Gelora π SMA
Aku segera pulang. Mengendarai motorku dengan kecepatan sedang. Tak ada yang aku pikirkan, aku hanya merasa lebih tenang dan lebih memahami mana yang sebenarnya teman sejati. Bukan sekedar teman baik atau pun yang berpura-pura baik.
JEDEEEEERRRR! DUMMMMM!
Tiba-tiba terlihat sambaran kilat diiringi dengan suara guntur yang menggelegar. Lalu, tak lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya. Bagai air bah dari langit yang mengguyur bumi. Butiran air hujan itu memukul-mukul tubuhku yang sedang meluncur di jalanan. Karena aku tidak membawa jas hujan, akhirnya aku memutuskan untuk menepi dan berteduh di bawah sebuah halte. Bersama dengan orang-orang yang memiliki nasib serupa, kami semua berjubal dan berlindung di bawah atap halte untuk menghindari serangan air hujan yang bertubi-tubi.
Aku berdoa "Ya Allah,(Jadikanlah) hujan ini adalah hujan yang bermanfaat'' (Allahumma shoyyiban nafi'an).
Badanku mendadak menggigil, karena sebagian pakaianku telah basah, hujan angin dan petir ini membuat perasaanku jadi was-was. Aku sedikit takut walaupun aku berada di antara cukup banyak orang. Sekujur tubuhku gemetar, gigiku gelatukan, wajahku pun mungkin pucat. Aku benar-benar seperti mengalami hipotermia. Super kedingingan. Aku menggosok-gosokan telapak tanganku untuk meningkatkan suhu tubuhku, namun itu belum cukup untuk menghalau rasa dingin yang kian menusuk tulang.
Di saat kondisi yang semacam ini, tiba-tiba aku merasakan ada sentuhan hangat yang menyelimuti tubuhku. Ada seseorang yang meletakan jaketnya di punggungku, sehingga jaket itu memberikan rasa hangat yang sangat nyaman. Aku langsung mendongak ke arah seseorang yang berhati baik tersebut dan aku terkesiap ketika melihat siapa gerangan yang rela melepaskan jaketnya demi melindungi aku.
''Ran!'' Aku melihat sosok Randy di hadapanku. Cowok itu tersenyum tipis. Tak ada kata yang dia ucapakan. Dia hanya memberikan tatapan teduh yang seolah berkata, ''Pakailah jaket itu, supaya kamu tidak kedinginan.''
Aku ingin melepaskan jaket ini tapi Randy memberikan isyarat, agar aku mengurungkan niatku ini. __Wah ... Randy, kamu baik sekali. Kamu rela merasakan kedinginan agar aku mendapatkan kehangatan. Walaupun kamu diam, aku memahami maksud dari kebaikanmu. Aku sadar bahwa perasaan sayang Randy memang begitu besar terhadapku. Aku yakin dia tidak akan benar-benar meninggalkan aku meskipun aku memohon kepadanya supaya dia menjauhi aku. Aku sungguh terharu dengan pengorbanannya.
__Randy, maafkan aku ... aku terpaksa harus menjauhi dirimu, karena aku tidak mau terlibat konflik yang semakin rumit antara aku, kamu dan Rudy. Kuharap kamu bisa mengerti, Randy.
Hujan mulai reda, sebagian orang yang berteduh sudah meninggalkan halte dan melanjutkan kembali perjalanannya. Satu per satu mereka pergi hingga hanya menyisakan aku dan Randy saja di halte ini. Kami masih saling membisu. Hujan di siang ini seolah membuat kebekuan di antara kami berdua. Kami saling memandang tapi tak saling berujar. Aku juga merasa lidahku terasa kelu untuk berkata-kata. Padahal, aku ingin sekali berucap kepada cowok tampan berhati malaikat ini. Aku ingin bertutur bahwa aku sangat berterima kasih dengan semua ini. Terima kasih untuk jaketnya. Tapi, entah mengapa mulutku mendadak terkunci dan sulit untuk membuka suara.
Hujan benar-benar sudah reda. Saat itulah aku melepaskan jaket Randy yang telah bersandar di tubuhku dan memberikan rasa nyaman karena kehangatannya. Kemudian tanpa satu pun kata aku menyerahkan jaket ini ke tangan Randy. Ketika itu, mata kami saling beradu. Bola mata Randy yang bening memantulkan sejuta makna yang hanya bisa aku pahami sedikit. Mata bening itu seakan mencerminkan hatinya yang berkata, ''Aku menyayangi kamu, Poo ...''
__Waduh ... Randy kenapa kamu diam saja, kenapa kamu tidak mengungkapkan isi hatimu yang sebenarnya.
__Dan kamu, Poo ... mengapa kamu mendadak jadi bisu begini. Apakah kamu tidak memiliki sedikit pun rasa terhadap Randy. Tidak bisakah kamu berakting untuk membisikan gelora asmara yang bergejolak dalam jiwamu. Sebuah Gelora Gay anak SMA!
Ah ... tidak!
Kami tetap dalam kebisuan yang kaku. Aku dan Randy hanya bisa saling berempati lewat gestur dan tatapan mata hingga aku pergi meninggalkan halte serta Randy yang masih saja terpaku di dalam tempat berdirinya. Cowok berambut ikal itu hanya melepaskan senyuman dingin untuk mengiringi kepergianku.