webnovel

Istri Kecil Raja Setan (28)

Raina menatap Mita yang sedang mengutak-atik bulu Phoenix di atas meja dengan serius.

Mita diminta untuk membuat gaun bukan hanya karena dia salah satu penyihir yang ahli berurusan dengan binatang setan tapi juga merupakan orang dengan selera mode yang tidak buruk.

Itu bisa dibuktikan dengan jubah modis yang dia kenakan.

Jubah itu bukan hanya terlihat mewah dan membuat pemakainya mudah bergerak tapi juga memiliki detail-detail yang mempercantik penampilannya seperti motif samar di pinggir jahitannya yang disulam dengan benang perak.

"Kakak, kamu cantik," ucap Raina tiba-tiba.

Mita tertegun.

Dia sudah sering mendengar pujian semacam itu tapi ini pertama kalinya dia mendengar seseorang mengatakannya dengan begitu tulus tanpa niat tersembunyi apapun. Itu terdengar begitu murni seperti keluar dari mulut seorang anak kecil.

"Amelia, kamu..."

"Ahahahah!" tawa Geni menghancurkan suasana lembut yang baru saja terbentuk. "Kakak?"

"Amelia, bagaimana kamu bisa memanggilnya kakak?" tanyanya. "Usianya ratusan tahun lebih tua di atasmu. Kamu seharusnya memanggilnya dengan sebutan nenek!"

Sudut bibir Mita berkedut. Bajingan kecil ini...

"Ah!" Geni berteriak kesakitan saat sebuah buku dilemparkan padanya. Yah, itu tidak benar-benar sakit tapi Geni merupakan seorang ratu drama dan tentu saja dia bisa berakting dengan pandai.

"Bibi, berapa lama itu akan selesai?" tanya Geni mengalihkan pembicaraan.

"Berapa lama waktu yang akan kamu berikan?" Mita balik bertanya.

"Dua minggu?"

"Apa kamu gila?!" seru Mita. Dia memelototi Geni dengan marah. "Aku akan membuat sebuah karya seni, bukan baju tidur!"

Geni menyentuh hidungnya dengan canggung. "Baiklah kalau begitu," ucapnya. "Tiga minggu."

"Geni!" Mita benar-benar kehilangan kesabaran. Membuat gaun pernikahan selama tiga minggu?! Dan ini bahkan bukan gaun biasa! Dia harus menggunakan energi ekstra karena harus mengolahnya dengan sihir!

"Hei, pernikahanku bulan depan, oke? Berapa lama lagi waktu yang kamu inginkan?!"

"Empat minggu," jawab Mita.

"Kamu wanita gila!" Geni benar-benar ingin menyerangnya.

Pada akhirnya, setelah perdebatan singkat, Geni mengalah.

"Ingat! Kamu harus membawanya ke tempatku sehari sebelum pernikahan!" ucap Geni.

"Semalam," ralat Mita.

"Kamu..."

Mita menatap Geni dengan tegas seakan-akan dia tidak akan mendengarkan keluhan pria itu.

"Baik. Terserah. Lakukan apa yang kamu mau," ucap Geni dengan ketus. "Tetapi, kalau hasilnya tidak memuaskan..."

Mita mendengus saat melihat tatapan berbahaya yang Geni berikan padanya. "Kamu bisa tenang," ucapnya. "Aku selalu bisa diandalkan."

Geni mengangguk dengan puas. Dia mengalihkan tatapannya ke Raina yang sejak tadi menatap mereka berdua dalam diam.

"Ini sudah hampir malam," ucapnya. "Biarkan aku mengantarmu pulang."

Mita ikut menatap Raina dan untuk beberapa alasan dia mendesah pelan.

"Kenapa kamu menatapnya seperti itu?" tanya Geni dengan curiga.

Mita mengangkat bahu. "Aku hanya merasa dia imut."

"Sayang sekali dia akan menikah denganmu," tambahnya dengan suara yang lebih pelan.

Itu pelan tapi Geni masih bisa mendengarnya walau samar.

"..." Apa yang salah dengan menikahinya?! Itu berkah, oke? Berkah! Berhenti bersikap seakan-akan gadis ini akan mati!

