webnovel

Kecelakaan Maut

Ardan meletakkan teko teh yang dipegangnya tadi di atas meja setelah mendengar kabar kehamilan yang baru saja disampaikan Maudy. Maudy mencoba membaca raut muka Ardan yang sama sekali tidak menunjukkan reaksi. Hati Maudy sedikit sakit walau ia coba untuk berpikir positif.

"Aku hamil," ujarnya sekali lagi.

"Bagus, aku senang mendengarnya. Pewaris Mahesa Group akhirnya hadir di rahim kamu." Hanya itu reaksi Ardan, tidak ada senyum, pelukan, atau pun ucapan selamat seperti calon ayah lainnya. Maudy kembali bertanya-tanya dalam hati, Ardan memang mencintainya tapi apa mungkin bisa mencintai anak ini juga? Jika reaksi Ardan acuh dan masa bodoh.

"Aku mau bicara hal penting, bisa?" tanyanya dengan jantung berdetak kencang. Lidahnya terasa sulit merangkai kata-kata untuk membuka semua kedok dan rahasia yang selama tiga tahun ini ia simpan rapat-rapat.

Ardan lalu berdiri dan mengambil ponselnya. Tanpa sepengetahuan Maudy ia mengirim sebuah SMS ke ponsel pengacara yang baru saja ia temui.

Ardan : Pewaris yang saya tunggu-tunggu sebentar lagi akan lahir. Saya mau surat wasiat itu diproses secepat mungkin. Ah iya, tadi saya lupa memberitahu Anda tentang sesuatu hal. Tambahkan di dalam surat wasiat itu, jika semua harta milik saya akan jatuh ke tangan satu-satunya anak kandung saya. Jika anak kandung saya mengalami sesuatu hal maka seluruh harta akan saya serahkan ke panti asuhan. Paham?

Pengacara : Baik Tuan, saya akan proses secepatnya.

"Ardan, bisa kita bicara?" tanya Maudy sekali lagi. Ardan meletakkan ponselnya dan mengambil jas yang tergantung di belakang kursi kerjanya.

"Nanti, kita bicara di rumah saja. Ada urusan penting yang harus aku lakukan hari ini. Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Aku akan menyuruh Arjuna mengantar kamu pulang," tolak Ardan. Niatnya untuk melakukan vasektomi sudah bulat sejak mendengar kehamilan Maudy setelah tiga tahun pernikahan mereka.

Maudy akhirnya mengalah dan mengangguk pelan. Ia akan memberitahu Ardan tentang rahasianya setelah Ardan menyelesaikan urusan pentingnya. Maudy lalu berdiri dan mencium pipi Ardan pelan dan memeluk suaminya itu dengan erat. Maudy mencium aroma tubuh Ardan yang sangat khas itu.

"Cepat pulang. Aku sangat merindukan kamu," bisik Maudy. Ardan membalas pelukan Maudy dan mencium kening Maudy lalu mengelus perut Maudy sebelum kepergiannya menuju rumah sakit.

Maudy tersenyum dan meletakkan tangan di perutnya. "Kamu senang sayang? Ayahmu memang dingin tapi hatinya baik. Ayahmu memang tidak bisa mengungkapkan apa isi hatinya jika bertemu orang baru. Ibu yakin dia akan menyayangimu seperti ibu menyayangimu. Ibu akan melindungimu dari orang-orang jahat yang berniat membunuh kita."

"Nyonya, Tuan meminta saya mengantar Nyonya pulang." Maudy mengambil tas tangannya lalu menggeleng pelan.

"Saya bisa pulang sendiri. Kamu jangan khawatir dan lebih baik kamu di sini menunggu kepulangan Ardan. Kamu tangan kanan dan juga kepercayaan Ardan. Selama tiga tahun ini kamu selalu menjaga dia dan juga saya. Jika suatu saat saya tidak ada di samping Ardan, kamu harus menjaga dia dari orang-orang yang berniat jahat dan ingin menyakiti Ardan. Jangan memberi kepercayaan ke siapa pun walau keluarga sendiri. Jika suatu saat Ardan melakukan kesalahan dengan menyakiti orang lain, tolong kamu hentikan ya. Saya tidak mau Ardan melakukan kesalahan lagi," ujar Maudy. Arjuna mengerutkan keningnya mendengar ucapan Maudy yang seperti kalimat perpisahan.

