webnovel

BAB 3 The Butterfly Effect

Seorang pria bertubuh tinggi jangkung, bersetelan jas biru navy berjalan hilir mudik di ruangannya. Jam dinding menunjukkan pukul 9.57.

Cahaya hangat matahari menembusi jendela-jendela kaca besar lantai 51 itu, dan dengan sekali hentakan, tali penutupnya ditarik turun.

Matanya bergerak liar ke kiri dan ke kanan. Rambut pendeknya dijambak sendiri hingga awut-awutan dan sesekali menjerit marah. Ia menggigit ibu jari, menatap layar besar di dinding kantor, hatinya langsung tenggelam melihat kalimat di layar: Mr. Hasan is calling....

"Pak? Sebaiknya video call-nya diterima. Jika tidak, beliau akan semakin menyudutkan anda. Itu hanya akan membenarkan dugaannya."

Sebuah suara menegur pria itu dengan hati-hati. Sang pemilik suara memakai setelan pakaian kerja abu-abu selutut dipadukan dengan stocking hitam, di lehernya menggantung kalung persegi yang masing-masing miring empat puluh lima derajat, ikat pinggang kecil terlilit indah di pinggangnya yang mungil. Rambut ikalnya diikat tinggi dan memperlihatkan lehernya yang jenjang. Ia menaruh setumpuk dokumen di atas meja dengan bunyi debam yang cukup keras. Bibir merahnya mengerut sesaat lalu melirik papan nama di meja kerja bertuliskan: Setyadi Anugrah.

"Menurutmu begitu? Apakah itu saran terbaik dari seorang sekretaris dengan IPK* sempurna, hah?" Ia menatap perempuan itu dengan mata nyaris keluar dari tempatnya, "bagaimana jika ia mulai memintaku bertanggung jawab? Bagaimana kalau ia mengatakan semua ini pada dewan komisaris? Aku bisa hancur, Sarah! Hancur!" pekiknya dengan nada suara bak orang yang kehilangan akal.

"Kecelakaan di laboratorium bukanlah salah kita. Itu salah Profesor Anwar." ucap perempuan bernama Sarah itu lambat-lambat. "Dia memang genius, tapi tak ada yang menyangka kalau ia sangat ceroboh dan licik dan membuat tikus itu kabur tanpa ada usaha menangkapnya. Kita bersyukur tidak terjadi outbreak* sampai—"

"Belum! Belum terjadi!" pria itu memotong perkataan Sarah dengan teriakan histeris. Urat-urat pelipisnya terlihat seolah-olah akan pecah. "Kita belum tahu pasti seperti apa perkembangannya. Jika terjadi mutasi*, semua bisa kacau!"

Sarah menghela napas, berusaha menenangkannya. "Serum itu hanya bisa bertahan selama dua hari pada tubuh subjek. Tikus itu tidak ada apa-apanya dibandingkan manusia. Bisa saja ia sudah mati sejak kabur dari lab."

"Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan, Sarah." Ia diam sejenak, tatapan matanya menampakkan horor yang nyata hingga membuat Sarah bergidik sesaat. "Aku melihat sendiri pada subjek manusia yang mereka lakukan. Perempuan itu! Perempuan itu menua hanya dalam sehari! Sehari! Kulitnya mengkerut bagaikan tengkorak hidup! Bisa kau bayangkan itu? Sejam berikutnya berubah menjadi makhluk pemakan manusia! Para petugas medis dicabik-cabik tanpa ampun dengan gigi menjijikkannya!"

"Kontaminasinya memang parah.... Kita tak bisa berbuat apa-apa padanya. Dan... lagi pula semua petugas itu juga sudah 'dibereskan'. Aku sungguh turut berduka cita bagi keluarga mereka. Walau begitu... 'pembersihan tetaplah pembersihan'." Sarah menundukkan kepala sejenak, terlihat sedih. Ia menarik napas dalam dan dengan suara tegas berkata, "sekarang, bukan itu masalahnya. Jika Pak Hasan tak menerima informasi terbaru mengenai kasus kecelakaan di laboratorium, bisa-bisa sebuah tim dikirim ke kantor kita dan membekukan semuanya. Semua usaha Anda akan sia-sia, Pak. Apa Anda lebih memilih seperti itu?"