Mereka berdua berdebat sekali lagi sebelum Geni dan Raina pergi.

Mita menatap kepergian mereka sambil menggeleng pelan. "Bagaimana dia bisa menikah di saat tingkahnya sendiri masih seperti seorang bocah?" gumamnya.

Geni menatap Raina yang berjalan di sampingnya. "Amelia, bagaimana kalau kita makan malam terlebih dahulu?" usulnya kemudian.

Raina berpikir selama lima detik sebelum mengangguk.

Geni tersenyum dan menggenggam tangan gadis itu dengan lembut.

Mereka berjalan sejenak hingga mencapai sebuah bidang kosong yang dipenuhi dengan ukiran rumit.

Itu adalah rune teleportasi. Di dunia ini, hal semacam ini merupakan sarana umum yang biasa digunakan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan berada di banyak titik di setiap kerajaan.

Raina dan Geni juga menggunakannya untuk datang kemari tadi.

Awalnya, Raina merasa agak ragu saat akan menggunakan rune teleportasi yang pada dasarnya tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Tetapi, setelah menggunakannya, dia merasa itu tidak terlalu buruk. Dia hanya merasa mual dan pusing untuk sementara.

Yah, tidak buruk, mungkin.

Geni melihat wajah Raina yang pucat dan mulai panik. "Apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat tidak baik."

Raina menggeleng. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual."

Dia yakin dia mungkin akan muntah seandainya perutnya tidak kosong.

Geni sepertinya mulai menggunakan otaknya dan mengusulkan untuk menggunakan kereta untuk kembali ke asrama nanti.

Meskipun itu jauh lebih lambat daripada menggunakan rune teleportasi, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Raina terlihat jelas tidak nyaman saat menggunakannya. Yah, tidak semua orang memiliki kapasitas sihir yang besar sepertinya.

Mereka berdua memasuki restoran setelah Geni memastikan bahwa Raina baik-baik saja.

"Apa makanan favoritmu?" tanya Geni sambil membuka buku menu.

"Tidak ada," jawab Raina datar.

"Huh?"

"Aku bisa memakan semuanya. Aku tidak memiliki hal khusus yang aku sukai."

Geni merasa aneh saat mendengarnya tapi tidak mengatakan apapun dan mulai memesan makanan yang dia pikir akan Raina sukai.

"Bagaimana dengan minuman? Apa kamu menyukai minuman tertentu?"

Raina menggeleng.

Geni memiringkan kepalanya. "Amelia, apa kamu memiliki sesuatu yang kamu suka?" tanyanya.

Raina akan menggeleng tapi teringat sesuatu dan mengangguk.

"Apa itu?"

"Kamu."

Geni: "..." Kamu menang.

Cinta 65%

Cinta 66%

Cinta 67%

Raina tersenyum saat mendengar suara yang bergema di dalam pikirannya.

Wajah Geni semakin memerah saat melihat senyuman Raina.

Cinta 68%

Cinta 69%

Cinta 70%

Sistem yang sejak tadi menonton secara diam-diam, puas saat melihat ini.

Meskipun tuannya tampak seperti seorang idiot di awal, dia bisa belajar dengan cepat dan berhasil menyikat perasaan Geni dalam waktu singkat.

Yah, dia mungkin tidak bisa diandalkan. Tetapi, dia juga tidak terlalu buruk.

Tak lama kemudian, makanan mereka datang.

Raina agak tertegun saat melihat meja mereka yang mulai dipenuhi makanan. Itu begitu banyak hingga mereka harus menambah meja lain di sampingnya karena meja mereka tidak cukup.

"Apa kamu tidak menyukainya?" tanya Geni saat melihat ekspresi Raina yang tak terbaca.

Raina menatap pria itu. "Apa kamu bisa menghabiskan semua ini sendiri? Apakah ini tidak terlalu berlebihan?"

Geni mengangkat alis. "Siapa yang mengatakan kalau aku akan menghabiskan semua ini?" tanyanya balik.

"Huh?"

Sebuah senyuman muncul di wajah Geni. "Kamu yang akan menghabiskan semua ini," ucapnya dengan lembut.