"Saya akan menjaga Tuan meski Nyonya tidak memintanya," balas Arjuna dengan tegas. Maudy mengangguk dan meninggalkan ruang kerja Ardan. Maudy berdoa dalam hati agar langkahnya untuk pulang tidak mengalami hambatan dari orang-orang jahat.

Sekar menutup matanya untuk menghilangkan bayangan tato yang menghantuinya sejak semalam. Tato kecil tapi penuh makna, tato yang bisa membuatnya bisa menemukan laki-laki itu.

"Biyandra. Ah, kenapa aku mengingat nama anak itu lagi. Tidak, berhenti memikirkan anak itu Sekar. Kayla dan anak itu akan memulai hidup baru." Sekar menepuk-nepuk pipinya untuk melupakan semua hal yang mengganggu pikirannya. Ia mengambil ponsel miliknya dan menghubungi Aditya yang sama sekali belum memberinya kabar sejak pagi.

"Halo, Sekar."

"Mas sudah sampai di Jakarta?"

"Sudah kok. Maaf ya tadi sibuk banget belum sempat beri kamu kabar. Bos besar bawel jika aku main ponsel kalau sedang bawa mobil."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan."

"Sekar, Mas mau bilang sesuatu sama kamu."

"Apa Mas?"

"I love you. Terima kasih sudah mau menikah dan menjadi istri Mas."

Sekar tertawa mendengarnya dan mematikan ponselnya. Ia malu untuk menjawab pernyataan cinta Aditya tadi. Ia akan jawab nanti setelah Aditya pulang dari tugas kantornya. Aditya pun tertawa pelan, ia sadar Sekar pasti malu membalas ungkapan cintanya tadi.

Saat akan membuka laci untuk menyimpan ponselnya kembali, tiba-tiba ponsel itu jatuh dari genggaman tangan Aditya. Aditya mencoba menjangkau ponsel itu dengan susah payah. Beberapa kali laju mobilnya oleng ke kiri. Untungnya jalan yang dilalui Aditya sepi dari mobil-mobil atau kendaraan yang bisa memicu kecelakaan.

"Adit Adit itu saja nggak becus," ocehnya dengan kesal. Aditya mencoba sekali lagi menjangkau ponsel itu tapi sayang tangannya terlalu pendek. Aditya tidak sadar jika dari arah lain sebuah mobil melaju dengan kencang. Pengemudi mobil sedan mewah itu panik saat rem mobilnya blong.

"Ahhhh akhirnya." Aditya berhasil mengambil ponselnya dan kembali duduk ke posisinya semula. Aditya langsung shock saat melihat sebuah mobil di depannya melaju dengan kencang, ia tekan pedal rem untuk menghentikan laju mobilnya. Aditya mencoba menghentikan mobil itu dengan memberi kode lampu dan klakson beberapa kali, tapi mobil itu tetap melaju dengan kencang.

"Sialan! Kalau mau mati jangan di sini," gerutu Aditya kesal. Sadar nyawanya jadi taruhan, Aditya mencoba membuka pintu mobilnya dan lupa kalau pintu mobil dinas perusahaannya ini mengalami kerusakan dan belum sempat diperbaiki.

"Tolonggggggggggg! tolonggggggg aku Ardannnnnn," teriak Maudy. Lampu mobil yang di depannya membuat mata Maudy silau. Laju mobil Maudy semakin tidak bisa dikendalikan, Maudy meneteskan airmatanya sambil melindungi anaknya dengan kedua tangannya.

"Maafin ibu, nak." Maudy menutup mata saat bagian depan mobilnya menabrak mobil Aditya. Bunyi benturan yang cukup keras membuat Maudy terlempar dari dalam mobil dan tubuhnya menghantam jendela mobil Aditya. Maudy langsung tewas membawa calon anaknya, begitu pun Aditya langsung tewas di tempat saat tubuhnya remuk dihantam kerasnya laju mobil Maudy.

Sebuah mobil berhenti tidak jauh dari lokasi kecelakaan tragis yang menewaskan Aditya dan Maudy. Tuan Felix tersenyum sinis saat melihat hasil kerjanya tidak sia-sia. Pengkhianat seperti Maudy memang seharusnya mati mengenaskan.

"Wanita itu terbuai rayuan Ardan dan mengkhianati kepercayaan saya. Tiga tahun ini sudah cukup saya memberinya kesempatan untuk membuat Ardan luluh. Bukannya menjalankan tugasnya dengan baik, wanita itu malah menggunakan kesempatan untuk bersikap seperti wanita baik-baik. Sekali pelacur tetap akan menjadi pelacur. Jangan pikir dengan memakai barang-barang mewah bisa menghapus cap di tubuhnya sebagai bekas pelacur," sindir Tuan Felix.