Pria itu terdiam sejenak, berpikir. Matanya menatap video call yang kembali muncul di layar. Ia menelan ludah berat. "Persetan dengan serum awet muda ini!" makinya kemudian menerima panggilan tersebut.

"Assalamualaikum, Pak Hasan!" Salamnya canggung, ia memperbaiki rambut dan melonggarkan dasinya sedikit, senyumnya terlihat lebih seperti sebuah cengiran orang tolol.

Pak Hasan tidak membalas salam itu segera. Ia hanya duduk di kursinya dengan tangan membentuk piramida di depan wajah, mata terpejam. Tubuhnya besar dan gemuk, rambut keabu-abuan dan hidungnya besar mirip jambu air. Ia memakai kacamata bulat berbingkai kecil.

"Pak... Hasan...?" Pak Setyadi mencoba mencairkan suasana dengan menyapa lebih ramah, kali ini senyumnya lebih baik daripada sebelumnya.

"Kau bilang pengujian ini tidak ada masalah." Ia membuka mata, raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang begitu jelas dan mengintimidasi. "Kau bilang semuanya akan beres dalam sekejap."

"Ya! Sebenarnya saya baru saja akan memberi anda informasi terbaru. Tapi, beberapa hal harus saya selesaikan terlebih dahulu sebelum laporannya diserahkan." keringat dingin mulai menerkamnya.

"Dan. Apa itu?" sebelah keningnya naik.

"Profesor yang mengepalai proyek itu adalah akar permasalahan ini. Ia lari dari tanggung jawab. Orang-orang kami saat ini sedang berusaha mati-matian menemukannya. Dan, dan..."

"DIA MELARIKAN DIRI?" suara Pak Hasan bergetar marah.

Pak Setyadi menelan ludah berat, ia memilih kata yang salah.

"Apa saja kerjamu selama ini? Apa kau pikir para dewan komisaris akan senang mendengar proyek bernilai jutaan dollar ini hancur berantakan karena kerja tak becusmu itu?" Pak Hasan memukul telapak tangannya ke atas meja.

"Saya mengerti, Pak! Tapi, kecelakaan di lab itu diluar kendali kami. Tim terbaik perusahaan sudah melakukan segala upaya untuk meminimalisir dampaknya!" ketenangan Pak Setyadi berangsur-angsur runtuh, nada suaranya makin lama makin naik setiap kali ia berbicara.

"Berani sekali kau membantahku! Apa kau minta dilengserkan, hah? Kau pikir aku punya waktu mengurusi kecoa sepertimu? Jika kau tak ingin menempatkan keluargamu di tepi jurang, sebaiknya kamu segera menemukan profesor itu! Pihak di Amerika tidak akan senang mendengar ini! Aku hanya mencoba menolong hidupmu saja selama ini. Tapi kau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Jangan salahkan aku jika suatu hari kau pulang ke rumah dengan suasana bak kuburan."

Percakapan itu berakhir seketika itu juga. Layar berubah menjadi sekumpulan titik-titik hitam dan putih. Kedua lutut Pak Setyadi gemetaran, mulutnya menganga, matanya tidak fokus seperti orang kesurupan.

"A-apa?" Ia berjalan dengan langkah berat menuju layar, "APA MAKSUDMU?!" teriaknya histeris ketakutan. "JANGAN BICARA SEMBARANGAN KAU! KAU PIKIR DIRIMU SIAPA?" tangannya mulai memukul-mukul layar, lalu mulai melempari layar tersebut dengan benda-benda berat yang bisa ia temukan di atas meja kerjanya.

"Pak Setyadi! PAK SETYADI!" Sarah bergegas menghampirinya, berusaha menahan sebuah vas bunga yang hendak menjadi pelampiasan amarah berikutnya. "Sadarlah! Amukan Anda di sini tidak akan menghasilkan apa-apa!"

