Tok tok tok
Lamunan Ardan buyar saat mendengar suara ketukan di pintu.
"Masuk," balas Ardan.
Pintu terbuka dan Sekar masuk sambil mendorong pintu kamar menggunakan bahunya sedangkan kedua tangannya membawa baki berisi sarapan dan teko yang sudah terisi air. Sekar kesal karena Ardan tidak sedikit pun berniat membantunya membawa baki yang cukup berat itu.
"Hati-hati bakinya bisa jatuh," Arjuna terlihat ingin mengambil baki dari tangan Sekar.
"Sejak kapan Arjuna pulang? Bukankah aku menyuruhnya mengawasi Paman Felix dan Ibu di Jakarta tapi kenapa hari ini dia sudah kembali. Mungkinkah ada hal penting yang dibawanya dari Jakarta?," ujar Ardan dalam hati.
"Tidak perlu," tolak Sekar dengan acuh dan mengambil baki itu dari tangan Arjuna.
"Sombong, keras kepala, dan tidak tahu berterima kasih. Seharusnya dia bersyukur masih ada orang yang bersedia membantunya tapi bukannya mengucapkan terima kasih … Arjuna terlalu bodohnya mau masuk dalam perangkapnya,"
Sekar meletakkan teko dan sarapan untuk Ardan di atas nakas, "Ini sarapan, air putih di teko, dan segelas susu hangat untuk Tuan besar," ujarnya sambil menyindir Ardan, "Tuan masih membutuhkan saya? Kalau tidak …." Sebelum Sekar membuka mulutnya untuk berkicau bak burung murai, Ardan mengangkat tangan dan membuat gerakan tutup mulut.
"Kamu terlalu bawel dan berisik, mulai sekarang selain menjawab pertanyaan saya lebih baik kamu tutup mulut," ujar Ardan.
"Diktator! Bahkan untuk bicara pun aku harus mengikutinya."
"Bagaimana kondisi bayi itu hari ini, masih mual?" tanya Ardan setelah Sekar berhenti mengoceh dan memekakkan telinganya. Mata Ardan tidak berkedip menatap perut Sekar yang semakin lama semakin menonjol.
"Tadi sih tidak mual tapi saat ibunya berada dalam satu ruangan dengan orang-orang kejam tiba-tiba rasa mual itu muncul," Sekar membuat gerakan hendak muntah.
"Tidak perlu sarkasme di depan saya. Jangan pikir saya diam dalam beberapa hari ini kamu bisa bertingkah seenaknya. Kesabaran saya ada batasnya dan jangan pernah memancing kemarahan saya," ujar Ardan sambil mendekati Sekar selangkah demi selangkah.
Arjuna sepertinya paham kalau Ardan tidak ingin diganggu.
Arjuna pun keluar dan mendengar teriakan dari dalam kamar tamu dan gedoran di pintu.
"Aku harus belajar dari Tuan supaya bisa menjinakkan wanita yang punya hobi berteriak dan membuat kebisingan. Suaranya membuat kepalaku sakit," ujar Arjuna dalam hati. Arjuna lalu masuk ke dalam kamar tamu dan melihat Nimas sedang menatapnya bagaikan musuh bebuyutan.
"Mas Ardan mana?" tanya Nimas begitu tidak melihat Ardan. Padahal sepanjang perjalanan Arjuna selalu berkata Ardan ingin bertemu dengannya. Arjuna mengangkat bahunya dan membuka laci yang ada di dekat Nimas berdiri.
Arjuna mengeluarkan sebuah lakban berwarna hitam, "Diam atau saya tidak akan segan-segan memasangkan alat ini di mulut kamu," Arjuna lupa kalau Nimas dan Sekar adalah dua orang yang berbeda. Sekar tidak melawan jika Ardan mengancamnya tapi Nimas malah menantang Arjuna dan membalas ancaman tadi dengan menendang Arjuna dengan kakinya.
"Lo pikir gue bisa ditindas!" maki Nimas.
"Sialan!" maki Arjuna dalam hati.
Arjuna memilih keluar dari kamar daripada meladeni Nimas yang selalu membuatnya kesal dan mengunci Nimas sampai Ardan memberinya perintah membawa Nimas keluar dari kamar tamu.
Di tempat lain.
Ardan mencengkram tangan dan menarik tubuh Sekar agar mendekatinya, "Apa yang Tuan inginkan, lepaskan saya!" ujar Sekar sambil meronta.