Raina: "..." Bagaimana kamu bisa mengatakan kata-kata menakutkan seperti itu dengan lembut? Dan... apa kamu pikir aku seekor babi?

Geni memasukkan lauk pauk ke dalam mangkuk Raina sambil terus berbicara. "Lihatlah, kamu terlihat begitu kecil dan tanpa lemak," komentarnya. "Aku bahkan bisa merasakan tulang-tulangmu saat menggendongmu tadi."

"Kamu masih sedang dalam masa pertumbuhan. Jadi, makanlah lebih banyak."

"Apa kamu tidak menyukai makanan ini? Aku bisa memberikanmu yang lainnya," tambahnya. "Kamu harus mengumpulkan lebih banyak lemak sehingga aku akan merasa lebih nyaman memelukmu saat tidur nanti."

Raina mulai berpikir bahwa Geni berniat menjadikannya sebagai guling.

"Ayo, makan," desak Geni saat melihat Raina yang hanya diam.

Raina mengambil sumpitnya. Tidak, dia tidak melakukannya karena menuruti pria itu. Dia melakukannya karena memang lapar.

Tetapi, Geni yang berpikir bahwa gadis itu menurutinya tersenyum lebar.

Raina memutuskan untuk tidak mengatakan apapun saat melihatnya.

Meskipun ada kesalahpahaman diantara mereka, itu baik-baik saja karena tidak ada yang dirugikan.

Geni tidak bisa menghentikan senyumannya saat melihat Raina yang terus menenggelamkan diri dalam makanannya.

"Ya, bagus," pujinya. "Makanlah dengan baik."

Dia mengulurkan tangannya dan mengelus ujung kepala Raina dengan lembut.

Raina tertegun saat merasakan rambutnya disentuh dan menatap Geni dengan kedua matanya yang membulat.

"Ah, apa ada sesuatu?" tanya Geni dengan kebingungan.

"Tanganmu..."

Geni buru-buru menarik tangannya kembali. "Ap... Apa kamu merasa tidak nyaman? Kamu tidak menyukainya?"

Entah mengapa, Raina merasakan rasa kehilangan saat tangan itu menjauh darinya.

"Tidak," jawabnya. "Aku hanya merasa agak aneh."

"Ini pertama kalinya seseorang bersikap begitu lembut... dan perhatian," lanjutnya. "Itu terasa aneh tapi tidak buruk."

Geni menatap Raina dengan ternganga. "Ini pertama kalinya?!"

Raina mengangguk. Dia menatap Geni dan tidak tahu kenapa pria itu mendadak marah.

Geni segera berdiri dan pindah duduk di samping Raina, membuat gadis itu bingung.

"Geni?"

"Ini," ucap Geni sambil memasukkan lebih banyak lauk ke dalam mangkuk Raina.

"Makanlah lebih banyak," ucapnya sambil mengelus kepala Raina dengan lembut.

"Bagaimana bisa ini pertama kalinya? Apa Ganesha tidak memperlakukanmu dengan baik? Ada apa dengan keluargamu?" gerutunya sambil menatap Raina yang terus mengunyah makanannya.

"Astaga. Aku tahu mereka tidak bisa diandalkan tapi aku tidak tahu kalau mereka akan seburuk itu. Mungkin aku seharusnya menculiknya sejak dulu dan membesarkanmu sendiri?"

"Huh?" Raina berkedip dengan kebingungan saat mendengarnya. "Apa yang kamu bicarakan?"

"Tidak ada. Aku hanya mengatakan omong kosong," ucap Geni sambil mengambil makanan lain dan mengambil makanan penutup dan membawanya ke dekat mulut Raina. "Kamu tidak perlu mendengarkannya."

Gadis itu melahap makanan itu secara alami. Dia merasa bahwa Geni menyembunyikan sesuatu darinya tapi dia tidak tahu apa itu.

Saat dia tenggelam dalam pikirannya sendiri, dia merasakan tangan dingin yang menyentuh pipinya.

Geni berdecak pelan. "Apa kamu seorang bocah? Kamu bahkan tidak bisa makan dengan benar," ucapnya sambil membersihkan sisa makanan yang ada di tepi mulut gadis itu.

Raina menatap Geni dengan bodoh.