"Kau benar! Kau benar!" Ia menyapu mulutnya dengan tangan, berpikir. "Segera bentuk tim khusus yang menangani kasus ini. Gunakan tentara bayaran jika perlu. Tapi, ingat! Aku ingin kau menemukan profesor itu hidup-hidup! Dia yang memulai semua ini, maka dia yang harus mengakhirinya!" Ia menghempaskan diri ke kursi, dasinya dilepas dengan kasar, wajahnya terlihat pucat sekali. "Dan! Jangan lupa pantau berita-berita aneh yang terjadi. Khususnya kasus mahasiswa yang mati terbunuh di kos itu. Kalo perlu ambil alih otopsinya. Kita perlu meminimalisir segala kemungkinan yang ada. Aku tidak ingin ada kesalahan lagi yang terjadi. Segera bentuk tim penanganan bencana, angkat asisten profesor itu sebagai ketua yang baru, ia lebih tahu segala riset sang profesor. Beri dia ilmuwan-ilmuwan terbaik negeri ini sebagai bawahannya. Aku tidak ingin sampai ada bencana zombie terkutuk seperti di film-film buatan luar negeri itu. Negeri kita sudah cukup parah dengan perpecahan yang ada di dalamnya. Dunia Internasional akan memberikan sentimen negatif pada kita, dan tak akan ada investor yang mau mempercayakan uangnya pada negara yang penuh dengan mayat hidup. Kita bisa benar-benar hancur, Sarah. Hancur! Sial!" Ia memukul mejanya dengan kepalan tinjunya. "Siapkan Protokol Nyctosiren. Kita tidak punya pilihan lain saat ini." ucap Pak Setyadi dengan nada berat.

"Tapi, Pak!" bola mata Sarah membesar, kaget mendengar hal itu. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi ditahannya mati-matian. Kemudian, ia mengangguk patuh.

"Kita tidak punya pilihan lain, Sarah, tidak punya pilihan lain. Dunia akan mengerti tindakan kita suatu hari nanti. Mungkin... malah akan berterima kasih pada kita."

"Atau mungkin menghujat kita, Pak. Kitalah yang memulai semuanya." nada suara Sarah terdengar bergetar putus asa dan kecewa.

"Maka dari itu jangan sampai dunia ini tahu. Mereka akan mencincang kita hidup-hidup jika sampai hal ini bocor." Ia membisu sesaat. "Dunia tidak butuh kebenaran, Sarah. Dunia hanya butuh apa yang perlu diketahuinya saja. Itu sudah lebih dari cukup." setiap katanya diberi penekanan khusus.

Mereka berdua saling tatap sesaat dalam keheningan yang mencekam.

"Kiamat zombie... " katanya lambat-lambat, "adalah hal terakhir yang ada dalam daftar mimpi buruk kita semua. Tak ada yang ingin keluarganya jadi mayat hidup pemakan manusia yang menjijikkan, bukan?" suasana kembali hening. "... atau dimakan hidup-hidup oleh para zombie tak berotak itu. Apa kau suka dengan fakta salah satu keluargamu dimakan hidup-hidup oleh salah satu dari mereka, atau mungkin saja secara gerombolan seperti di film-film? Sementara tubuhnya dicabik hidup-hidup, ia memanggil namamu: Sarah! Sarah! Selamatkan aku! Selamatkan aku...." Pak Setyadi memperagakannya secara dramatis di depan Sarah. "Coba bayangkan hal itu, Sarah! Bayangkan!" Ia melempar tatapan tajam dan mengancam pada perempuan itu. "Sementara kau masih bisa mengatasinya saat ini, kerahkan segala usahamu. Jangan sampai menjadi penyesalan seumur hidup yang menghantuimu. Ada kalanya kita diberi kekuatan untuk bisa mengakhiri sesuatu, bukan untuk memulai, Sarah."

"Meski itu berkaitan dengan nyawa manusia?" tanya Sarah, ia menelan ludah berat. Wajahnya lebih pucat dari Pak Setyadi.

"Meski itu berkaitan dengan nyawa manusia... 'pembersihan tetaplah pembersihan'." Ulangnya dingin seraya mengutip perkataan Sarah sebelumnya.

Sekretaris itu terkejut. Kedua tangannya gemetar, dengan suara tercekat ia berkata. "Bapak ingin menjalankan protokol itu, tidakkah para petugas medis itu sudah cukup? Apa itu tidak mengusik hati nurani bapak sedikit pun?"

"Hama... harus disingkirkan sebelum merusak. Bukan begitu?" ujarnya datar, ia tak berani menatap mata Sarah meski suaranya terdengar tanpa keraguan sedikitpun.

