webnovel

Bab 27. Jimmy Parker

Earl menatap Arthur dengan tatapan prihatin yang dibuat-buat.

"Oh! Kasian sekali." Arthur mendengus sebelum ia menarik pinggang Earl agar mendekat ke arahnya. Earl tentu dengan beringas memberontak dan tidak segan meninju paha Arthur karena mulai berani melecehkannya.

"Sialan! Kau mencari-cari kesempatan lagi!" Earl mengomel hebat sedangkan Arthur hanya diam menatap Earl lembut.

Dari tatapan matanya, Earl sangat tahu jika ini pertama kalinya bagi Arthur berinteraksi dengan seseorang yang baru. Kontak fisik yang ia lakukan ini selalu berakhir tidak jelas. Contohnya saja kejadian celana dalam berendanya waktu itu. 

"Aku senang kau sembuh Earl... Jangan membuatku khawatir." 

Nada suara berat ini mungkin akan menjadi suara favoritenya sekarang. Earl sempat terdiam cukup lama setelah Arthur menyatakan bahwa dirinya khawatir karena kecelakaan itu. Apakah selama empat bulan pria itu mengkhawatirkannya? 

"Aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir." Ujar Earl yang tersadar bahwa wajah Arthur sudah mendekat ke wajahnya.

Dan bibir mereka bersentuhan begitu lembut, Earl tidak bisa memikirkan apa ada teori untuk hal ini. Ia sangat merasa aneh ketika tubuhnya merasa nyaman dengan pelecehan yang sudah terlalu sering Arthur lancarkan ini.

Earl memang tidak memiliki pengalaman apapun dalam hal percintaan ini selama hidupnya. Tapi jika dengan mudahnya ia terbuai oleh ciuman ini, apakah cinta memang semudah itu? Arthur memiringkan sedikit kepalanya dan memperdalam ciuman itu hingga ia meraih belakang kepala Earl. 

Ciuman itu membuat Earl tidak henti-hentinya berdebat dengan pikirannya sendiri. Bibir yang saling bertaut itu menyisakan sebuah aliran yang asing dalam benak Earl. Seperti Arthur yang meluapkan segala emosi dalam dirinya dengan ciuman itu. Rasa khawatirnya selama ini.

-Flash back off-

Earl langsung mengusap wajahnya kasar setelah adegan ciuman itu terakhir diingatnya. Meninggalkan tiga orang yang kebingungan ketika melihat wajah Earl yang memerah hingga ke telinga. Bahkan Earl memakan makanannya dengan gemas dan penuh emosi.

Moodnya seperti cuaca, cepat berubah-ubah batin Tom memaklumi.

-Perjalanan pulang-

Sore yang menyebalkan menghantui Earl. Ia duduk di kursi mobilnya dan mengumpat sepanjang jalan karena macet. Siapa yang sangka ia jadi lebih lama untuk sampai di rumah. Padahal Earl ingin sekali berendam air hangat karena tubuhnya yang lelah, terutama mentalnya. Tangannya melirik jam tangannya berulang kali.

Ia pun dengan kesal membelokkan mobilnya ke arah lain. Yang secara tak sengaja ia melihat sebuah Mall besar di kota A. Earl pun memilih untuk mampir sebentar ke mall itu sambil menunggu lalu lintas kembali lancar.

Ini pertama kalinya Earl menginjakkan kaki di Mall bergengsi seperti ini. Banyak sekali dekorasi lampu kristal di sepanjang mata memandang. Air mancur besar dengan patung kuda yang berdiri dengan kedua kaki belakangnya dan berpose berwarna emas. Earl lebih tercengang lagi ketika melihat arah Ballroom lantai bawah. Disana ada Ice skating park yang luas di seluruh lantai bawah.

"Betapa rugi negara membuat Mall seperti ini. Berapa anggaran untuk Mall gila ini ck ck ck." Earl bergumam sambil berkacak pinggang. Ia lalu berjalan di tepi pagar pembatas agar ia dapat melihat dengan jelas anak-anak kecil bermain skating dari atas.

Sebenarnya Earl sendiri tidak pernah bermain ice skating. Maka ketika matanya melihat beberapa pelatih ice skating bermain disana, Earl sedikit tertarik. Yah, Earl jadi teringat ia ketika kecil ia ingin berselancar juga di atas es sewaktu ayahnya masih hidup. Ia pun menikmati pemandangan itu sambil meletakkan dagunya di atas lengan yang tersandar pada pagar.

Tapi tidak sengaja ia menoleh dan matanya langsung tertuju pada seorang anak yang berdiri di tidak jauh darinya. Bocah itu hanya berdiri dan menatap ke arah bawah dengan sorot mata yang sulit ditebak.

Mata Earl juga menangkap kaki bocah laki-laki itu yang mengenakan sepatu skating. Jujur saja, Earl berpikir bahwa bocah laki-laki ini mungkin tidak tahu jalan menuju ke lantai bawah.

Ia pun mendatangi bocah laki-laki itu.

"Hey Robin Hood kecil, sepertinya kau membutuhkan sesuatu." Ucap Earl sedikit kaget dengan paras bocah laki-laki itu.