"Ada seseorang yang ingin bertemu kamu," bisik Ardan di telinga Sekar dan membawanya keluar dari kamar untuk bertemu Nimas.
Ruang tengah yang tadinya hanya ada kursi dan meja kini penuh dengan barang-barang bayi seperti pesanan Ardan sebelum Arjuna ke Jakarta. Sekar tidak lagi meronta setelah melihat barang-barang itu.
"Kenapa banyak sekali peralatan bayi?" tanya Sekar.
"Semua barang-barang ini milik bayi itu," jawab Ardan singkat.
"Buat apa barang sebanyak ini? Saya tidak mau tinggal di sini dan saya tidak mau melahirkan di sini!" ujar Sekar dengan keras. Ardan menutup mata dan berusaha untuk tetap sabar.
"Mudah-mudahan bayi itu tidak berisik saat lahir karena ibunya punya hobi berteriak dan memekakkan telinga saat mengandungnya. Aku tidak mau punya anak bermulut bawel seperti ibunya. Anak itu harus tumbuh dengan cerdas, berwibawa, dan tampan seperti aku," ujar Ardan dalam hati.
"Berhenti berteriak atau saya tidak akan segan-segan menyumpal mulut kamu!" ancam Ardan. Sekar sangat takut jika Ardan sudah mengancamnya tapi mulutnya sulit ditahan dan selalu mencari gara-gara.
"Bagus. Saya sangat suka kalau kamu jinak seperti anak kucing," Ardan mengacak rambutnya dan senang jika Sekar dalam posisi tidak bisa berbuat apa-apa seperti saat ini. Ardan semakin mudah mengendalikan dan menekan Sekar dengan ancaman seperti tadi.
Ardan melihat ke arah Arjuna dan mengangguk pelan. Arjuna membalas anggukan Ardan dengan membuka kamar tamu yang ada di sampingnya.
"Tuan ingin bertemu kamu," ujar Arjuna dengan dingin.
"Lo pikir gue kambing hah! Pakai acara dikurung segala dan gue nggak akan segan mengadukan semua perbuatan lo sama Mas Ardan, seenaknya menculik gue ke …." Pertengkaran Arjuna dan Nimas berhenti saat Nimas melihat ke arah Ardan dan Sekar secara bergantian. Matanya langsung melotot dan membesar. Nimas shock melihat Sekar yang wajahnya sangat mirip dengan Maudy.
"Long time no see adik ipar," sapa Ardan. Sekar memutar wajahnya saat mendengar Ardan memanggil Nimas dengan sebutan adik ipar.
"Adik ipar? Mungkinkah wanita yang berdiri di depanku ini adalah adiknya Mbak Maudy?" tanya Sekar dalam hati.
"M … Mbak Maudy? Ya Tuhan! Wajah dia dan Mbak Maudy …." Nimas melihat Ardan dan dibalas Ardan dengan mengangkat bahunya. Nimas langsung menghambur ke pelukan Sekar dan menangis tersedu-sedu.
"Saya bukan Maudy," Sekar berusaha melepaskan pelukan Nimas dan terlihat tidak suka Nimas memeluknya.
"Jadi kamu siapa?" Nimas melihat Ardan dengan wajah penuh tanda tanya.
"Sebelum kita bicara dan alasan kenapa Mas meminta Arjuna membawa kamu ke sini, lebih baik kalian saling menyapa atau berkenalan." Ardan memaksa Sekar menjulurkan tangannya. Nimas membalas uluran tangan Sekar.
"Nimas,"
"S E K A R," Sekar sengaja mengeja namanya supaya kelak Nimas tidak salah saat memanggil namanya. Ardan terpaksa memberi tahu Nimas nama asli Sekar. Nimas menatap Ardan seolah ingin mengatakan 'Mbak Maudy baru meninggal dan sekarang Mas bersama wanita yang wajahnya sangat mirip dengan Mbak Maudy'.
"Mas … siapa wanita itu?" tanya Nimas.
Ardan menyuruh Arjuna membawa Sekar keluar supaya Sekar tidak mendengar pembicaraan Ardan dengan Nimas. Ardan tidak mau Sekar tahu tentang rencananya menukar kebebasan Sekar dengan menyerahkan bayinya setelah lahir.
Setelah pintu tertutup dan Ardan yakin Sekar tidak akan menguping pembicaraan mereka, barulah Ardan menyuruh Nimas masuk ke dalam kamar. Nimas lalu masuk dan melihat kamar Ardan masih terpajang foto Maudy semasa hidup.
