DEAD ZONE
Zombie Crisis
-Chapter VI-
™Alice POV™
Semuanya tampak gelap gulita setelah sebuah insiden kecelakaan yang telah menimpah diriku.
Entah apa yang terjadi terhadap rekanku, aku pun tak mengetahuinya hingga pada akhirnya kini mataku mulai terbuka.
Cahaya lampu yang bersinar terang tampak menyilaukan pandangan mataku, hingga aku mencoba untuk menghalangi sinarnya dengan kedua telapak tanganku.
"Arrgk! Ash...! Kenapa kepalaku masih terasa pusing?" desisku seraya bangkit dari tidur panjangku,
"Dimana aku... Ah, apa yang telah terjadi padaku... Dimana Michael?" ucapku sekali lagi dengan pandangan mata yang menyebar kesepenjuru ruangan.
Kini aku telah berada di dalam sebuah ruangan pribadiku, dimana aku yang mendapati diriku tengah duduk bersandar di atas ranjangku.
Sesaat aku terdiam sejenak, mengingat sebuah kisah dimana aku yang telah terpisah dengan rekan baruku setelah insiden kecelakaan itu.
Perlahan kucoba untuk bangkit dan beranjak pergi meninggalkan kamarku, dimana aku yang kini tengah berada di sebuah koridor setelah diriku berhasil menutup pintu kamarku.
Kini aku mulai berjalan meskipun langkahku masih terlihat sempoyongan. Aku tahu bahwa seseorang, mungkin puluhan anggota Mercenery telah menemukanku dan membawa diriku ke dalam markas. Namun yang terpenting saat ini ialah, aku harus bergegas menemui ketua anggota untuk menanyakan keadaan Michael kepadanya.
Setelah aku berhasil melewari koridor, kini diriku telah berada di dalam sebuah aula, dimana aku yang tengah mengamati suasana penuh warna. Beberapa anak kecil tampak terlihat berlarian di aula utama balai kota. Senyuman mereka begitu manis, dengan raut wajah yang dipenuhi oleh keceriaan disetiap sudut mata memandang.
Aku tersenyum, untuk sesaat aku sempat meneteskan air mata kebahagiaan setelah diriku mendapati para warga yang tengah menjalankan aktifitas mereka di di halaman depan gedung balai kota.
Mungkin aku terlalu bahagia hingga tidak terasa bahwa air mataku kian berlinang membasahi pipiku.
"Alice, kau sudah siuman?" suara itu terdengar lirih setelah terdengarkan olehku. Dan sepertinya pemilik suara itu tampak familiar untukku hingga diriku harus membalikan tubuh dan mendapati seseorang yang kini tengah berdiri di hadapanku.
"Michael?! Ka-kau masih hidup?" ucapku tergagap kaku, entah perasaan sedih ataukah bahagia setelah aku melihatnya yang kini tengah berhadapan dengan diriku.
Michael sedikit tersenyum kepadaku dengan jemari yang kini tengah ia letakan pada pipiku untuk mengapus air mataku. Sesaat ia berkata,
"Semuanya berkat kau Alice... Tanpamu, mungkin aku telah mati."
Serentak aku mulai mendekapnya, dimana aku yang kini tengah merasakan betapa indahnya sebuah pertemuan meski pada awalnya cukup menyakitkan. Ia membalas pelukanku, tidak lupa aku untuk menyandarkan kepalaku pada dadanya.
"Apapun yang terjadi, jangan pernah kau tinggalkan aku... Aku, aku telah mengira bahwa kau telah tiada."
"Tidak Alice, aku masih hidup... Aku akan selalu hidup untukmu. Alice, aku pun juga berpirikan sama denganmu. Seandainya kita dapat-"
"Ehem! Sudah cukup dramanya, mari kita pergi ke ruang rapat." ucap Helen ketus memberikan sebuah perintah untuk berkumpul pada kami berdua.
Persetan dengan ucapan Helen, rasa rinduku yang tak kunjung padam, seakan aku enggan untuk melepaskan pelukanku pada Michael.
Helen semakin kesal terhadapku. Entah apa yang tengah ia pikirkan hingga seluruh jemarinya mengepal.
Emosinya semakin melunjak, raut wajahnya pun mulai menunjukan kekesalan yang amat tak terduga setelah dirinya mendapatiku yang kini tengah berciuman mesrah dengan Michael Christopher,
Helen semakin tak kuasa melihat pemandangan tersebut, hingga pada akhirnya ia harus membalikan tubuh dan beranjak pergi meninggalkan aula utama. Sesaat sebelum ia melangkah maju untuk meninggalkanku, dirinya sempat berkata bahwa ia akan menunggu kedatangan kami di ruang rapat.