Matanya yang bulat penuh menatap Earl dengan tatapan terkejut. Ketika ia menghadap Earl ia tidak berpegangan pada kaca dan akibatnya ia oleng dan jatuh ke belakang. Earl terseyum lucu ketika bocah itu kemudian berusaha berdiri dan berhasil berdiri sambil mengelus pantatnya yang sakit.

Bocah itu langsung cemberut sambil memperhatikan pakaian yang Earl kenakan.

"Aku tidak butuh apa pun." Ucapnya dengan nada khas bocah menggemaskan. Earl tersenyum lucu dan berjongkok untuk menyesuaikan tinggi bocah laki-laki itu.

"Aku bukan ibu peri yang akan mengabulkan permintaanmu, tetapi kau bisa meminta permintaan padaku." Kata Earl begitu senang hanya dengan melihat bocah laki-laki yang berpakaian setelan kemeja dan celana panjang, persis seperti pebisnis cilik.

Earl seperti mengira bocah itu akan memintanya untuk mengantarnya ke lantai bawah untuk bermain ice skate disana. Tetapi ketika melihat bocah itu menatap ke bawah, ia langsung menatap tajam pada seseorang disana. Entah siapa, Earl bahkan tidak bisa melihat dengan jelas karena lampu-lampu kristal yang menghalangi dan membuat mata Earl sakit.

"Aku tidak ingin bermain skate dengan Tante Rose." Dengan lucunya bocah itu melipat kedua tangannya di depan dada seakan-akan ia bosnya disana. Earl bingung.

Siapa Tante Rose? Earl menatap ke arah pandang bocah itu lagi dan berusaha menghindari lampu-lampu. Disana terlihat seorang wanita muda dengan pakaian yang cukup membuat Earl berkata bahwa bocah ini memiliki status terpandang. Ia pun memegang pundak bocah cilik itu.

"Kalau begitu, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu, Robin Hood kecil. Karena kau melakukan hal yang salah saat ini." Bocah itu langsung menoleh dan menatap Earl dengan ekspresi sedih. Earl tersentuh.

Beberapa anak di dunia terkadang tidak menyukai anggota keluarga dari orang tuanya karena banyak faktornya. Earl bisa menebak jika bocah kecil ini memiliki polemik khusus ketika ia datang ke tempat ini yang seharusnya untuk bersenang-senang dengan keluarganya, berakhir bersama orang lain. Dan tidak bersama dengan ibu atau ayahnya.

"Tapi aku benci dengan Tante Rose." Bocah polos itu tertunduk. Raut wajahnya terlihat sangat sedih sambil memainkan ujung dasinya yang panjang seperti ia selalu merasa kesepian.

"Apakah dia jahat padamu?" Earl bertanya sungguh merasa teriris hatinya melihat bocah kecil nan kesepian itu. Di elusnya puncak kepala si bocah dengan kasih sayang. Bocah itu menggeleng "Lalu kenapa Robin Hood kecil tidak suka padanya?"

Bocah itu kemudian duduk di lantai dengan lutut yang di tekuk. Earl pun mengikutinya.

"Karena Tante Rose penipu. Dia baik kepadaku karena ingin ayah memperhatikannya. Aku tidak suka penipu." Earl hampir menampar dahinya tidak percaya ketika bocah sekecil ini mampu menilai seseorang seperti itu.

"Kau tahu? Beberapa orang selalu punya sebuah topeng untuk melindungi dirinya dan bahkan mencapai suatu tujuannya." Ujar Earl berusaha memahami perasaan bocah kecil itu. Lantas bocah itu menatap Earl dan kemudian menundukkan kepalanya seperti akan menangis.

"Aku suka sekali ketika bersama ayah. Dia tidak pernah memasang topengnya ketika bermain denganku." Bocah itu bergumam dengan mata yang berkilau senang ketika menceritakan sosok ayahnya. Earl tersenyum kemudian dan mengacak surai hitamnya.

"Lalu? Apakah aku memakai topeng juga seperti Tante Rose?" Bocah itu menatap Earl dengan serius sebelum ia menggeleng pelan dan menatap Earl dengan mata yang berbinar lucu "Tetapi aku memakai topeng. Lihatlah."

Earl langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan membiarkan matanya mengintip sedikit di balik celah. Bocah itu memandang Earl dengan tatapan bingung.

"Bwlaaaa!" Earl membuka wajahnya dan memasang wajah konyol hingga membuat bocah itu kaget dan akhirnya tertawa. Earl pun mengelus rambut bocah itu dengan lembut.

"Jika kau tidak ingin bermain dengan tante Rose, kau bisa meminta untuk pulang ke rumah saja. Kau bisa bermain dengan mainanmu di rumah." Ujar Earl merasa khawatir juga lantaran bocah itu sendirian entah sejak kapan berada di sampingnya. Bocah itu mengangguk paham.

Ketika Earl hendak mengantar bocah itu pada kerabatnya yang sedaritadi sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba seorang pria mendekati Earl dan menodongkan pisau ke arah pinggang Earl. Mereka sangat dekat sehingga hanya Earl dan bocah kecil itu yang melihat.

"Ka-kakak-" Bocah itu langsung memeluk tangan Earl. Bahkan Earl bisa merasakan tubuh bocah itu gemetar seperti menggigil karena takut.

"Berikan bocah ini padaku, jika tidak-"

Next chapter