"Kenapa Mas bisa tinggai di sini? Ibu bilang Mas sedang liburan untuk menenangkan diri," tanya Nimas.
"Mas memang sedang liburan. Daerah ini sangat terpencil dan cocok dijadikan tempat berlibur. Pegunungan dan alam sekitar sangat tenang dan menyejukkan," balas Ardan sambil menghirup udara segar.
"Daerahnya memang bagus tapi … ah lupakan tentang kenapa Mas bisa ada di sini. Aku penasaran siapa wanita tadi?" tanya Nimas to the point, "Kenapa wajahnya sangat mirip Mbak Maudy dan sepertinya dia sedang hamil. Tadi saat aku memeluknya tanpa sengaja aku menyentuh perutnya yang mulai membesar," sambungnya lagi.
Ardan tertawa dan menyuruh Nimas untuk duduk karena kisah kenapa Sekar ada bersamanya dan berwajah mirip Maudy nanti bisa membuat Nimas pingsan.
"Mas sengaja menyuruh kamu ke sini untuk membantu Mas,"
"Bantu? Mas butuh bantuan apa?" tanya Nimas.
"Kamu bisa jaga rahasia, kan?" tanya Ardan balik. Nimas mengangguk dan semakin menatap Ardan dengan mata bulatnya. Mata Maudy dan Nimas sama-sama bulat dan indah. Entah kenapa baru sekarang Ardan menyadari kalau Nimas dan Maudy sangat mirip satu sama lainnya.
"Bisa, tentu saja aku bisa jaga rahasia."
"Bahkan aku bisa menjaga rahasia tentang niat Mbak Maudy menikahi Mas. Aku harap setelah semua masa lalu Mbak Maudy terkuak Mas masih bisa mencintainya atau paling tidak jangan membencinya," ujar Nimas dalam hati.
"Mas butuh kamu untuk menjaga wanita tadi sampai dia melahirkan. Tugas kamu memastikan makanan yang masuk ke dalam mulutnya adalah makanan bergizi dan sehat. Anak yang ada di dalam kandungannya harus lahir sehat dan tidak kekurangan suatu apa pun," balas.
"Anak itu … anak itu janin Mas?" tanya Nimas dengan nada kesal. Kuburan Maudy bahkan masih basah dan sekarang Ardan menyuruhnya menjaga bayi yang bukan dari rahim Maudy.
"Tidak, tapi setelah lahir akan menjadi anak Mas."
"Mas akan menikah dengan wanita itu? Mas sudah melupakan Mbak Maudy?" tanya Nimas lagi.
"Dalam mimpi pun aku tidak pernah mau menikahinya. Aku sangat membencinya dan akan menyingkirkannya setelah bayi itu lahir," jawab Ardan dalam hatinya.
"Sampai kapan pun Mas tidak akan pernah melupakan kakak kamu. Wanita itu di sini untuk menerima hukuman karena membunuh Maudy dan calon anak Mas,"
Kening Nimas kembali berkerut, "Membunuh? Aduh kok aku masih belum mengerti ya. Tunggu dulu …" Nimas memegang keningnya dan mencoba meluruskan pokok permasalahan yang baru saja Ardan ucapkan tadi.
"Wanita itu membunuh Mbak Maudy dan Mas sengaja menyekapnya di sini untuk mengambil bayinya, gitu?" tebak Nimas. Ardan mengangguk dan kembali berdiri di dekat jendela. Kali ini Ardan melihat Arjuna dan Sekar sedang berada di belakang vila.
"Kamu pintar,"
"Ya ampun! Mas … ini perbuatan melawan hukum dan setahu aku pelaku yang menyebabkan kecelakaan Mbak Maudy itu laki-laki dan dia sudah meninggal, tapi barusan …"
"Wanita dan bayi itu adalah anak dan istri bajingan pemabuk yang menyebabkan kakak kamu meninggal. Kamu tahu kalau Mas sangat pendendam dan awalnya Mas ingin memberinya pelajaran tentang kesakitan dan penderitaan tapi semua berubah saat Mas tahu kalau dia sedang hamil,"
"Dan Mas ingin mengambil bayi itu dari ibu kandungnya agar dendam Mas terbalaskan?" tebak Nimas lagi. Ardan mengangguk dan melihat Arjuna sedang membantu Sekar menjemur baju cuciannya.
"Rencana itu sangat kejam, Mas"