webnovel

CHAPTER 15 : DUA SISI GOA

Pengarahan dari ketua kelas kurasa cukup bagus, berpikir cepat dan logis. Bisa memperkirakan situasi dengan tenang. Kemampuannya yang patut diacungi jempol bisa membuat anak sekelas terhipnotis. Hanya dengan menunjukkan jarinya semuanya berjalan sesuai perintah.

Menjelang petang kayu bakar sudah terkumpul rapi. Tak sulit bagi kami menemukan ranting di tengah hutan, justru aneh jika kami menemukan sampah plastik yang merupakan hiasan di perkotaan. Dengan sedikit sentuhan korek api… bisa membuat suasana menjadi hangat.

Teman sekelas melingkari api unggun—bercerita satu sama lain, berbagi rasa senang dan sedih. Tak kala mereka curhat hingga lupa waktu, hanya rasa lapar yang membuat mereka sadar diri.

Tentu saja semua sudah dipersiapkan. Tak hanya ngomel dan menggunjing saja yang kami lakukan. Kami sudah menunggu cukup lama untuk melihat ikan segar ini berwarna kecoklatan. Beberapa dari kami tak sabar, dan memakannya setengah matang—yaa itu mungkin lebih baik daripada gosong, tawaku pelan.

Kulit gosong ini menyebabkan rasa gatal di tenggorokanku, benar-benar payah. Kurasa inilah hidup yang alami, hidup yang natural—tanpa bahan pengawet. Bergegas aku minum air mineral untuk meredakan batuk. Kuletakkan bambu berisi air tepat di sebelahku, siapa tau aku membutuhkannya lagi. Sekarang waktunya makanan penutup, semuanya tersedia di alam ini untuk apa kami kembali ke kota hahaha. Kuangkat pisang bakar yang meluap-luap ini, asapnya pun masih terlihat—beberapa tiupan mungkin lekas menetralkan suhunya.

Rasa manis pahit ini benar-benar mengingatkanku pada sesuatu yang pernah kurasakan. Tunggu sebentar… sepertinya aku melupakan sesuatu yang penting, tapi apa itu? ini adalah hal yang hanya bisa dilakukan di perkotaan, tak mungkin alam bebas bisa menyediakannya. Yaa.. rasa manis pahit ini mengingatkanku pada secangkir coffe konsumsi harianku.

Pantas saja otakku menjadi tumpul, bahkan aku mengalami kondisi yang buruk hari ini seperti rasa sakaw. Bibir dan lidahku mengering layaknya musim kemarau, aku harus segera menyelesaikan ujian ini—jika tidak, tak tau lagi bagaimana jadinya diriku tanpa coffe selama seminggu.

Esoknya, aku menemukan titik terang berkat pMawars pembakaran pisang semalam. Kain berpola papan catur ini bukanlah sekedar hiasan di depan pura. Kain ini memiliki filosofis bagi kaumnya, jika aku benar warna hitam putih ini mewakili nafsu manusia yaitu kekutan magis antara baik dan jahat. Dua kekuatan ini menggerakan nafsu manusia untuk mengeclaim dirinya-meyakinkan baik-buruk dirinya. Dua kekuatan ini membentuk bumi berdamlencanagan dan berlawanan menghasilkan keseimbangan dalam kehidupan manusia. Sama halnya dengan papan catur, terdiri dari dua kerajaan yang selalu berperang.

Munculnya matahari menyadarkanku, arti dari sebuah payung berwarna kuning yang menutupi patung. Sangat pas sekali jika payung-payung ini menghadap timu-barat, diartikan sebagai terbit dan tenggelamnya matahari.

Sekarang tinggal mencari jawaban dari kedua petunjuk ini, jika aku benar mungkin ada di sini jawabannya. Lantas aku menyusuri jalan bebatuan yang berseberangan dengan pura. Ini membutuhkan kerjasama dari seseorang supaya berhasil, tanpa pikir panjang aku meminta tolong Leo berdiri tegak di depan pura, sedangkan aku berseberangan dengannya.

Kemudian sebuah lencanatu di seberang pura terbuka. Seperti dugaanku, di antara batu-batu ini pasti ada lencanatu rahasia. Hawa sejuk pagi ini, membangkitkan selera petualangan… kami bersepuluh bergegas memasuki goa. Aku yakin inilah jalannya, usai memutari pura tak ada jalan lain, hanya ada tebing di depan kami dan sekarang sebuah lencanatu telah terbuka.

