webnovel

Bab 16. Menghilangkan Jejak

Dorr!

"Hgghhhh!"

"CALI!"

'Dan pendarahan otak.'

Arthur berjalan mendekati Katherine dengan tatapan haus darahnya. Ia masih bisa menahan diri untuk tidak menyiksa sampai mati karena kesal. Earl yang sedang ia perjuangkan malah berakhir mengenaskan di tangan wanita bodoh itu. Arthur mengetatkan rahangnya.

"Katherine... wanita itu telah menyelamatkan nyawamu bukan? Ini balasan yang kau berikan padanya?" Arthur masih sanggup bertanya walaupun dalam otaknya ia sudah menyiapkan berbagai macam siksaan yang lebih sadis untuknya.

"MANUSIA SEPERTIMU TIDAK PUNYA HAK BERKATA KEADILAN DI DEPANKU?!" Katherine berteriak keras. Tidak peduli tenggorokannya sakit atau pita suaranya akan rusak sekali pun.

Bagi Arthur, walaupun ia tidak suka suara teriakan, tetapi ia sudah terbiasa diteriaki. Semua musuhnya selalu berteriak padanya jika sudah terpojok dan putus asa. Arthur melirik ke arah bocah yang itu sejenak kemudian balik menatap Katherine. 

"Bocah itu... keluarga yang kau sayangi bukan?" Tanya Arthur menunjuk dengan isyarat menggunakan dagunya. Katherine melotot sampai ingin sekali menjambak rambut hitam Arthur karena marah.

"TUTUP MULUT SIALMU?!" Pekik Katherine lagi. Sorot matanya terlihat putus asa sekarang dan sadar bahwa ia tidak bisa melakukan apa pun lagi. Arthur tersenyum miring.

"Sama sepertimu... wanita itu seorang yang aku sayangi."

Ucapan Arthur langsung membuat Katherine membelalak kaget. Ia tidak tahu sama sekali akan hal itu. Dan juga, percintaan jenis apa yang sedang dibicarakan ini? Katherine menggelengkan kepalanya ragu. Berusaha berpikir tentang hubungan Arthur dengan Earl.

"A-aku tidak peduli!" Ucapnya kemudian juga dengan banyak keraguan. Arthur kemudian tersenyum, membenarkan perkataan Katherine.

"Sama. Aku juga tidak peduli dengan anakmu."

Doorr!

Seketika bocah itu terjatuh dengan kepala yang berlubang di dahinya. Arthur pun memeriksa kembali pistolnya dan mengelapnya dengan penuh perasaan sambil kembali duduk di kursinya.

Suasana hening itu sempat heboh oleh suara sepatu hitam mengkilat yang Arthur kenakan. Katherine hanya membuka tutup mulutnya dan duduk dengan lemas sambil menatap nanar ke arah anaknya yang tergeletak di atas lantai.

"Ca-Cali anakku...." Mendadak lidahnya kelu dan hampir tidak sanggup menahan kesadarannya.

Jason yang telah selesai menyelesaikan tugasnya untuk memegangi bocah kecil tadi lantas kembali ke posisinya semula. Berdiri di belakang Arthur sambil masih tetap memperhatikan bocah mengenaskan itu.

Arthur menyilangkan kakinya dan menikmati ekspresi mereka. Rasa benci dan dendam Arthur sama sekali tidak berkurang. Ia dengan santai mengisi kembali peluru pada pistolnya tanpa sedetik pun mengalihkan pandangan benci pada mereka. 

Katherine yang tersadar langsung membabi buta menerjang ke arah Arthur. Tapi usahanya itu tidak berhasil karena anak buah Arthur dengan kuat menahannya. Bahkan ketika ia memberontak hebat, tidak segan mereka mencekik lehernya dengan lengan kekar mereka. Katherine mendesis murka.

"Aku tidak berhasil membunuh wanita itu. Lalu kenapa kau bunuh anakku? KAU BAJINGAN LICIK! KAU PANTAS DI NERA-"

"Tidak ada yang boleh menyakitinya." Arthur memotong makian Katherine "Tidak ada yang boleh menggoreskan luka di kulitnya. Begitu pula aku, tidak akan boleh melukainya seujung rambutnya... dan kalian? Berani membuatnya seperti itu... Aku masih berpikir siksaan apa yang cocok untuk kalian saat ini." Ucapnya sedikit mendesis pada kalimat terakhirnya.

