"Abriana." Lidya menunjuk kalung berliontin hati dileher Hazel.
Hazel menoleh kearah Zaidan kemudian bertanya. "Zaidan, apa maksud dari semua ini?"
Hazel kesal saat melihat Zaidan mengabaikan pertanyaannya. Dia melepaskan kalung itu tanpa berkedip sama sekali, masih memandangi wajah Zaidan dari samping. Dia penasaran tentang keanehan-keanehan yang terjadi dirumah ini, terutama pembicaraan Lidya dengan putranya, Zaidan. Entah apa yang telah terjadi pada Lidya sebelumnya, perempuan itu terlihat cukup menyedihkan dimata Hazel. Lidya seperti tak menyadari bahwa putranya kini sudah tumbuh dewasa. Dimatanya, Zaidan adalah anak remaja berusia 12 tahun.
Feeling-nya mengatakan bahwa liontin itu memang menyimpan sesuatu didalamnya. Dan benar saja, didalam liontin terdapat foto dua anak kecil berwajah bule. Wajah anak laki-laki itu sekilas terlihat mirip Zaidan, sedangkan gadis kecil disampingnya juga terlihat familiar dimata Hazel. "Apakah dia Abriana?"
Dan sepertinya itu memang foto masa kecil Zaidan bersama saudara perempuannya dulu. Terlihat seperti saudara kembar, karena wajah anak perempuan itu memiliki wajah yang mirip dengan Zaidan. Dan Hazel juga pernah melihat dua anak ini sebelumnya; pertama foto didalam dompet Zaidan dan yang kedua adalah foto keluarga berukuran besar yang menggantung dikamar apartmen Zaidan. "Zaidan …."
Masih tak ada jawaban.
Bukannya menjawab semua pertanyaan Hazel, Zaidan memilih mundur dan bersandar didinding. Memandangi punggung kekasihnya dengan tatapan sayu. Dia tahu bahwa pada akhirnya hari ini akan datang menjemput takdirnya. Jelas dia tahu, semua tentang dirinya takkan bisa disembunyikan begitu saja. Pada awalnya Zaidan mengira masa lalu tak akan lagi mempengaruhi masa depannya. Dan ia benar-benar mengira masa lalu takkan jadi boomerang untuknya dimasa depan.
Lidya bangkit, berjalan kearah nakas dan mengambil satu foto berbingkai kayu. "Kamu Abriana, putriku." Menunjukan bingkai foto Abriana dan Zaidan waktu kecil dulu.
"Mom, stop please!" pinta Zaidan dengan sangat.
Lidya tersenyum, membelai wajah Zaidan dengan kedua tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyum pilu, sedikit meringis saat merasakan perbedaan tinggi tubuhnya dengan sang putra yang jauh tinggi diatasnya. Mungkin dia mulai menyadari bahwa sosok didepannya bukan lagi bocah usia 12 tahun. Dia bukan Zaidan 18 tahun lalu, Zaidan sudah tumbuh dewasa tanpa Lidya sadari. Dia telah melewatkan perkembangan hidup sang putra, meski Zaidan sendiri sudah cukup sering mengunjunginya.
"Dimana Abriana?" gumam Lidya. Meletakkan telapak tangannya didada kiri Zaidan, membelai dan merasakan degup jantungnya.
Zaidan menoleh kesamping dimana Hazel berada. "Zel, aku ingin berbicara berdua dengan mommy." Secara tak langsung meminta Hazel agar meninggalkannya berdua dengan sang ibu.
"Ah, i-iya," ucap Hazel gugup. Berbalik dan berjalan pelan kearah pintu kamar.
"Mom, lihat kalender itu!" Zaidan menunjuk kalender didinding kamar. "Abriana sudah meninggal 18 tahun lalu," ujar Zaidan. Menyentuh kedua bahu sang ibu dan mengguncangnya.
"Abriana belum mati!"
Plakkk!
Terdengar suara tamparan keras diseisi ruangan. Lidya kehilangan kendali dan menampar keras pipi kanan Zaidan hingga meninggalkan bekas. Tidak hanya menampar, Lidya juga mendorong putranya hingga tersungkur dilantai. Setelah itu ia menangis meraung sambil memukuli punggung Zaidan dengan payung kecil berwarna kuning, payung peninggalan Abriana. "Kau tak hanya membunuh suamiku, kau juga membunuh putriku.!"
DEG!
Zaidan dan Hazel saling bertemu tatap.
Pintu itu belum sepenuhnya tertutup, Hazel baru saja akan menutup pintunya, namun tangannya berhenti seketika saat mendengar Lidya berteriak pada putranya. Zaidan jatuh berlutut memunggungi Lidya dan menghadap pintu kamar dimana disana sepasang mata hitam milik Hazel tengah menatapnya tanpa berkedip.