"Apa Anda tahu? Anda lebih monster daripada monster yang anda takuti itu." Dengan ucapan Sarah

yang penuh emosional, ia pergi meninggalkan ruangan dengan air mata menuruni kedua pipinya.

Para petugas medis yang 'dibersihkan' sebelumnya sudah cukup menguji batasan dirinya sejauh ini.

Pria itu bungkam. Ia mengepalkan tangannya dan menghantamkannya ke meja. Lagi. "ARRGH!!" jeritnya putus asa. "Kau mau aku berbuat apa, hah? Profesor sialan itu!!!" dan ia mengakhiri perkataannya dengan menggeser semua yang ada di atas meja hingga berhamburan jatuh ke lantai.

***

"Jadi? Kau batal berangkat tanggal 31?" Sasha sibuk mengecek media sosialnya via laptop, ponselnya ditahan dengan satu bahu pada telinganya.

"Ya. Masih ada yang harus aku selesaikan terlebih dahulu sebelum pulang. Aku sudah pesan tiket tanggal satu Februari nanti. Penerbangannya pukul sebelas pagi, mungkin akan tiba di Makassar pukul 14.30 jika nggak ada halangan."

"Ngomong-ngomong, aku yang akan datang sendirian menjemputmu. Jadi, kau harus bawakan aku minuman cokelat yang pernah kau kirim waktu itu. Aku nggak mau tahu, ya, pokoknya harus ada. Titik!" Ancam Sasha setengah bercanda.

"Yang benar aja, gitu, loh! Aku nggak tahu! Itu dulu, kan, cuman bingkisan gratis dari perjalanan wisata kampus."

"Kau, kan, bisa pesan online. Ya, sudah, pesan saja via online."

"Lantas, kenapa bukan kau saja yang pesan?"

"Kau... tahu, kan...?" Sasha mengecilkan suaranya, "kakakmu saat ini pengangguran intelektual kere."

Sasha terkekeh. "Nanti kalau aku sudah punya pekerjaan tetap, aku akan traktir kamu makan sushi tiga kali dalam setahun! Bagus, kan? Siapa lagi yang mau tukar minuman cokelat dengan sushi mahal? Tiga kali dalam setahun pula!"

"Daripada berkhayal kayak gitu, mending kamu cari lowongan kerja, kek! Dasar! Bego banget, sih, kakakku satu ini!"

"Yeeee. Siapa juga yang bego. Kamu, tuh!" Sasha memonyongkan mulutnya, pura-pura kesal.

Alby adalah adik bungsu. Dalam keluarga Fahreza hanya ada dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. Ia lebih akrab dengan adiknya ketimbang kakaknya yang sama-sama perempuan. Menurutnya, kakaknya itu cerewet sekali dan suka bermulut tajam pada hal-hal yang tidak perlu sekalipun. Ia tak suka dengan sikap sok ngebosnya yang main perintah kiri-kanan. Maka dari itu, sebisa mungkin menghindari segala bentuk kontak dengan kakaknya dan lebih suka menghabiskan waktu dengan adik laki-lakinya.

Sayangnya, setahun belakangan ini sejak adiknya kuliah di Bogor, rasanya begitu sepi dan sunyi.

"Jadi, kau akan sendirian menjemputku? Nggak takut apa?" sindir Alby.

"Jangan menggodaku, ya! Cukup mama yang kasih aku ceramah hari ini. Aku tak mau dengar hal itu juga darimu! Aku bukan anak kecil! Aku hampir berumur dua puluh enam tahun!"

"Ya, sudah, kalo gitu nikah sana!" Alby tergelak.

"Ini salah satu alasan kenapa aku mau pindah ke kutub selatan. Huh!"

"Kau mau apa di sana? Jadi penguin?" gelaknya semakin menjadi-jadi.

"Terserah, deh. Lupain aja. Pokoknya minuman cokelat itu harus ada! Awas kalo nggak! Sudah dulu kalo gitu, ya! Di sini sudah hampir pukul sebelas malam. Aku nggak mau bangun telat lagi, trus diomelin Riri pagi-pagi. Assalamualaikum!"

Sasha menutup telepon setelah Alby membalas salamnya, keningnya bertaut, mulutnya dimonyongkan lalu tersenyum lebar. Ia berharap kedatangan adiknya Rabu nanti akan menjadi hal yang luar biasa. []

Next chapter