webnovel

Dia Tidak Berubah

Tanpa disadari, ia sudah berada di hadapanku, menyentuh wajahku dengan kelembutan yang sudah lama aku rindukan. Namun, kerinduan itu tiba-tiba menjadi pisau yang mengiris perlahan perasaanku, yang bisa ku rasakan di sekujur tubuhku.

Aku membeku saat ini. Aku bahkan tidak menyadari bahwa bibirnya yang hangat telah menyentuh bibirku dengan memberikan ciuman lembut, dan kemudian menjadi lebih liar.

Aroma alkohol dari napasnya begitu kuat. Bahkan semakin tajam saat lidahnya menembus mulutku melalui deretan gigi, lalu menjelajahi rongga mulutku dengan menjilati lidahku; menggigit bibir bawahku; kemudian kembali untuk menciumnya dengan liar dan penuh nafsu.

Ia bertindak begitu tiba-tiba. Tanpa mempersiapkan diri, itu membuatku terkejut. Aku segera mendorong tubuhnya untuk menenangkan diriku yang sedikit linglung karena ciumannya.

Namun, ia benar-benar enggan untuk memberikan jeda yang lama dan menarik wajahku kembali dan menciumku lebih liar, bahkan tangannya mulai memasuki piyama tipisku dengan kasar.

Perlakuan itu tidak membuatku merasa nyaman, jadi aku mendorongnya ke belakang dengan kuat agar aku bisa menjauh darinya. Ia pun segera mengerutkan kening, menatapku dengan tatapan dingin yang berbeda dari awal. Itu membuatku khawatir tentang sikapnya dengan menunjukkan kemarahan yang tertekan.

Ia bertanya dengan suara rendah yang terdengar dingin, "Apa kau masih marah padaku?"

Aku tidak menjawabnya dan terus menatapnya dengan pandangan tidak percaya di mataku.

Dalam kesunyian kami berdua, tiba-tiba ponselku berdering di kamar tidur dan seketika melarutkan suasana dingin mencekam di antara kami.

Donghae mengalihkan pandangannya ke kamar tidur kami di mana ponselku berada, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke arahku dengan cemberut.

Dengan gugup, aku pun pergi ke kamar untuk mengangkat telepon.

Namun, setelah melihat nama Daehyun di panggilan masuk itu, sesuatu yang mengerikan melintas di benakku seperti Mars yang siap menghantam bumi. Lalu, aku bertanya dengan ragu-ragu, "Ada apa?"

Tapi, tanpa menjawab, ia malah memberikan jawaban dengan sebuah pertanyaan, "Chunghee, kupikir kau sudah tidur. Kenapa kau belum tidur?"

"Oh, um, aku ..." Aku tidak bisa melanjutkan kalimat saya. Kegugupan ini terasa seperti menusuk tulangku ketika melihat Donghae berdiri di sampingku dan mengamati percakapanku bersama Daehyun di telepon saat ini.

Ini buruk. Daehyun menelepon pada waktu yang tidak tepat.

"Chunghee, apa kau baik-baik saja?"

"Ah, um ... ya, aku baik-baik saja."

Daehyun terdengar mendesah pelan, lalu berkata, "Hei, maaf karena aku tidak bisa menemanimu saat kau di rumah sakit. Aku sangat sibuk. Lain kali, aku akan datang ke tempatmu untuk melihat keadaanmu."

Mendengar perkataannya, aku segera menjawab, "Ah, tidak, tidak. Tidak apa-apa."

Akupikir Donghae hanya akan diam di belakangku. Tapi, tiba-tiba tangannya kembali masuk ke dalam piyamaku dan menimbulkan rasa geli yang tidak nyaman. Sambil terus menahan suaraku, aku berkata pada Daehyun dengan sedikit terbata-bata, "Dae ... Daehyun, ini hampir larut malam. Aku ... aku harus istirahat ...."

Mendengar hal ini, Daehyun pun menyetujui, dan kemudian menutup teleponnya.

Tetapi, menyebut namanya mungkin adalah hal yang salah.

Setelah berbicara dengan Daehyun sejenak, Donghae tiba-tiba membalikkan tubuhku ke arahnya dengan kasar, lalu menekan pipiku cukup keras. Itu mengejutkanku dan meringis kesakitan. Donghae berteriak tepat di wajahku, "Daehyun?!"

Aku mencoba melepaskan tangannya di pipiku, namun sia-sia. Kekuatannya terlalu kuat dan ia menekannya dengan kekuatan yang lebih besar.