"Pergi!" Meminta Hazel agar pergi dan menutup pintu kamar.
Jelas Zaidan bukanlah robot, dia juga bisa merasakan sakit yang biasa dirasakan manusia pada umumnya. Terbukti saat Hazel mencubit lengannya, Zaidan akan langsung meringis sambil membalas perbuatan kekasihnya dengan menggeligiti pinggang Hazel. Namun, disisi lain Hazel juga merasakan suatu kejanggalan lain. Hazel teringat akan perkataan nyonya Sarah sebelumnya, bahwa mereka semua belum pernah menjumpai putranya menangis saat remaja sampai sekarang ini. Dia seperti manusia tanpa emosi, tidak menangis saat merasa sedih, sakit, kecewa, dan marah sekalipun.
Kenapa harus ada manusia tanpa ekspresi seperti itu?
Dari awal Hazel sudah curiga kalau cerita The Eternal Love memang benar adanya. Zaidan tidak mengarangnya untuk sebuah lelucon, pria itu membuat versi lain dirinya dalam sebuah cerita. Zaidan memang bukan pangeran, bukan juga jelmaan monster dibalik topeng dan tudung hitamnya. Hazel tahu, Zaidan mendeskripsikan dirinya dalam bentuk karakter yang hampir sama. Tentang seorang pangeran yang kehilangan jati dirinya dan juga rasa percaya dirinya.
Dan beberapa topeng kini sudah dilepasnya. Zaidan sudah menunjukan sisi lain dalam dirinya. Hal pertama yang ditunjukan adalah ketika Zaidan menyebutkan tentang 'I'm your Hero' tepat dimalam Zaidan menyelamatkan Hazel dari aksi sang penguntit yang terobsesi dengan lagu Gloomy Sunday, satu-satunya lagu dari masa lalu yang tak disukai Hazel. Dan topeng lainnya kembali terlepas tepat setelah Hazel mengetahui kalau Zaidan Abriana bukanlah nama lahir seorang Zaidan, dan Wijaya bukanlah keluarga biologisnya selama ini. Dan sekarang Zaidan membuka topeng terbesar miliknya, tentang kehidupan pribadi yang tak banyak orang ketahui.
Hazel terhanyut dengan lamunannya sendiri, hingga beberapa saat kemudian ia tersadar setelah seseorang menyentuh tangannya. "Hazel?"
"I-iya?" Hazel menoleh kemudian tersenyum.
"Ikut kakek, ada yang harus kakek ceritakan padamu," ujar Tuan Mahendra. Kemudian meminta seorang maid untuk membantunya menuruni tangga.
Perasaan gugup tak bisa dihindarinya, dia berjalan mengiringi laju kursi roda Tuan Mahendra yang didorong salah satu maid dibelakangnya. Hazel menggunakan tangga yang berbeda dengan kakek Mahendra karena tangga yang digunakan Mahendra dibuat khusus untuknya. Dilengkapi dengan kursi roda yang menempel dengan tiang, sabuk pengaman dan beberapa tombol ditangan kursi. Alat itu bisa meluncur dengan alat pengendali ditangan kursi, terlihat tidak asing karena sudah banyak orang yang menggunakannya.
"Tolong tinggalkan kami berdua." Pinta Mahendra setelah mereka sampai ditaman depan.
Dua maid itu mengangguk cepat dan langsung berbalik badan melaksanakan perintah.
"Zaidan adalah keturunan terakhir dikeluarga kami. Dia lahir dengan nama Zaidan Putra Mahendra, di Kanada, bersamaan dengan saudara perempuannya yang bernama Abriana Putri Mahendra. Dan yang dikamar itu adalah Lidya, menantu kakek, istri dari almarhum anak kakek bernama Adam Mahendra."
"Abriana adalah orang yang paling dekat dengan Zaidan. Keduanya saling menyayangi selayaknya saudara kembar," tambah Mahendra lagi.
"J-jadi, Zaidan—"
"Dia melihat dua kematian selama hidupnya," potong Mahendra sambil menundukan kepalanya. "Adam meninggal didalam mobilnya sendiri di Kanada, Zaidan adalah satu-satunya saksi yang melihat kematian ayahnya kala itu. Hal yang sama terjadi pada Abriana. Lidya menunjukan kematian untuk putrinya didepan Zaidan dan—"
"Aku?" tanya Hazel. Menunjuk dirinya sendiri.
Mahendra mengangguk. "Kau ada disana saat itu dan kematian Abriana menjadi alasan kenapa Zaidan merasa bertanggung jawab atas dirimu."
~~~@~~~
Toronto, Kanada. 1999.
