webnovel

Bertahan

Gurunya terus mengajarkan begitu banyak pelajaran yang berharga dan menarik.

Pelajaran yang paling menarik hati Wander justru kegemaran gurunya yaitu berkebun. Ia sering merasa sayang sekali bahwa waktunya habis diisi pekerjaan rumah hingga ia hanya bisa bergabung membantu Gurunya di kebun beberapa kali dalam seminggu. Selain semadi, berkebun adalah pelajaran kesukaannya.

Ketika mereka bekerja di antara petak bunga, pohon, dan tanah, Gurunya akan tersenyum riang seperti anak kecil dan akan bicara jauh lebih banyak dari biasanya. Ia suka berceloteh dan mengajari bagaimana bunga, semak, tanaman kayu dan pohon harus dirawat dengan penuh cinta. Dari kembang sepatu sampai dahlia, dari bunga matahari sampai swalia, dari anggrek sampai orodrum, kebun Masternya merupakan kamus hidup tetumbuhan dan bebungaan.

Ketika Wander melewati bulan pertama latihannya, ia telah merasa jauh lebih segar. Memang tubuhnya terasa capek dan otot-ototnya kaku dan pegal, sakit sekali setiap penghujung hari; tapi ia sama sekali tidak merasakan gejala penyakitnya, rasa berat di tubuh atau pikirannya, atau bahkan gejala demam atau kejang. Ia mulai mampu tidur lelap sambil menjaga perhatian pada napasnya, dan ia sangat terheran-heran saat mengetahui bahwa cara tidurnya yang baru sangat menyegarkan.

Gurunya pernah berkomentar bahwa orang dewasa akan memerlukan bertahun-tahun latihan untuk bisa melakukan itu, namun Wander merasa bahwa sekali hal itu dapat dilakukan, itu justru menjadi hal yang sangat alami. Karena, bukankah manusia bernapas setiap saat?

Satu-satunya penyesalannya adalah karena tidak banyak kemajuan yang bisa ia lakukan dalam pekerjaan sehari-hari. Debu masih menumpuk di sebagian besar rumah, sementara pekerjaan rumah seakan tiada habisnya. Kalau satu selesai maka yang lain lagi sudah harus dikerjakan. Tetapi ia merasa yakin bahwa ia pasti bisa melakukan lebih banyak lagi pekerjaan kalau tubuhnya sudah lebih kuat.

Wander baru merasa sudah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya, ketika suatu malam saat bersemadi dengan Gurunya, Wander merasa sekujur tubuhnya mendadak diserang gelombang rasa sakit yang bertubi-tubi. Rasa sakit itu berbeda dari perasaan yang ditimbulkan kelelahan fisik atau akibat penyakitnya atau dari serangan kejang. Rasa sakit itu pada awalnya hanya terasa sedikit. Sensasinya seperti sengatan jarum-jarum kecil di seluruh permukaan kulitnya.

Kurt menganjurkannya untuk mengabaikan sensasi apa pun yang timbul dalam semadi, kecuali keheningan. Wander mematuhi instruksi itu dengan saksama. Sensasi itu memang hilang, tapi kembali lagi saat ia tidur, lalu hilang lagi setelah beberapa lama. Keesokan harinya rasa sakit itu kembali tapi lebih kuat dan lama. Ia berhasil menahannya sebelum rasa itu hilang.

Gurunya mengetahuinya, tapi tidak mengatakan apa pun. Wander juga tidak mengeluhkannya pada Gurunya. Karena takut merepotkan Gurunya dengan pertanyaan yang sama, Wander hanya bisa menahannya sampai hilang. Memang rasa sakit itu selalu menghilang, tapi ia selalu kembali dalam bentuk yang lebih kuat lagi.

Wander terus bertahan dan ia selalu merasa sedikit lega setiap penghujung hari yang dilewatinya. Gurunya akan memijat tubuhnya dan dari tangan Gurunya itu akan mengalir tenaga misterius yang hangat dan sejuk berganti-ganti. Daya ini akan mengalir ke seluruh tubuhnya dan semua rasa sakit akan lenyap. Itulah satu-satunya saat yang penuh kelegaan, karena sekarang saat ia tidurpun ia diserang rasa sakit yang sangat ganjil ini.

Ia terus bertahan. Menjalani momen demi momen.

Pada akhir minggu ketiga sejak kemunculan rasa sakit, perasaan yang dialaminya sudah berkembang sedemikian rupa bagaikan ia sedang dipukuli, ditendangi, atau disiksa hebat oleh orang-orang yang ia tidak bisa lihat! Kepalanya serasa dipukul-pukul dengan palu. Ia seperti berjalan di tengah terik padang pasir atau di tengah badai salju, terus berganti-ganti tanpa peringatan. Tubuhnya terus gemetaran, ia bergerak dengan limbung dan susah payah. Ia sering menjatuhkan cangkir atau piring yang tengah ia pegang. Pekerjaannya mundur jauh hingga tidak terselesaikan, tapi ia terus bertahan dan mengikuti segala latihan di bawah sorot mata misterius Gurunya.

Meskipun geming bagaikan karang, kehadiran Gurunya itu sangatlah memantapkan hatinya. Kurt kini yang memasak, kadang menyuapinya makanan. Ia sekarang mengawasinya mengerjakan pekerjaan rumah, dan melipatgandakan waktu mandi dan semadi mereka. Tetapi, rasa sakit itu tidak hilang sepenuhnya. Selalu kembali dengan lebih kuat, terus menjerangnya dalam siksa.