"Siapa bajingan itu?! Nama itu terdengar tidak asing!" dengan jeda, ia melanjutkan, "Jawab aku! Kau punya mulut untuk menjelaskan omong kosong ini, kan?!" sambil berkata, dia membuang wajahku dengan kasar.

Wajahku terasa begitu sakit, namun aku berusaha menahannya. Dengan menyentuh wajah kesakitanku, aku menjawab dengan lembut, "Dia adalah presiden di perusahaan tempatku bekerja sekarang."

Aku menatap wajah merahnya yang menunjukkan emosi yang kian memuncak dan membuatku semakin ketakutan.

"Oh, jadi dia ... orang kaya itu — bos yang menelponmu pada saat seperti ini ... konyol!"

Aku tidak bisa berkata-kata. Ia tidak berubah sama sekali dan ia bahkan menjadi lebih buruk.

Namun, seperti biasa, akulah yang harus menyalahkan diri sendiri dan mengalah demi hubungan kami. Untungnya, ia mungkin kelelahan, jadi dia tidak memperdebatkan hal ini lagi dan berbalik, lalu dia berjalan pergi sambil melepas jasnya. Dia pergi ke kamar mandi untuk mandi. Dengan gemetar, aku berbaring, meringkuk di dalam selimut. Tidak peduli seberapa keras aku menahan tangis, air mataku telah kehilangan harga diri mereka dan mengalir di wajahku tanpa rasa malu.

Namun, agar Donghae tidak melihat kesedihanku, aku berusaha menahan air mataku dan menyekanya dengan menggunakan selimut.

Tak lama kemudian, Donghae pum keluar dari kamar mandi dan langsung mengenakan piyama hitam yang biasa ia kenakan, lalu berbaring di sampingku. Tangannya memeluk tubuhku dari belakang. Aku juga bisa merasakan napasnya di tengkukku. Dia berkata dengan lembut, "Chunghee, aku sangat merindukanmu. Kau bahkan tidak ingin menjawab teleponku. Apa aku benar-benar membuatmu marah pada saat itu? Maafkan aku, oke?"

Cukup melegakan saat ia tidak lagi memikirkan Daehyun. Tapi, hal lain yang masih menggangguku dan semakin mengecewakan adalah, Donghae tidak pernah bertanya mengenai bagaimana keadaanku saat ini. Itu membuatku berpikir bahwa ia tidak peduli padaku lagi.

Aku tidak ingin mendengar kata-katanya mengenai apakah ia merindukanku atau tidak, begitu pula kata 'maaf' yang ia katakan. Jika ia mengira aku marah maka ya, aku marah, namun aku tidak bisa menunjukkan itu kepadanya. Aku hanya ingin mendengar ia berkata, 'Bagaimana kabarmu sekarang?' itu akan membuatku senang.

"Chunghee, aku sangat merindukanmu," sambil berkata, ia mulai mencium leherku, dengan lembut tapi juga menusuk hatiku.

Tanpa berbalik, aku berkata dengan tenang, "Donghae, aku tidak ingin melakukannya sekarang."

"Kenapa? Apa kau tidak merindukanku? Apa kau masih marah padaku?"

Aku menghela napas dalam hati, lalu berbalik untuk menyentuh wajahnya dengan belas kasih yang tulus, "Aku tidak marah padamu. Tapi, aku hanya ingin kau mengerti bahwa aku baru saja keluar dari rumah sakit hari ini. Aku tidak bisa melakukannya."

Mendengar hal ini, ia menghela napas kecewa. "Baiklah, kalau begitu istirahatlah. Selamat malam."

Ia menunjukkan senyuman, tapi aku bisa melihat bahwa itu tidak tulus sebelum ia mencium keningku. Ia lalu mendekatiku dengan tangannya masih memeluk tubuhku. Aku hanya bisa menggenggam selimut dengan erat, menahan air mata di mataku dan menelan jeritan di tenggorokanku.

Aku tahu bahwa aku masih mencintainya dari lubuk hatiku, tetapi hubungan ini sudah di ambang kekacauan. Jika ia tidak berubah dan terus berbohong padaku, aku tidak bisa terus berada di atas hal yang tak tertahankan ini lagi. Rasanya seperti berjalan menembus api di mana jika kau tidak mati terbakar, kau akan mati karena menghirup racun. Tetapi, jika kau berhasil melewatinya, itu masih akan meninggalkan bekas luka di tubuhmu.

Semua ini hanya membutuhkan waktu untuk mati atau terluka.

Next chapter