Sore hari terasa mencekam saat warga digegerkan dengan penemuan mayat pria bernama Adam Mahendra didalam mobilnya sendiri. Bocah laki-laki dengan setelan jas hitam, berwajah pucat, dan bibirnya yang bergetar, turun dari jok belakang dan berpindah menaiki mobil polisi. Bocah laki-laki itu kembali terisak saat ingatan mengerikan itu kembali menghantuinya. Kedua matanya yang sendu terus menatap kepergian ambulance yang membawa jasad ayahnya.
Namanya Zaidan Putra Mahendra, orang-orang biasa memanggilnya Zaidan. Bocah berusia tujuh tahun yang memiliki paras tampan dan bola mata cokelat hazel. Dia terkenal periang, sama seperti saudara kembarnya, Abriana Putri Mahendra. Dan ia tidak sendiri, dua orang polisi menuntunnya pulang untuk memberi kabar kematian pada keluarganya.
"Where is your father, Zaidan?" tanya Lidya dengan wajah lelah bergelimang air mata.
Zaidan menunduk dengan kedua lutut melemas. "I'm sorry. Da-Daddy … pass away."
"Pembunuh! Dasar monster pembunuh!" teriak Lidya lantang. Bergegas mengambil payung kecil berwarna kuning didalam lemari. Menarik lengan Zaidan dan mendorongnya. Memukul lengan atas sang putra, menjambak, dan menamparnya cukup kejam.
"Zaidan tidak membunuh daddy, Mom," isak Zaidan kesakitan. Menggigil dalam pelukan polisi yang terus mencoba melindunginya dari pukulan Lidya.
Dua polisi dibelakangnya terisak saat mendengar bibir mungil Zaidan berbicara. Kondisinya cukup buruk untuk menjawab pertanyaan dan makian sang ibu, namun Zaidan tetap tak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan meminta maaf. Tubuh mungil Zaidan terjatuh dilantai setelah Lidya menarik Zaidan dari rengkuhan polisi dan memukul betisnya dengan payung kecil berwarna kuning. Lidya menghentikan pukulannya setelah polisi merebut payung ditangannya dan menahan tubuh Lidya.
Saat itu polisi langsung membawa Zaidan ke rumah sakit, beserta Lidya yang harus menandatangani persetujuan autopsi pada jasad suaminya, Adam. Zaidan kecil harus menjadi satu-satunya saksi atas kematian ayah kandungnya sendiri. Dia tak bisa mengatakan apapun selain menangis histeris dan pingsan. Dan setelah seorang jaksa memintanya menggambar sosok yang dilihatnya didalam mobil, Zaidan menggambar tato daun ganja dileher sang pelaku.
Sejak kejadian itu, Abriana dan Zaidan tinggal bersama kakeknya dikediaman Mahendra di Bali. Sedangkan sang ibu dirawat dirumah sakit khusus kejiwaan. Lidya drop, kondisinya sangat memprihatinkan setelah kematian Adam. Lidya menderita gangguan mental cukup parah, bahkan dia harus mengalami alzheimer diusia yang terbilang muda. Setiap harinya dia selalu pergi ke bandara untuk menjemput suaminya dari Kanada. Tubuh kurusnya tak pernah lelah menunggu kedatangan Adam dari Toronto, Kanada.
Satu-satunya memori yang tertinggal adalah hari dimana dia akan menjemput suaminya di Bandara, Toronto, dengan penuh suka cita. Sampai waktu dimana Zaidan datang membawa berita kematian, dia melupakan segalanya termasuk fakta dan akal sehat. Dan disetiap malam harinya, dia akan pulang dalam keadaan kacau, menangis, dan berteriak. Berlari kekamar Zaidan dan memukuli putranya tanpa sadar. Meskipun sudah pindah ke Bali, Lidya masih terus melakukan hal yang sama seperti di Toronto, yaitu pergi ke Bandara untuk menjemput Adam Mahendra.
Begitu juga dengan Zaidan. Bertahun-tahun hidupnya selalu dihiasi dengan rasa bersalah dan tangis tak berujung. Disebuah ruangan gelap, dengan gorden yang tak pernah terbuka, Zaidan meringkuk dipojok kamar dengan tatapan datar. Tak ada ekspresi dan emosi diwajahnya. Dia kelelahan, kesakitan, dan putus asa. Bahkan sang kakek sampai harus menggaji dokter kejiwaan atau psikiater untuk cucunya. Hingga setahun berikutnya Zaidan hidup tanpa rasa dan emosi. Tak ada lagi tangis bahkan tawa renyah yang biasa terdengar disetiap harinya. Sekalipun ia sakit, lelah, dan sedih, Zaidan tetap tak bisa menangis.