Arthur menghindari semua tinju Earl dan membuatnya semakin marah dan malu bersamaan. Dengan kesal Earl menahan tangan Arthur. Kekuatan Earl benar-benar tidak bisa Arthur tangani ketika ia mencengkram dengan kuat kedua tangan Arthur dan menatapnya dengan keji. Pipinya bersemu merah dengan nafas terengah.
Earl malu sekali mengingat kejadian itu. Belum lagi ketika Arthur mengungkitnya dan melakukan body shaming pada Earl. Itu hal memalukan yang pernah Earl lakukan seumur hidupnya. Earl ingin menghabisi Arthur sekarang juga, menatapnya keji dan langsung kembali melayangkan pukulan demi pukulan.
Dan ketika bodyguard mulai terlihat di depan mata. Earl dan Arthur dengan refleks yang cepat menembak mereka secara bersamaan. Dan para bodyguard pun tumbang.
"Earl. Sakit!" pekik Arthur saat Earl malah beralih menjambak rambut Arthur. Earl sudah gemas dengan tingkah Arthur. Mata Earl memerah berkaca-kaca ketika melihat Arthur masih dengan wajah mengoloknya.
"Jangan pernah katakan itu di depanku lagi," putus Earl dan bangkit. Ia segera berlari meninggalkan Arthur yang masih terbaring di lantai dengan ekspresi gelinya.
Karena kesal dan malu, Earl berlari menjauh dari Arthur. Sejauh mungkin. Mendengar suaranya saja sudah membuatnya sakit hati. Sumpah serapah terus terlontar dari bibir tipisnya, bahkan tak jarang Earl menggeram gemas. Berusaha melampiaskan amarahnya.
Earl pun kembali fokus pada tujuan. Ia harus bisa keluar dari tempat ini lewat jalur yang lain. Earl kembali mengutuk karena ia meninggalkan tas pinggangnya di gedung itu. Perutnya terasa lapar dan tenggorokannya sangat kering sekali. Dan panas ditubuhnya tidak juga mereda karena Earl yang tidak bisa tinggal diam selama situasi terdesak seperti ini.
Seharusnya bagi Earl bisa mencium aroma sesuatu. Tetapi karena kepalanya terlalu pusing hingga sulit bagi Earl menggunakan penciumannya. Kelopak mata dengan bulu lentik dan panjang Earl berkali-kali berkedip memfokuskan matanya yang tiba-tiba memburam.
Brakk
"Earl? Kau tidak apa-apa?" Earl menatap Arthur dengan bayangan yang buram sebelum Earl kembali pingsan.
Arthur panik seketika saat ketika menyusul Earl, ia melihatnya berpegangan pada tembok dan terjatuh ke lantai. Sejak awal Arthur bisa tidak menyadari keanehan Earl. Dengan bodohnya Arthur. Ia pun segera membawa Earl menuju bilik lab dan membaringkannya di lantai bawah meja. Tidak butuh waktu lama bagi Arthur untuk mengetahui panas tinggi Earl.
Melepaskan jasnya dan memakaikannya pada Earl. Suhu dingin di dalam bilik bisa saja membuat demam Earl semakin bertambah parah. Diraihnya pergelangan tangan Earl dan mengukur denyut nadinya, setidaknya Earl masih bisa bertahan sebentar untuk membawa Earl ke rumah sakit terdekat. Arthur mendengus kasar.
"Ini sudah hitungan kedua kau pingsan? Beruntung yang kedua ini aku yang menemukanmu," kata Arthur kesal setengah mati.
Kondisi sakit seperti ini masih sanggup memaksakan diri. Arthur tidak suka dengan itu. Walaupun Arthur tahu jika Earl akan selalu seperti itu. Dengan segera Arthur mengeluarkan ponselnya dan menelfond Jason. Dan sangat disayangkan jika Jason pun tengah sibuk kali ini.
"Kita pergi sekarang," Jason memutar matanya kasar.
"Baru sekarang? Kau masih punya banyak waktu sampai orang-orang militer datang mengepung tempat ini,"
"Siapkan mobil. Kita putar arah ke distrik K langsung,"
"Baiklah,"
Arthur pun dengan segera mengangkat tubuh Earl dengan lembut. Menggendong dalam pelukannya dan berjalan menuju pintu keluar belakang. Sejujurnya Arthur sudah mengetahui sela dari ruang bawah tanah ini dengan baik. Hanya saja, ketika ternyata Earl tidak tahu letak pintu keluar, Arthur ingin berlama-lama bersama Earl.