Arthur kemudian berdiri dari kursinya lalu menyelesaikan kegiatannya dengan perlahan agar semakin tersiksa. Menyisakan lolongan kesakitan di ruangan itu dengan desingan peluru.

-Kamar inap-

Earl, gadis muda berumur dua puluh enam tahun yang hanya terobsesi pada keadilan. Siang ini, ia telah menghabiskan waktu untuk menderita karena rasa sakit yang menghantam sekujur tubuhnya saat efek anestesi yang telah hilang dari tubuhnya.

Kakinya tidak mampu ia gerakkan dan hanya merasakan daging di paha hingga betisnya seperti ditusuk ribuan paku. Earl mengumpat sepanjang hari.

Ia tidak bisa berkonsentrasi ketika jarinya terus saja menari di atas keyboard. Seperti tidak jera sama sekali, Earl masih mencari tahu tentang Arthur dengan berselancar di dunia peretas. Sesekali keringat dingin turun ke pelipis matanya karena menahan rasa sakitnya.

Berusaha mengalihkan perhatian dari sakit itu sendiri, Earl memegang kepalanya yang berdenyut nyeri. Siksaan seperti ini membuatnya ingin sekali Earl membebat semua lukanya dengan anestesi.

"Hahh... betapa membosankannya seharian ini. Aku bisa mati bosan jika empat bulan disini." Gumamnya sedikit mengendurkan otot-otot lehernya.

Tapp!

Earl menutup laptopnya lalu mencoba menyamankan punggungnya pada tempat tidur. Ia menatap kedua tangannya yang terdapat banyak sekali plester kecil yang menutupi lukanya. Entah berapa banyak luka yang ia terima di sekujur tubuhnya sampai ia dengan iseng menghitung jumlah luka kecilnya.

"Wah, wah. Sepertinya kau senang sekali. Apakah senyaman itu libur empat bulan?" Tom tersenyum senang saat memasuki kamar inap Earl dengan membawa beberapa buah dan barang.

Sebenarnya Tom sedikit senang setelah mendengar Earl akan cuti selama empat bulan. Lebih dari lima tahun Tom bekerja sama dengan Earl dan menganggapnya seperti adik perempuannya sendiri. Earl tersenyum kecil.

"Kemari, Tom. Aku akan mengajarimu cara mematahkan leher seseorang." Earl mengibaskan tangannya pada Tom untuk mendekat.

"Haha. Terima kasih, aku lebih suka menusuk seseorang seperti aku bermain anggar." Tom dengan santainya meletakkan buah di atas meja nakas di samping ranjang Earl. Earl memutar matanya bosan.

"Yaa, aku lupa kau masih bocah. Jadi lebih suka bermain pedang-pedangan." Ujarnya dengan perkataan sedikit menghina. Tom tertawa mendengarnya.

"Aku lebih tua darimu enam bulan, Earl. Bersikap sopanlah sedikit pada seniormu ini." Tom menggeser kursi di samping ranjang Earl dan mendudukkan diri dengan nyaman disitu. Matanya sedih saat melihat bungkusan tebal yang menyelimuti paha Earl.

"Jangan bersikap seperti senior, Tom. Tidak cocok." Earl menggeser meja kecil ke samping.

"Hey Earl. Kau bisa meminta bantuanku untuk menemukan keluargamu. Jika kau ingin." Ujar Tom tidak berani mengangkat kepalanya. Tom tahu status Earl.

Earl hanya sesosok bayi yang ditemukan di dalam stasiun. Ibunya meninggalkannya di stasiun Distrik B. Menelantarkan seorang bayi perempuan kecil yang lucu dengan topi rajut berpita biru. Sangat menggemaskan ketika itu.

Earl ditemukan oleh seorang pria tua petugas stasiun di sebuah kursi tunggu di depan loket tiket. Awalnya pria itu ingin melaporkannya pada pihak berwajib. Tetapi ketika ia melihat Earl, hatinya tergugah dan membawanya pulang lalu merawatnya dengan baik bersama istrinya.

Kehidupan mereka biasa saja. Tidak mewah dan tidak kesusahan. Sepasang suami istri yang tidak memiliki keturunan dan memutuskan untuk mengadopsi Earl. Kehidupan yang begitu sederhana hingga mereka meninggal pun memberikan warisan pada Earl selaku anak angkatnya. Earl bahagia dengan mereka.

Ekspresinya sedikit berubah saat Tom memulai topik untuk membahas masalah keluarga biologisnya.