Kami membawa kayu sisa semalam sebagai obor penerangan dalam goa. Entah mengarah kemana goa ini, ujungnya pun belum terlihat. Hanya bisa berharap tak ada jebakan seperti di pura kemarin. Apalagi sesuatu yang mistik—menyusahkan saja.

Jalan di goa cukup sempit, kami tak bisa berjalan berdamlencanagan. Ketua memutuskan supaya ladies berada di barisan tengah. Di situasi seperti inilah cowok terlihat lebih keren dari biasanya. Kami sudah cukup jauh dari lencanatu masuk, terpikir untuk kembali—jelas tak mungkin. Untuk apa menyusuri goa ini jika ingin kembali.

Bagaimana pun juga kami tak boleh mengabaikan anak yang rentan. Seseorang takut dengan gelap dan ruang sempit, entah phobia apa namanya aku pernah membacanya di internet. Alam benar-benar menujukkan sifat asli seseorang, tak salah sekolah memilih alam sebagai ujian semester.

Sekolah kami bukanlah sekolah biasa, semua orang mengetahuinya dan sudah siap menerima segala konsekuensi. Itulah yang tertera di formulir pendaftaran. Janji surgawi memikat akal sehat kami, pendidikan nomor satu, tunjangan kehidupan, dan pekerjaan yang layak. Semua hal itu sangat menggiurkan, hingga hasrat bergejolak—tanpa memikirkan konsekuensi yang diterima.

Yang kutahu di dunia ini ada dua tipe orang, satu yang tipe orang yang digerakkan oleh rasionalitas, dan kedua orang yang digerakkan oleh hasrat. Bagi orang yang memiliki rasa rasionalitas tinggi mungkin takkan memilih sekolah ini sebagai tempat menempa ilmu. Segala pertimbangan akan diperhitungkan, tak ada yang cuma-cuma di dunia ini. Orang akan berpikir laba-rugi, presentase-presentase kemungkinan akan terus menerpa akal sehat. Serta deduksi yang indah bermain dalam hati yang kosong itu.

Di sisi lain, orang yang tergerak oleh hasrat memiliki kemampuan di luar akal sehat. Tindakan mereka benar-benar di luar dugaan, secara normal orang akan berpikir dua kali untuk benar-benar mengambil tindakan, tapi hasrat tidak begitu. Hasrat mengambil alih jiwa dan pikiran. Hasilnya keputusan tidak logis dengan presentase mendekati nol akan terwujud dalam tindakan. Oleh karena itu, orang-orang rasionalis akan kuwalahan menghadapi tipe orang kedua.

Jika aku boleh menyimpulkan, tipe orang kedua ini layaknya hewan buas. Seekor pemangsa liar yang geram, haus untuk menerkam semua yang ada di depan mata. Tanpa pandang bulu—selalu ingin menjadi nomor satu, berada di puncak rantai makanan. Mungkin itu sebabnya, nilai dari sebuah lencana berbentu kepala binatang ini diperebutkan. Menentukan, siapa yang cocok dengan lencana tersebut. Lantas aku tergolong tipe orang yang mana?

Renunganku terhenti oleh fenomena klasik di depan, jalan terbagi menjadi dua. Salah satu dari lorong ini pasti menuju ke jalan keluar… kanan atau kiri? Pilih salah satu atau keduanya… perbedaan pendapat mulai muncul di antara kami. Orang yang memikirkan dirinya sendiri akan memilih untuk tetap bersatu—agar membuat temannya sebagai tameng untuk dirinya.

Dugaanku dalam sebuah filosofi kebaikan selalu berada di kanan, dan keburukan selalu di sebelah kiri. Layaknya malaikat dan setan yang menemani manusia di balik punggung mereka. Aku mengajukan diri untuk mengambil lorong kiri, tanpa paksaan siapapun yang ikut atau tidak—terserah pada diri kalian masing-masing.