Arthur dapat merasakan tubuh Earl yang menggigil sebelum mereka berdua memasuki mobil dan segera pergi meninggalkan distrik J yang penuh dengan tembakan peluru itu. Membawa hawa menyengat Arthur yang siap membunuh siapapun. Jason melirik Arthur dari kaca depan yang kemudian menggelengkan kepalanya pasrah.
-Kantor Pusat distrik A-
Ricard kali ini duduk dengan gelisah bersama dengan General yang baru di dalam ruang kerja anak buahnya. Terlihat sepasang matanya menatap Tom dan Duke berharap cemas Earl baik-baik saja dengan penyamarannya dan segera mengabari tim. Bukan tentang bagaimana misi ini akan berhasil, tetapi karena kondisi wanita itu sendiri. Ricard sudah mengomeli Tom dan Duke sore tadi hingga urat-urat lehernya terbentuk sempurna karena membiarkan Earl pergi dengan kondisi seperti itu.
Ricard pun mendengus kasar. Walaupun pada akhirnya Ricard harus memasung Earl agar tidak pergi, maka akan Ricard lakukan. Tetapi mengingat Earl dengan sifat ambisiusnya, mungkin ia akan berlari menggunakan tangannya. Ricard menggelengkan kepalanya kesal.
"Tenanglah sedikit. Kita tinggal menunggu kabar dari Earl lagi. Yakinlah ia baik-baik saja," General senior wanita dengan sikap tenangnya menegur Ricard.
Tom dan Duke setidaknya sedikit merasa tenang setelah mendengar tutur kata General Feli. Ada naluri keibuan yang tenang saat mengatakannya. Walaupun mereka semua sama-sama tahu karena khawatir yang sama terhadap Earl.
Tom seperti akan meledak ketika menunggu kabar dari Earl. Jari tangannya tidak berhenti menjentikkan di atas keyboard. Demi tuhan, jika sesuatu terjadi pada Earl, tentu saja Tom akan menyesal seumur hidupnya dan berhenti dari militer. Baginya, Earl yang sekuat apapun ia, ia tetap seorang wanita yang butuh perlindungan. Tom mengusap wajahnya pasrah.
"Arrghh! No Limit lagi!" teriak Duke jengkel. Ia pun bersandar di kursinya dengan pasrah dan menatap layar komputernya dengan tajam. Mulutnya terkatup menahan cacian dan jarinya ia ketukkan di atas meja tidak sabaran. Tom melirik layar komputer Duke dan menghela nafas berat.
"Sebaiknya hentikan saja penyerangan ke Arthur. Kau fokuslah pada distrik J, jika bisa, masuk akses ruang bawah tanahnya lebih bagus lagi,"
Tom pun mengamati pola hacker di komputer Duke. Hal yang sulit ketika mereka banyak sedangkan tim hanya satu orang yang melawan. Tom menatap jam tangannya risau. Pukul satu dini hari, setengah jam lagi Arthur akan tiba di distrik J. Dan Earl tidak ada kabarnya, Tom menggigit bibirnya gelisah.
"Menunggu seperti ini membuatku frustasi," gumam Tom setres.
Dan ketika ponselnya berbunyi, Tom pun dengan secepat kilat menyambarnya dan wajahnya cerah seketika saat melihat nama Earl disana.
"Earl!" teriak Tom sangat senang.
"Tidak perlu berteriak, Ok? Hahh hah..." suara Earl di seberang sana terlihat berat karena nafas terengah-engah Earl.
"Kau baik-baik saja? Katakan situasi sekarang,"
"Well, aku baik-baik saja. Aku akan menyalakan GPS sekarang. Sampaikan pada Ricard untuk menyiapkan satu kompi pasukan penyergap. Banyak pasukan bersenjata disini," Tom menahan nafasnya.
"Kau yakin baik-baik saja, Earl? Aku bisa segera menyusul kesana sebelum pasukan tiba,"
"Tidak! Kau dan Duke bisa datang bersama pasukan. Terlalu beresiko jika kau kemari. Aku hampir kehilangan nafas untuk bersembunyi disini, Ok? Jangan membuatku bertambah sibuk," omelan Earl pun menghangatkan ruangan seketika. Tom terkekeh kecil.
"Baiklah. Aku akan melacakmu dari sini. Apa rencanamu setelah ini?"
"Aku sudah menemukan titikmu Earl," kata Duke senang sekali. Ricard pun berjalan ke arah meja mereka dan menghela nafas lega.
"Tentu saja aku akan menjelajah ke dalam. Aku masih mencari celah saat ini. Yang sialnya, aku sekarang berada di posisi kurang menguntungkan,"
.
.
.
To be continued