webnovel

WAKTU YANG TEPAT

Dengan memakai koneksi Dady nya Marvin mencari keberadaan Ardham di mana dia tinggal.

Dalam beberapa menit saja Marvin sudah mendapatkan alamat lengkap Ardham.

Segera Marvin menghubungi Nadine dengan ponselnya.

"Hallo Nadine?"

"Ya Marv."

"Aku sudah mendapatkan alamatnya Ardham, kita tinggal membuat janji kapan bisanya kita mewawancarainya, bisa kita ketemu sekarang?" tanya Marvin

"Oke, di rumahku saja ya." jawab Nadine dengan hati senang karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan pamannya.

"Oke, aku ke sana sekarang." segera Marvin mematikan panggilannya.

Dengan perasaan lega Marvin segera meluncur ke rumah Nadine.

Hanya dua minggu waktu yang di berikan Mommy nya untuk menjadikan Nadine menjadi kekasihnya.

Sedikit ragu hati Marvin untuk mendapatkan hati Nadine mengingat sikap Nadine yang terlalu cuek dan dingin jika dengan lawan jenisnya.

"Ahhh sudahlah, itu bisa aku pikirkan nanti sambil jalan." ucap Marvin dalam hati.

Hanya beberapa menit Marvin sudah sampai di rumah Nadine, yang sudah menunggu di pintu luar rumahnya.

Nampak Nadine berdiri dengan senyum manisnya.

"Hai Nad, kita harus berangkat pagi ini, aku sudah menghubungi sekertaris Ardham, ada jadwal sore nanti Ardham mengunjugi di kota T kita harus sampai sana sebelum siang." jelas Marvin sambil membetulkan kaca mata hitamnya.

"Tidakkah ini terlalu cepat Marv? aku belum siap-siap." tanya Nadine, jujur nadine yang belum siap adalah hatinya bukan karena lainnya.

"lebih cepat lebih baik Nad, biar kita tidak ada beban dengan tugas Pak Anwar." kata Marvin beralasan.

"Baiklah tunggu sebentar." Nadine masuk ke dalam kamarnya, dan memasukkan baju ganti ke dalam tas punggungnya.

Marvin menunggu Nadine di dalam mobilnya, ponselnya yang di biarkan tergeletak di atas dashboard mobil berbunyi nyaring, dengan agak malas Marvin menerima panggilan Mommynya.

"Ada apa Mom?" tanya Marvin dengan matanya melirik ke arah pintu rumah Nadine berjaga-jaga jika Nadine sudah keluar.

"Bagaimana Marv? sudah ada kemajuan belum usahamu?" tanya Mommy nya di seberang sana.

"Belum Mom, ini baru akan pergi dengan Nadine, Marv akan hubungi Mommy jika Nadine sudah jadi milik Marv Mom." kata Marvin agak kesal dengan Mommy nya yang selalu bertanya soal Nadine.

"Ingat hanya dua minggu waktumu Marv." tegas suara Mommynya lagi.

Marvin mengiyahkan perkataan Mommynya dan segera mematikan ponselnya saat Nadine sudah terlihat berjalan menghampiri dirinya.

Nadine membuka pintu Mobil depan dan melemparkan tas punggungnya di kursi belakang.

Marvin mengamati penampilan Nadine yang begitu sangat cantik dan seksi, dengan celana jeansnya dan atasan kemeja lengan panjang warna gading, sungguh Nadine sangat mempesona.

Marvin menelan salivanya.

"Ayo Marv, tunggu apa lagi..bengong terus." kata Nadine melirik Marvin yang menatapnya tidak berkedip.

Marvin tersadar dari keterpakuannya.

"Nad, seatbeltnya." kata Marvin mengingatkan.

Nadine menarik seatbeltnya untuk di pasangnya, tapi sepertinya seatbeltnya macet, beberapa kali Nadine mencoba menariknya tetap tidak bisa.

Marvin yang tahu Nadine mengalami kesulitan segera berinisiatif membantu. Tubuh Marvin mendekat ke tubuh Nadine, tangan Marvin meraih seatbelt yang berada di samping tubuh Nadine.

Tubuh Nadine terhimpit sedikit oleh tubuh Marvin, sekilas menyeruak aroma parfum Marvin memasuki penciuman Nadine.

Aroma maskulin Marvin membuat hati Nadine berdebar apalagi saat tubuh Marvin tanpa sengaja menyentuh wajahnya.

Nadine menahan nafasnya, dan memiringkan wajahnya agar tidak tersentuh dada Marvin lagi yang terlihat jelas karena kemeja hanya di kancing beberapa saja.

Marvin kembali duduk tegak di kursinya, setelah memasangkan seatbelt Nadine. Dengan pelan Marvin menjalankan mobilnya keluar dari halaman Nadine dan meluncur menyusuri jalanan menuju Bandara untuk melakukan perjalanan ke kota T, di mana Ardham akan datang ke anak perusahaanya. Di dalam pesawat Nadine bersandar di kursi penumpang mencoba memejamkan matanya. dan menenangkan perasaannya yang berkecamuk gelisah.

Tujuh tahun yang lalu masih teringat jelas perkataan Paman Ardham jika dia tidak bisa mencintai Nadine, dan di hari berikutnya Paman Ardham tega pergi meninggalkannya untuk tinggal bersama di kota lain dengan wanita yang akan di nikahinya, Bibi Anna!!"

"Kenapa paman tidak bisa mencintaiku." jerit hati Nadine dengan matanya yang masih terpejam, di sudut pelupuk matanya terdapat setitik airmata, jemari Nadine meremas pinggiran kursi.

Sungguh Nadine sangat tersiksa dengan perasaannya, rasa cintanya masih begitu tertata apik di dasar hatinya.

Kendati sudah beribu cara Nadine mencoba melupakan namun bayangan wajah tampan dan dingin paman Ardham selalu bermain di pikirannya.

"Paman, saat kita bertemu nanti..apakah sudah tidak ada kesempatan bagiku untuk mencintaimu lagi?" pertanyaan Nadine menggantung, mengingat bibi Anna yang dulu selalu menemani kemanapun pamannya pergi.

Sungguh perasaan ini sangat menyiksa hatiku." keluh Nadine membuka matanya berlahan saat merasakan badan pesawat mulai mendarat di bandara kota T.

Next chapter