Bersamaan dengan itu, ia mulai merasakan gelombang energi dahsyat mulai mengalir deras dalam dirinya dari segala arah, menuju ke satu titik tepat di tengah pusat Khici-nya. Ketika bertemu, gelombang energi itu tidak menyatu atau bercampur, melainkan meletup dan meledak. Menggetarkan dan mengirimkan rasa sakit dan nyeri dahsyat ke sekujur tubuhnya.

Tapi Wander tidak goyah menuju keputusasaan. Kondisi tubuhnya memang menyedihkan, melemahkan semangatnya, membingungkan, dan sangat tidak enak, tapi ia menghadapinya. Tidak karena ia pernah mengalami sakit yang lebih buruk, tapi karena ia merasa masih mampu bergerak dan bekerja bahkan dalam siksaan itu, bukan seorang bocah yang dulu hanya bisa terbaring tidak berdaya dan bersedih di atas kasur. Pekerjaan dan latihan menjadi satu-satunya perlindungannya, jiwanya, pikirannya, dan pengabdiannya: caranya untuk berperang melawan rasa sakitnya.

Alasan kedua ia bisa bertahan adalah karena Gurunya ada bersamanya. Meskipun diam, tapi keberadaannya yang tanpa banyak berkata-kata sungguh menguatkannya. Ia telah mempercayai

Gurunya sejak pertama kali menatapnya, dan sekarang ia begitu terharu saat diam-diam menyadari bahwa dalam derita begitu hebat ia masih begitu mempercayainya.

"Sampai mati pun aku akan bertahan," demikian tekad Wander dengan gigih.

Rambut singa Kurt bergerak-gerak di bawah desir angin. Janggut dan kumisnya yang lebat bagaikan semak belukar yang bergemerisik, saat ia mengunyah rempah jugen kering. Tapi matanya tidak pernah meninggalkan sosok muridnya bahkan untuk sekejap pun. Muridnya sedang berjuang keras melakukan gerakan tarian Fudera.

Sebuah pertanyaan terus berkutat dalam benaknya, "Berapa lama lagi ia dapat mematangkan siklus ini?"

Ketika Wander telah menyelesaikan seluruh gerakan tarian itu, Kurt hanya menyebut satu kata, "Sekali lagi."

Wander tampak kaget, yang membuatnya lengah sesaat, muridnya itu segera mengernyit menahan sakit. Tubuhnya gemetar seolah kedinginan hebat, lalu sesaat kemudian bagaikan terbakar dalam bara raksasa, namun tanpa suara Wander mulai melakukan gerak lagi. Tidak satu keluhan pun ia perlihatkan. Tangannya terpentang ke dua sisi dan ia memulai gerakannya dengan perlahan.

"Efek samping dari injookha - pemberdayaan Khici ini terlalu dahsyat untuk tubuh anak kecil… Tapi sampai berapa lama lagi ia bisa bertahan dalam siklus ini?" Ia diam-diam memuji muridnya tanpa henti.

Wander yang sama masih bisa memuji teh dan masakannya, meski dengan senyum yang dibarengi rasa sakit. Masih bisa belajar, bahkan berlatih dan bersemadi.

Wander selesai melakukan tariannya dengan susah payah. Ia mulai minum air banyak-banyak, tapi keringatnya terus bercucuran bak mata air kecil. Kurt diam-diam menambahkan sedikit garam dan madu ke setiap gelas air yang diminumnya. Ia juga selalu memberi teh dalam jumlah besar kepada muridnya.

Kurt diam-diam menghitung, takjub luar biasa melihat keajaiban hidup di hadapannya, "Ketahanannya luar biasa. Melebihi bahkan orang dewasa. Sudah 1 bulan lebih 3 hari…"

Hari itu, ia sedang menimba air dari sumur. Ia mengisi guci-guci air yang berjajar di tembok dapur. Ia sedang mengisi guci besar yang kedua ketika ia mendadak merasakannya!

Dadanya bagaikan meledak! Ia mencoba bernapas, tapi tidak bisa! Ia bagaikan mengisap api! Terkejut luar biasa, ia mengembuskan napas, tapi rasanya seperti mengeluarkan gumpalan es batu dari dadanya. Tubuhnya terlipat ke depan dan embernya terjatuh. Ia merasakan rasa kejang yang luar biasa diiringi ledakan rasa sakit ke seluruh tubuhnya! Lumpuh, ia merasa bagaikan dipanggang di pusat Khici-nya, kepalanya bagai dibakar dan jari-jarinya bagai ditanam dalam es. Ia tidak menyadari uap panas keluar dari pori-pori kulitnya yang sekarang merah bagai kepiting rebus.

Ia lalu merasakan ledakan yang amat dahsyat dari dalam pusat Khici-nya. Melebihi ledakan-ledakan kecil yang ia alami setiap hari digabung!

Lalu, semuanya mulai gelap, tapi ia melihat bayangan keemasan menaunginya, sebelum semuanya gelap gulita...

Bandul jam meratap

Ia harus berayun terus selama-lamanya

Bayangkan miliaran, triliunan detik lagi...

Tak terbayangkan siksanya

Jam besar di pojok berkata bijak,

"Untuk apa memikirkan itu? Jalani saja seayun demi seayun."

Bandul jam tak lagi tersiksa.

Jadeteacupcreators' thoughts
Next chapter