"Tuan? Tuan? Apa kamu bisa mendengarku?" tanya sistem saat melihat Raina yang hanya mematung di tempatnya. "Tuan!~"

( QAQ )

Apa yang terjadi dengan tuannya? Kenapa dia kembali menjadi seorang idiot ah?

Yah, dia memang tidak bisa diandalkan tapi sistem tidak menyangka kalau itu akan separah ini.

"Amelia?" Geni juga melihat keanehan gadis itu dan bertanya.

Raina mengedipkan matanya dan tatapannya kembali terfokus. "Ya?"

Geni menatapnya tapi tidak mengatakan apa-apa. "Kapan kamu ujian?" tanyanya mengubah topik pembicaraan.

Raina terdiam.

Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun tapi Geni bisa mengatakan kalau gadis itu... terkejut?

"Tunggu! Jangan bilang kalau kamu melupakannya?"

Raina: "..." Apa kamu pikir aku akan melupakan hal penting semacam itu kalau bukan karena keributan yang kamu buat baru-baru ini?

Geni meringis saat melihat tatapan miring yang Raina berikan padanya. "Ah, ya, maafkan aku," ucapnya sambil menyunggingkan sebuah senyuman menjilat. "Apa kamu membutuhkan bantuanku? Aku bisa menjadi tutormu."

"Tutor?" Raina menatap pria itu dengan ragu. "Terakhir kali kamu menjadi tutorku, aku tidak merasa seperti kamu benar-benar memiliki kemampuan."

"Kali ini aku akan melakukannya dengan sungguh-sungguh," ucap Geni dengan nada meyakinkan.

"Oh? Jadi, sebelumnya kamu tidak bersungguh-sungguh?"

Geni menyeringai. "Aku bersungguh-sungguh... menggodamu."

"..." Memang setan.

Pada akhirnya, Raina masih mengiyakan saran Geni untuk belajar bersamanya. Meskipun begitu, dia masih mengingatkan dirinya sendiri untuk belajar sendiri karena dia tidak merasa yakin dengan pria itu. Yah, dia menyetujuinya demi poin cinta. Itu pasti akan lebih cepat mengumpulkannya jika mereka sering bersama.

Mereka berdua bercakap-cakap sejenak sebelum keluar dari restoran dan berniat kembali ke asrama sekolah.

Geni mengeluarkan sebuah kereta kecil dari dalam cincinnya dan setelah dia mengucapkan beberapa mantra, kereta itu membesar menjadi sebuah kendaraan seukuran mobil yang cukup menampung hingga empat orang.

Sebuah seringai terbentuk di wajah Geni saat dia melihat mata Raina yang membulat. "Tidakkah aku keren?"

Raina berkedip. "Ya, seperti Doraemon," jawabnya sambil memasuki kereta.

Geni menatap Raina dengan kebingungan. Doraemon? Siapa dia? Apa itu seorang pria? Atau wanita? Apakah dia hebat?

Dia ingin bertanya tapi menahan diri saat melihat Raina yang kelelahan.

Geni ikut masuk dan kereta itu bergerak secara otomatis setelah dia mengucapkan beberapa mantra tambahan. Dia menyibakkan tirai di sampingnya, menampilkan bulan purnama di langit yang cerah.

"Tidakkah bulan itu terlihat cantik?[8]" tanya Geni tiba-tiba.

Raina melirik bulan itu dengan tidak berminat. "Bukankah itu selalu seperti ini?"

Geni menatapnya dan tersenyum.

Untuk beberapa alasan, Raina merasa senyuman itu menyedihkan.

'Ya, itu selalu seperti ini," ucap Geni lalu menutup tirai tadi.

Tempat itu berada cukup jauh dari Sekolah Ibukota dan membutuhkan waktu satu setengah jam bagi mereka untuk sampai di sana.

Geni baru saja akan memberitahu Raina bahwa mereka sudah sampai saat dia melihat gadis itu memejamkan matanya. Dia mendekatkan dirinya dan bisa memastikan dari napasnya yang stabil bahwa gadis itu memang benar-benar tertidur.

"..." Bagaimana dia bisa tertidur dengan mudah di setiap kesempatan? Tidakkah dia memiliki sedikit rasa waspada? Bagaimana pun juga kita tidak sedekat itu dan aku bisa saja melakukan hal-hal buruk padanya!