"Aku ini sesuatu yang dibuang oleh mereka, Tom. Sudah jelas aku tidak diinginkan. Aku tidak peduli jika keluarga kandungku keturunan bangsawan atau keluarga presiden sekalipun, aku tidak peduli. Sama seperti mereka tidak memikirkan hidupku, aku sudah mati di keluarga mereka, dan aku menganggap mereka semua tidak pernah ada dalam hidupku." Earl tersenyum getir "Aku tidak pernah merasa bersyukur atau berterima kasih pada sosok wanita yang membuangku walau aku lahir dari rahimnya. Terima kasih, aku cukup terhina memiliki ibu seperti itu."

Tom membaca ekspresi Earl yang tampak tidak peduli lagi dengan masalah itu. Ia menaikkan pundaknya sekali setelah Earl menolak tawarannya.

"Yah. Setidaknya aku hanya menawarkan bantuan." Earl tersenyum sinis.

"Terima kasih sudah menawariku." Tom menaikkan pundaknya lagi menanggapi perkataan Earl.

"Kemarin tim penyidik sudah mengorek informasi dari pengemudi yang menabrakmu. Siapa sangka, dia hanya orang suruhan biasa." Ujar Tom membuka laptopnya dan memperlihatkan wajah seorang pria yang dimana wajahnya babak belur dan sudah pasti karena introgasi.

Earl mengerutkan alisnya tidak percaya. Siapa yang menargetkan dirinya jika bukan Arthur?

"Aku pikir Arthur yang menyuruh anak buahnya untuk menghabisiku." Earl sedikit tidak percaya dengan informasi itu. Tom menggelengkan kepalanya, sama tidak percaya dengan Earl.

"Aku awalnya juga berpikir begitu Earl. Tetapi setelah di selidiki, yang menyuruh mereka adalah sepasang suami istri pemilik toko bunga di distrik G." Tom mencari beberapa file di laptopnya. Tapi saat ia mendengar seorang pemilik toko bunga, alisnya berkerut semakin dalam.

"Tunggu dulu. Maksudmu seorang wanita bernama Katherine?" Tom mengangguk. Earl pun terdiam. Melihat ekspresi Earl yang termenung membuat Tom sedikit berhati-hati menjelaskan perkara ini.

"Aku tahu kau menemui Katherine untuk mencari tahu masalah rekaman CCTV kecelakaan lima tahun yang lalu kemarin. Lalu kau bertemu dengannya dan mengobrol di sebuah caffe di sekitar toko bunganya. Apakah kau menemukan titik terang Earl?" Earl menghela nafas lelah ketika mendengar penjelasan Tom. Sayang sekali ia tidak bisa menemukan satu pun informasi karena Katherine enggan bekerja sama dengannya.

"Katherine tidak bersedia memberitahuku dan memilih untuk menutup rapat masalah rekaman buatan itu. Sejujurnya, aku pikir dia akan diam dan tidak melakukan tindakan apapun. Tapi karena Arthur dibalik semua ini, wajar jika aku berakhir seperti ini." Ucapnya sambil menarik selimutnya sedikit ke atas. Tom mengangguk mengerti.

Earl menatap keluar jendela dengan pikiran kalut. Sejujurnya ia telah menganggap Katherine seperti kakak perempuannya. Tetapi siapa sangka ternyata ia memilih untuk menikamnya dari belakang setelah Earl menyelamatkan hidupnya. Earl menoleh pada Tom.

"Lalu? Apakah kalian menangkap Katherine?" Tom menggeleng.

"Sayangnya tidak. Saat kami menggeledah rumahnya dan kami malah menemukan Katherine dengan suami beserta anaknya tewas dalam kondisi mengenaskan di kamarnya." Earl menahan nafasnya. Alisnya semakin berkerut dan menatap Tom menuntut penjelasan "Sudah diselidiki bahwa mereka dibunuh, Earl. Mereka ditembak membabi buta. Aku malah merasa Arthur memang pembunuh paling kejam yang aku ketahui, Earl. Dugaan sementara karena Arthur meminimalisir saksi yang ada agar rekaman palsu itu tidak ketahuan." Lanjutnya sambil memijat pelipisnya sedikit kuat.

Earl tidak bisa berkata apa pun lagi. Semuanya benar-benar diluar ekspektasinya dan bahkan lebih melenceng dari jalurnya. 

Next chapter