"Tuan tidak saja membunuh wanita itu tapi juga bayi yang ada di dalam kandungannya. Jika Tuan Ardan tahu …." Tuan Felix mengangkat tangannya. Asisten Tuan Felix langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

"Anak itu jika lahir akan mengganggu langkah saya. Ardan tidak boleh punya keturunan dan beruntungnya Tuhan memberi tahu saya kalau hari ini dia melakukan vasektomi dan itu berarti sampai kapan pun keluarga Mahesa tidak akan pernah punya keturunan."

"Tuan selalu tahu tentang apa pun yang berkaitan dengan Tuan Ardan," ujar asistennya dengan tujuan menjilat Tuan Felix, "Tapi tahukah Tuan kalau pagi ini Tuan Ardan meminta pengacara untuk datang menemuinya," sambung asisten itu. Senyum Tuan Felix langsung hilang dan ia mendekati asistennya lalu mencengkram lengan asistennya dengan keras.

"Buat apa Ardan menemui pengacaranya?" tanya Tuan Felix dengan geram.

"Saya tidak tahu. Hanya saja tadi pagi saya melihat pengacara itu keluar dari ruang Tuan Ardan," balasnya. Tuan Felix menggerutu dan mengeluarkan ponselnya.

"Kamu urus kecelakaan ini. Jangan sampai polisi tahu kalau semua ini rencana kita. Buat saja seolah-olah mobil itu menjadi penyebab kecelakaan ini," ujarnya. Asisten itu mengangguk tanda mengerti dengan perintah Tuan Felix.

Kecelakaan tragis yang dirancang Tuan Felix tidak saja membunuh Maudy dan Aditya, tapi juga membuat dua insan lainnya akan masuk ke dalam neraka yang disebabkan ketamakan Tuan Felix.

Tangis ibu Maudy, Nimas, Ibu Marinka, dan Renata pecah saat dokter memberi tahu mereka jika Maudy sudah tidak bernyawa lagi. Kecelakaan tragis tidak saja menghilangkan nyawa Maudy tapi juga calon bayinya. Tangis keluarga besarnya sedikit pun tidak membuat Ardan meneteskan airmata.

"Maudy sedang hamil? Ya Tuhan!" Ibu Maudy memegang kepalanya dan jatuh di pelukan Nimas. Berakhir sudah kemewahan yang selama ini ia nikmati sejak Maudy menikah dengan Ardan.

"Ibu." Nimas memeluk ibunya dan menangis sesegukan. Baru tadi pagi ia memeluk Maudy dan kini ia melihat tubuh Maudy terbujur kaku saat pihak rumah sakit membawa ranjang besi yang di atasnya ada jasad Maudy yang mulai memutih.

Ibu Marinka dan Renata menghampiri Ardan dan ingin menenangkan Ardan, tapi Ardan memilih berdiri dan meninggalkan semua keluarga untuk mengikuti pihak rumah sakit yang membawa mayat Maudy.

Saat Ibu Marinka ingin menyusul Ardan, Renata menahan tangan Ibu Marinka. "Biarkan Ardan sendiri, Mi. Dia butuh waktu untuk menerima kematian istrinya. Ardan memang tidak menangis tapi Mami lihat tatapan matanya? Sangat menakutkan," ujar Renata. Ibu Marinka melirik ke arah Arjuna yang terlihat babak belur.

Ibu Marinka menghampiri Arjuna untuk bertanya langsung ke Arjuna, "Apa yang terjadi?" tanya Ibu Marinka.

"Maaf, semua ini salah saya. Tuan Ardan memerintahkan saya mengantar Nyonya pulang tapi saya lalai dan membiarkan Nyonya pulang sendirian. Andai saya tidak lancang mungkin kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi," Arjuna menundukkan kepalanya. Ardan langsung menghajarnya saat Arjuna memberi kabar tentang kecelakaan Maudy. Arjuna sama sekali tidak melawan atau pun membela diri karena ini memang murni kesalahannya.

"Ya ampun. Jadi penyebab kecelakaan itu apa?" tanya Ibu Marinka lagi.

"Menurut pihak kepolisian mobil Nyonya ditabrak pengemudi yang sedang mabuk. Pengemudi itu ikut tewas bersama Nyonya," balas Arjuna. Ibu Marinka membuang napasnya dan berkecak pinggang mendengar penjelasan Arjuna.

Next chapter