang perlu saya ubah, tapi sampai sekarang saya masih belum bisa menemukan jawabannya. Saya rasa tidak ada yang perlu di ubah dari rumah Anda Nyonya, baik itu interior maupun eksterior. Rumah Anda sudah sangat mengagumkan," jawab Briena panjang lebar.

"Hahaha." Tawa Nyonya Dista membuat Briena bingung, sangat di luar ekspektasinya.

Kenapa Anda tertawa? tanya Briena tanpa mengurangi rasa hormatnya pada Nyonya Dista.

"Ternyata seleramu benar-benar sama seperti Almarhum suamiku. Nyonya Dista tersenyum jumawa. "Sebenarnya suamikulah yang mendesain bangunan ini. Semuanya. Aku juga sangat menyukai bangunan ini karena itulah aku membiarkan bangunan ini tetap seperti ini, tanpa perubahan yang pasti, walaupun pembangunannya sudah lebih dari 40 tahun yang lalu," jelasnya kemudian. "Rumah ini banyak menyimpan kenangan-kenangan keluarga Garindra, mulai dari kelahiran anak pertama sampai anak terakhir, lalu pernikahan mereka sampai kelahiran cucu-cucuku. Semua hal yang membahagiakan maupun menyedihkan sudah pernah saya alami di Rumah ini. Kenangan indah yang tidak akan pernah bisa saya lupakan," lanjut wanita tua tersebut dengan mata yang berkaca-kaca.

"Anda akan menjual rumah ini." Briena mengucapkan kalimat tersebut tanpa keraguan sedikitpun.

Nyonya Dista menoleh ke arah Briena. "Kenapa kau berfikir kalau saya akan menjual rumah ini? Bukankan saya barusan bilang kalau rumah ini penuh dengan kenangan keluarga Garindra," tanyanya kemudian menatap lekat-lekat mata kelam Briena, mencoba menebak apa yang ada difikiran perempuan muda itu.

"Buktinya sekarang saya berada di hadapan Anda. Bukankah tujuan saya datang kesini untuk mengubah bangunan yang penuh dengan kenangan keluarga Garindra menjadi bangunan baru yang siap diisi dengan kenangan baru. Apakah tebakan saya salah, Nyonya Dista," jelas Briena mengutarakan pendapatnya.

Nyonya Dista tersenyum mendengar jawaban dari Briena barusan, wanita tua itu semakin yakin kalau Briena merupakan cerminan dirinya saat muda dulu. Dari awal dia melihat profil Briena, dia sudah yakin akan watak watak itu. "Kau benar. Saya memang akan menjual rumah ini," ujar Nyonya Dista tersenyum hangat.

"Kenapa Anda memilih untuk menjualnya dan tidak menyimpan kenangan ini sampai nanti?" tanya Briena ingin tahu.

"Terkadang lebih baik membuang kenangan yang pernah terjadi, daripada menyimpannya untuk dinikmati. Satu kenangan di ciptakan untuk diingat, kemudian di lupakan dan selanjutnya berganti dengan yang yang baru. Saya sudah menyimpan kenangan bersama keluarga saya hampir selama 40 tahun, saya rasa itu waktu yang terlalu lama untuk menyimpan sebuah kenangan, sekarang saya jadi terasa berat untuk melepaskannya, tapi saya harus tetap melupakannya. Seperti hukum alam yang tidak bisa di langkahi," jelas Nyonya Dista panjang lebar, menyampaikan filosofi yang disetujui Briena.

"Jadi begitu." Briena memahami apa yang dirasakan oleh Nyonya Dista.

"Kalau kau punya kenangan yang ingin dibuang, maka lakukan secepatnya, sebelum kenangan itu membuatmu merasakan beratnya yang namanya melepaskan."

"Kenangan yang ingin aku buang? Hehm, hal itu tidak ada." Briena tersenyum tipis.

Bohong!

Lalu bagaimana dengan kenanganmu bersama pria itu? Cinta pertama? Kekasih pertama?

"Ehm, sebaiknya kita masuk ke dalam dan membicarakan konsep yang telah saya buat. Filenya ada di laptop yang dibawa sekretaris saya," ujar Briena kemudian.

"Baiklah."

Makasih kalian semua sudah dukung cerita ini. Maaf jarang menyapa kalian, tapi plis dukung anak-anak saya ya.

Please, give me a power stone .

Jangan lupa juga kasih bintang dan review cerita saya yang lain, supaya anak-anak saya terkenal dan banyak yang baca.

Semoga Mas Vian dan Mbak Briena bisa naik rangking. Dukung mereka dengan memberi komen, like, atau power stone.

Thank you semua, ayam flu(๑♡⌓♡๑)

PYE! PYE!

seinseinaacreators' thoughts
Next chapter