Bagi anak sekelas, keberadaanku tak cukup berarti—pantas sebagai tumbal. Tentu saja mereka takkan mau mengikutiku. Otomatis jika aku benar, orang yang berpengaruh di kelas akan memilih sisi lain dibanding aku… sehingga yang lain mengikuti. Hasilnya sudah tertebak hanya Ringgo, Mawar, dan Leo yang menemaniku menyusuri lorong kiri, sekali lagi aku tertawa di dalam hati. Benar-benar mudah sekali memanipulasi orang yang tergerak oleh hasrat pertemanan.

"hooiii Alice jangan terlalu cepat—kami bisa tertinggal"

"mentang-mentang bawa obor jalannya cepet banget, di belakan gelap tau"

"kita harus cepat… kalau tidak kelas lain bisa mendapatkan lencananya terlebih dahulu. Kita sudah melewatkan satu malam untuk hal yang tidak berguna"

Sebenarnya aku ingin mendapatkan salah satu lencana itu, terserah siapa yang mendapatkannya entah aku, Mawar, atau Ringgo. Jika tidak—kelas pasti akan dinilai gagal, jelas ini mempengaruhi prestasiku. Aku tak mau nilaiku sampai turun hanya karena ketidakmampuan orang lain.

Titik terang menyilaukan mata kami, mungkinkah ini jalan keluar? Jika benar bagaimana dengan kelompok lorong kanan? Apa prediksiku salah? Memberi tahu teman-teman yang lain bahwa kami menemukan jalan keluar hanya buang-buang waktu, jika di lorong sebelah kanan adalah jalan buntu mereka akan mengikuti kami-pilihanku hanya terus maju.

Akhirnya kami keluar dari goa nan kelam, hawa yang mencekam telah sirna. Selamat siang burung-burung di udara—dengan ramahnya mereka berkicau untuk keberhasilan kami. Mungkin itu adalah ucapan selamat pada kami, yaa… hanya kicauan mereka yang menyambut kami. Padahal yang kulihat adalah sebuah desa, seharusnya manusia yang menyambut kami.

Keraguan dalam hati melarangku untuk penasaran, tapi tak ada yang bisa mengalahkan rasa ingin tau seorang manusia. Ketiganya, juga takut karena begitu asing bagi mereka. Bangunan rumah tradisional dengan atap menyerupai tanduk kerbau benar-benar berbeda dengan rumah kami. Jika aku asumsikan banyaknya rumah ini sudah mempumpuni sebagai wadah satu rukun warga.

Kami berempat menyusuri ke dalam desa, aku merasakan firasat yang buruk. Kemana perginya orang-orang di sini? Apa mereka beribadah ke pura? Jika benar harusnya kami berpapasan… atau mungkin mereka bersembunyi di dalam rumah. Kuketuk salah satu rumah warga secara acak—berharap ada balasan. Ketukan ketiga meyakinkanku bahwa tak ada orang di rumah.

Mungkin perbuatanku kurang sopan, aku memilih untuk masuk ke dalam rumah tradisonal seperti maling. Jemariku menyentuh sebuah meja berdebu, hidungku mulai gatal dan bersin. Dipastikan rumah ini telah ditinggalkan untuk waktu yang cukup lama, mungkin lebih dari satu bulan.

Aku menghubungkan dengan fenomena kemunculan leak di pura, aku sempat berpikir apakah dewa murka terhadap orang-orang desa? Apa mungkin mereka bertindak kurang sopan seperti yang dilakukan oleh Leo? Jika aku tidak melihat Leak itu sendiri secara nyata, tak mungkin di benakku terdapat logika seperti itu. Sekarang aku mempunyai kemungkinan tiga puluh persen, Leak menyerang warga desa ini. Tapi seharusnya, akan menyisakan mayat di sekitar sini. Bergegas aku meminta ketiga orang kikuk untuk mencari mayat.

Betapa bodohnya aku menyuruh mereka, masuk ke desa saja sudah takut apalagi mencari mayat? Aku sendiri yang harus memastikannya. Satu demi satu rumah telah kami kunjungi, semua perabotan tertata rapi. Jika terjadi musibah—pasti kondisi rumah akan berantakan entah itu karena perampok, bencana, fenomena mistis sekalipun akan meninggalkan jejak.

Hal ini membuatku kesal—sama sekali tak ada petunjuk di sini. Sebenarnya apa yang terjadi pada desa ini?

Next chapter