Setelah aku saling melepas rindu bersama Michael, kini sudah saatnya bagi kami yang harus berkumpul pada suatu ruangan yang telah direkomendasikan oleh Helen, ketua dari organisasi sukarelawan yang dibentuk sejak awal terjadinya insiden penyebaran wabah virus mematikan tersebut.
Disebuah ruangan balai pertemuan tampak telihat beberapa rak yang tampak penuh dengan beraneka ragam buku tebal beserta dokumen penting lainnya. Sementara itu, kini aku mulai melihat Helen yang tengah berdiri dari balik jendela dengan sebelah tangan yang di pergunakan untuk menyangga dagunya.
Suara redap langkah kaki menciptakan sedikit kegaduhan yang mampu membuyarkan lamunannya.
Untuk sesaat ia mulai berpaling dan mendapatiku yang kini berjalan menghampirinya.
"Helen, aku minta maaf soal-" belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, serentak ia segera berkata,
"Lupakan saja, ada hal penting yang perlu kita perundingkan sekarang."
Kini ia berdiri tegak di sebuah meja bundar yang di kelilingi oleh beberapa anggota bersenjatakan senapan serbu. Dan salah satunya adalah Michael,
Dengan jemari telunjuknya yang lentik, Helen bersikeras untuk menunjukan kepada personilnya tentang keberadaan posisi kami pada selembaran kertas yang menggambarkan dena lokasi ibukota New Castile beserta isinya.
"Dalam jangka pendek ibukota New Castile akan segera di hujani oleh bom atom oleh pesawat tempur AS, terutama pada markas kita." ucapnya dengan tegas di hadapan beberapa pria yang tengah berdiri di depannya.
Michael mengangguk, ia mengerti dengan jelas apa rencana yang akan di susun oleh Helen, namun ia hanya menunggu kesempatan untuk berbicara selagi Helena menjelaskan keseluruan tentang misi pelarian sebelum terjadinya pemusnahan di ibukota.
"Apa?! Apa yang telah kau katakan, New Castile adalah tempat kelahiran kami, tentu saja pihak negara lain tidak bisa seenaknya melakukan hal itu terhadap kita." sahut George, pria berkumis tebal yang berdiri di samping Michael,
"Helena, mengapa kau merahasiakan ini kepada kami sejak awal pertama kalinya kau mendirikan organisasi sukarelawan di kota ini."
Senyuman miris itu kembali terlihat pada saat sorot mata Helena menatapku yang tengah berada disampingnya.
"Karena ini adalah misi rahasia, tugasku hanyalah untuk mengevakuasi korban yang selamat tanpa adanya paksaan. Dan apabila kau tidak menyukai rencanaku maka tetaplah tinggal, aku tetap akan memimpin seluruh pasukan beserta para warga sipil, termasuk anak-anak." ujarnya kepadaku. Namun entah mengapa, aku mulai merasa bahwa disetiap ucapannya terkesan kasar hingga diriku merasa tersudutkan sebagai wakil ketua.
"Helen telah menjelaskan sebagian dari misi yang telah di perintahkan langsung oleh kepresidenan AS, maka dari itulah... Alice, semua ini bukan hanya sekedar misi pribadi, namun demi memyelamatkan generasi bangsa di kota ini." Sahut George, mencoba untuk menjelaskan semuanya terhadapku.
"New Castile adalah kota kelahiranku, selayaknya aku bertugas untuk melindungi kota ini dari kehancuran.
Kau! Kau tidak bisa melakukan sebuah rencana sesuai dengan apa yang telah kau pikirkan! Aku beransumi bahwa... Orang-orang dari negara AS, terutama kota Dunhill City-lah penyebab dari wabah penyakit miaterius ini!" ucapku kasar dengan pandangan mata yang menyebar, menatap mereka semua dengan penuh kebencian yang cukup mendalam.
"HENTIKAN ALICE! Kau sama sekali tidak mengerti... Kedatangan kami kesini bukan untuk bermusuhan, melainkan demi menyelamatkan warga yang tersisa agar tidak musnah dan tiada. Camkan itu!" geram Michael kepadaku dengan jari teluncuk yang mengacung ke arahku.
"Ahk?! Teganya kau!"
"Maafkan aku Alice, namun ini adalah perintah dan kami harus melaksanakannya demi kepentingan bersama. Pikirkanlah mereka Alice... Anak-anak... Ibu hamil dan orang tua, mereka membutuhkan bantuan kita sebagai seorang pahlawan."
"Michael benar, aku setuju dengan ucapannya... Alice, berjuanglah bersama kami." Sahut Helena.
Aku terdiam sejenak, termenung akan semua peristiwa yang selama ini telah merenggut keluargaku. Sebuah ancaman wabah penyakit yang kian marak hingga hampir membuat seluruh penduduk di ibukota New Castile punah.
"Baiklah... Mari kita tuntaskan semuanya." ucapku lirih.
-Bersambung-