Geni ragu sesaat apakah harus membangunkan gadis itu atau tidak.

Setelah tiga detik, dia memutuskan untuk tidak membangunkannya.

Lagipula dia juga tidak terlalu senang untuk meninggalkannya begitu saja.

Jadi, dua jam berikutnya, dia menghabiskan waktunya dengan memandangi wajah Raina. Anehnya, dia tidak merasa bosan sedikit pun.

Ketika Raina membuka matanya dan langsung bertemu dengan mata Geni, dia hampir melompat karena ketakutan. Beruntung dia tidak melakukannya karena malas bergerak.

"Apa kita sudah sampai?" tanyanya.

Geni mengangguk dengan sedih. Dia belum memandangi wajahnya dengan puas ah. Kenapa gadis itu terbangun dengan begitu cepat?

Raina mengintip dari balik tirai dan melihat bangunan sekolahnya yang ada di sisi jalan. Dia segera turun dan hendak mengucapkan selamat tinggal saat melihat Geni yang juga ikut turun.

"Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Raina dengan bingung.

"Mengantarmu," jawab Geni.

"Tapi kamu sudah mengantar..."

"Ini sudah malam. Asramamu pasti sudah ditutup," potong Geni.

"Aku bisa mencari pengawas dan meminta..."

Geni mendecakkan lidahnya dengan malas. "Itu terlalu merepotkan dan memakan banyak waktu," ucapnya. "Kamu harus tidur dengan segera supaya tidak kesiangan besok pagi."

"Jadi, apa kamu memiliki cara yang lebih cepat dan efisien?" tanya Raina.

"Tentu."

"Oh? Apa it... ah!"

Raina benar-benar terkejut saat Geni tiba-tiba mengangkat dan menggendongnya. Dia menatap pria itu dengan kebingungan. "Apa ini?"

Geni menyeringai. "Cara yang lebih cepat dan efisien," jawabnya lalu melompat melewati dinding pembatas di depannya.

Raina ingin berteriak tapi dia memiliki pengendalian diri yang baik sehingga dia tidak melakukannya. Itu terlalu baik dan membuatnya merasa tertekan dengan kemampuannya sendiri.

"Tidakkah ini melanggar aturan?" bisiknya.

"Tidak jika tidak ada yang menemukan kita," jawab Geni setengah berbisik.

"..." Aku kagum dengan logikamu.

Itu mengejutkan bagaimana mereka berhasil sampai di depan kamar asrama Raina tanpa menarik perhatian satu pun penjaga yang sedang berpatroli.

"Terima kas..."

"Amelia?"

Raina dan Geni membeku saat mendengar panggilan seseorang dari belakang mereka. Mereka berdua menoleh secara bersamaan dan melihat Jonathan yang berdiri di sana dengan ekspresi mengantuk di wajahnya.

"Pak Jo, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Raina.

Jonathan baru saja akan menjawab saat matanya jatuh ke Geni yang berada di samping Raina. "Uh, Amelia, apa yang dia lakukan di sini? Tidakkah kamu ingat kalau pria tidak boleh memasuki asrama wanita di malam hari?"

Mata Geni memicingkan matanya dengan berbahaya. "Aku rasa kamu sendiri melupakan hal itu," ucapnya.

"Aku gurunya," ucap Jonathan.

"Oh? Jadi, kamu bukan pria?"

Jonathan menatap Geni dengan tajam.

Raina tiba-tiba merasakan suasana di sekitarnya yang berubah menjadi berat.

Kamus mini:

[8] tsuki ga kirei desu ne (Bulan itu cantik, bukan?) secara harfiah dalam Bahasa Jepang tidak benar-benar berarti 'bulan itu cantik, bukan?". Itu sebenarnya berarti "aku mencintaimu". Kalian bisa menggunakan kalimat ini dengan seseorang yang kalian cintai ketika kalian sedang berada di bawah bulan. Respon yang tepat untuk ini adalah shindemo iiwa (Aku bisa mati bahagia). Ini adalah terjemahan dari karya-karya novelis Shimei Futabatei (1864-1909).